27.9.12

Perusakan Restoran Cepat Saji vs Fitnah Nabi, Relevansinya Di Mana?


Entah kenapa saya selalu merasa terusik ketika menyaksikan tayangan berita yang berisikan tentang aktivitas perusakan tempat usaha dengan brand tertentu yang identik dengan Barat. Seperti sudah memiliki pola tertentu, sebuah plot yang teratur, semacam kausalitas, jika ada kejadian A maka kejadian perusakan semacam itu menyusul kemudian. Entah apa yang salah, apakah perasaan saya, atau malah televisi saya mungkin yang error?

Saya yakin kawan pasti mengerti maksud saya. Lagi-lagi berita perusakan sebuah gerai makanan cepat saji. Pelakunya mungkin hanya beberapa orang tapi lihatlah betapa besar media yang meliputnya. Menyebar cepat ke seluruh pelosok negeri. Bahkan bukan tak mungkin kabarnya sampai hingga ke luar negeri. Padahal niatnya katanya baik. Membela kehormatan sang nabi tercinta yang lagi-lagi difitnah dengan keji. Tapi hasilnya? Saya malah sedih menyaksikan tayangan berita tersebut. Sebagai seorang yang juga sangat mencintai beliau SAW, saya justru tak terima apa yang mereka perbuat. Membuat perusakan sebagai sebuah bentuk pembelaan? Bukankah hal itu justru akan menjadi bumerang? Berbalik menyerang kita selaku umatnya di mana semua akan menggeneralisasi dengan mengatakan “See, I told you!”

Sementara sesungguhnya fitnah itu tak perlu diladeni. Saya ilustrasikan begini. Si A difitnah melacur oleh si B padahal pada kenyataannya tidak. Fitnah keji itu memicu kemarahan keluarga besar si A sehingga salah seorang pamannya mengamuk dan menganiaya si B sebagai penyebar fitnah. Bagaimana andaikan ada peristiwa seperti itu? Jika disuruh memilih kita akan memihak siapa? Tentu tak ada bukan? Si B dan sang paman jelas sama-sama salah. Dan sang paman justru melakukan tindakan yang tidak menyelesaikan masalah. Sementara tentang fitnahan terhadap si A toh tak ada yang perlu dibuktikan, namanya saja fitnah.

Saya justru respek kepada organisasi masyarakat yang mampu mengunjukkan rasanya secara rapi, santun, terorganisir dan masif. Meski tetap saja ada sebagian orang yang akan menyumpahi mereka gara-gara macet sesaat yang diakibatkannya. Namun setidaknya mereka sanggup bertindak. Daripada saya? Cuma bisa mengomel lewat tulisan seperti ini. Atau daripada nila setitik rusak susu sebelanga itu…

Bukan berarti tak boleh marah ataupun murka, tentu saja kita semua marah dan murka atas fitnah itu. Namun alangkah jauh lebih bijak jika segala kemurkaan (jangan sebut mengutuk,ah memangnya kita siapa!) itu kita gelorakan dengan benar. Konteksnya, seperti apa yang paling efektif untuk dilakukan? Apakah melakukan perusakan semacam itu sudah paling tepat untuk dijadikan pilihan? Memang kita geram karena seolah tidak ada seorang pun yang bisa memberi ganjaran agar si pelaku jera. Tidak bahkan seseorang yang memiliki kekuasaan dan kekuatan besar. Tapi apakah tindakan itu sudah paling sesuai untuk kita lakukan? Jangan sampai alih-alih menuai simpati kita malah harus berurusan dengan pihak berwenang.

Sasarannya, apakah relevan kepada mereka? Apakah dengan merusak tempat itu efeknya sungguh akan sampai langsung kepada pelaku? Jangan-jangan justru malah akan semakin menjadi bahan lelucon bagi mereka? Atau jangan-jangan kita malah membuat banyak orang menderita karena kehilangan pekerjaan?

Entahlah. mungkin yang salah adalah perasaan saya semata, mengapa harus selalu terusik ketika menyaksikan berita semacam itu? Atau (sekali lagi) mungkin televisi saya yang error?

26.9.12

Bisa Baca atau Cinta Baca, Pilih Mana?


Seringkali terjadi dalam sebuah penerimaan murid baru sekolah dasar, kemampuan membaca menjadi salah satu syarat wajibnya. Entah di sekolah-sekolah negeri, yang jelas di sekolah swasta hal ini sudah menjadi semacam ‘kemakluman’. Saya jadi terkenang dengan masa kecil saya dulu. Kebetulan saya tidak termasuk anak yang berkesempatan mengenyam bangku taman kanak-kanak. Jadi pendidikan formal pertama saya adalah langsung sekolah dasar. Yang berarti ketika itu saya masih buta aksara sama sekali. Mengingat zaman saya kecil dahulu tidak seperti sekarang di mana aneka metode yang ditawarkan bagi para orang tua untuk membuat anak mampu cepat membaca sedari dini menjadi semacam tren.

Saya tidak mempunyai dasar ilmu psikologi atau apa pun untuk membantah keberadaan metode-metode cepat membaca seperti itu. Selama satu hal penting ini tetap diperhatikan yaitu sang anak tidak berkeberatan untuk belajar membaca sejak dini, katakanlah sejak umur tiga tahun, tentu hal itu tidak menjadi masalah. Asal bukan demi ambisi orang tua saja sehingga anak-anak terpaksa harus belajar membaca terlalu cepat.

Toh akhirnya saya bisa membaca juga. Saya tidak ingat kapan tepatnya saya bisa membaca. Saya juga kesulitan mengenang siapakah gerangan guru saya yang telah berhasil menjadikan saya bisa membaca. Terlepas dari itu semua, satu-satunya hal yang melekat erat dalam memori saya terkait pelajaran membaca adalah sebaris kata yang berbunyi “INI BUDI”. Kalimat sederhana itu menjadi semacam kata ajaib yang menjadi kunci bagi saya untuk memasuki dunia huruf. Mengagumkan. Meski sekarang terkadang saya jadi geli sendiri jika memikirkan siapakah sesungguhnya Budi dan keluarganya ini sehingga dipilih menjadi kata kunci ajaib pelajaran pertama membaca ketika itu?

selera saya membaca novel kira-kira nurun tidak ya ke anak-anak?
Lalu mengapa di masa kini sepertinya semua orang begitu terburu-buru menginginkan anaknya bisa membaca? Sekali lagi, jika sang anak sendiri tak berkeberatan dan memang mampu dan mau, tentu itu bukan masalah. Yang menjadi persoalan adalah ketika sang anak tidak mau tapi orang tuanya memaksa. Jangan sampai jika kita melakukan hal seperti itu kelak justru akan berdampak buruk dan menjadi bumerang bagi anak-anak kita. Lagipula apa sesungguhnya motif dan tujuan kita menginginkan anak-anak lekas bisa membaca?

Bagi saya pribadi, lebih baik anak saya cinta membaca ketimbang sekadar bisa membaca. Karena terdapat perbedaan makna yang sangat besar di antara kedua frase kata tersebut. Bisa membaca dan cinta membaca. Jangan sampai seorang anak bisa membaca akan tetapi ia tidak cinta membaca sehingga membaca menjadi hanya sekadar formalitas belaka. Itu yang berbahaya. Cinta membaca, menurut pendapat saya efeknya lebih abadi, yang berarti berlaku untuk jangka panjang. Karena dengan cinta membaca anak-anak akan mencintai bacaan yang berarti dalam perjalanannya mereka akan selalu mencari sumber bacaan, buku salah satunya. Dan karena buku adalah jembatan ilmu maka cinta membaca sudah dipastikan akan menjadi bekal yang bermanfaat bagi anak-anak kita.

Pertanyaannya kini bagaimanakah membuat anak cinta membaca? Entahlah. Berbeda halnya dengan cara membuat anak bisa membaca, saya tidak berani mengklaim bahwa saya mempunyai teori khusus untuk membentuk anak yang cinta membaca. Namun, saya mempunyai sedikit tips berdasarkan pengalaman saya dengan kedua buah hati saya. Bukan berarti saya merasa telah berhasil membuat mereka cinta membaca, tidak. Saya pun masih berusaha. Still on progress. Seiring sejalan dengan pepatah bijak yang berkata “Tuntutlah ilmu semenjak dari buaian hingga ke liang lahat”, yang berarti mendidik anak agar cinta membaca pun adalah pekerjaan seumur hidup.

  1. Perkenalkanlah bacaan kepada anak bahkan sejak mereka dalam kandungan      Selain kitab suci, ambillah surat kabar, buku-buku bahkan jurnal politik, kedokteran atau apa saja dan bacakan itu kepada janin sembari meniatkan bahwa hal itu adalah sebuah tabungan kebaikan yang kita pupuk untuk bekal masa depannya kelak.
  2. Kenalkanlah buku sedari dini kepada anak-anak                                                        Tak perlu khawatir buku itu akan mudah rusak karena eksplorasi mereka. Ketika kita mengenalkan buku, jelaskanlah bahwa kertas itu mudah robek dan buku itu adalah untuk dibaca bukan untuk yang lain. Lagipula zaman sekarang bahkan ada buku berbentuk bantal yang anti robek. Namun bukan itu intinya. Intinya adalah anak mengenal buku. Itu yang paling utama.
  3. Jadikanlah membaca buku sebagai ritual pengantar tidur                                              Sejak anak pertama, saya telah menerapkan kebiasaan ini. Meski saya lelah dan mengantuk akibat aktivitas sehari-hari sekalipun, membacakan cerita dari buku adalah hal wajib selain berdoa yang harus dilakukan untuk anak-anak. Terutama sebelum mereka bisa membaca sendiri. Selain menumbuhkan ikatan batin yang harmonis dengan anak tentu saja hal ini bertujuan menumbuhkan kecintaan mereka pada buku. Apalagi jika cara kita membacakan cerita dibuat semenarik mungkin. Dijamin anak-anak pasti akan suka.
  4. Siapkanlah anggaran khusus untuk buku                                                                        Secara rutin setidaknya sebulan sekali ajaklah anak-anak ke toko buku dan biarkan mereka memilih sendiri buku favoritnya. Atau apapun yang perlu dilakukan sehingga anak-anak secara berkala mendapatkan sumber bacaan baru. Bahkan satu hal yang kadang saya lakukan adalah menuliskan cerita ala saya khusus untuk mereka.
  5. Jadikanlah buku sebagai pusat perhatian di dalam rumah                                Usahakanlah, sesederhana apapun itu, adakanlah semacam perpustakaan pribadi yang keberadaannya menjadi pusat perhatian. Book as the center of the house. Bahkan saya sengaja menempatkan rak buku saya di ruang tamu agar dari sudut manapun buku akan selalu menjadi pemandangan utama bagi anak-anak (selain karena memang rumah saya mungil hehehe)
  6. Jadilah teladan yang sama mencintai buku                                                                      Meski mungkin kita sebenarnya tak terlalu suka membaca, setidaknya sesekali biarkanlah anak-anak menyaksikan kita memegang buku atau koran atau apa saja sumber bacaan. Namun berhati-hatilah dengan sumber bacaan yang berasal dari gadget karena entah kenapa gadget di mata anak-anak identik dengan hiburan. Jangan sampai mereka salah paham, dikiranya kita asyik main game atau sekadar fesbukan mungkin, padahal sebenarnya kita sedang membaca, meriset atau bahkan membuat tulisan seperti yang sering dikira anak-anak saya terhadap saya.

perpustakaan sederhana kami

Keenam poin yang saya beberkan di atas tentu bukanlah sebuah harga mati. Setiap orangtua pastinya memiliki formula khusus yang diterapkan pada masing-masing buah hatinya. Apalagi setiap anak adalah unik. Apapun itu semoga semua anak-anak di manapun berada akan bertumbuh menjadi sosok yang cinta baca sehingga mampu mengisi dunia ini dengan segala kebaikan.

25.9.12

'Kantor'ku Keren Sekali

Andai berada di depan layar komputer seharian termasuk kriteria seseorang dikatakan bekerja, maka seharusnya saya termasuk orang yang mempunyai pekerjaan. Ketika saya mengisi lembar biodata untuk keperluan apapun, biasanya saya pasti mengisi IRT atau blogger pada data tentang pekerjaan. Sembari terkadang merasa minder. Ibu rumah tangga, di mana profesi tersebut di mata sebagian orang adalah kata lain dari p e n g a n g g u r a n. Tapi apa mau dikata memang seperti itu kok kenyataan profesi inti saya.

Namun yang sering mengherankan saya, sebagai seorang ibu rumah tangga kesibukan saya sehari-hari kalau dihitung-hitung ternyata lebih banyak di depan layar komputer ini. Pagi hari setelah urusan beres-beres rumah dan mengantar anak-anak pergi ke sekolah selesai, alih-alih ke dapur saya malah mengambil netbook. Seperti sekarang ini! Dan ketika saya sudah di depan layar seperti itu saya butuh waktu berjam-jam berada di sana. Ngapain? Menuangkan isi pikiran. Menulis.

Saya sedang jatuh cinta dengan menulis. Dan saya seorang blogger. Tahukah kamu berapa banyak waktu yang diperlukan untuk merangkai kata menjadi sebuah paragraf? Tergantung sih. Kadang lima menit, kadang sepuluh menit, kadang satu jam. Jika yang hendak saya tulis membutuhkan riset ataupun kelengkapan dokumentasi tentu akan memakan waktu lebih lama daripada itu. Belum lagi ketika saya hendak mengirim atau mempublish tulisan saya, entah itu ke media maupun blog. Belum proses editnya, belum kesesuaian tampilannya, belum koneksi internetnya. Pokoknya benar-benar berseni, menantang dengan caranya sendiri.

Jadi apa intinya? Begini, sayangnya apa yang saya lakukan ini tidak (belum) menghasilkan rupiah secara ‘pasti’ sehingga tidak diakui sebagai sebuah pekerjaan dengan kategori mata pencaharian. Walaupun sesungguhnya dari kategori kesibukan, apa yang saya lakukan ini boleh dikata mengalahkan pegawai kantoran. Mengingat saya biasanya ada di depan layar sejak pagi sampai siang dan berlanjut di malam hari. Lembur mungkin istilahnya. Tapi ya itu tadi, sesibuk apapun saya, sayangnya tidak (belum) menghasilkan materi secara rutin dan pasti. Jadi pengakuan (baca : penghargaan) positif atas kesibukan saya ini masih berlaku di kalangan terbatas saja.  

Padahal secara alami, bahkan tidak semua buah yang tumbuh di pohon bisa dimakan, bukan? Sebutlah buah kranji, yang katanya lebih bermanfaat dijadikan sumber bioenergi. Iyalah, karena kalau dimakan bisa keracunan. Yang artinya, sebenarnya adalah wajar saja jika saat ini hasil yang saya petik dari semua kesibukan saya sehari-hari tidak berbentuk materi. Kebebasan waktu, kebebasan tempat, tidak terikat kepada atasan, setidaknya saya memiliki itu. Tak apa. Toh saya menikmati semua ini meski mungkin sebagian orang memicing memandangnya.

apapun ceritanya yang pasti buah yang menjuntai hingga setinggi pohon cabai ini
tentunya bisa dimakan. anyone? ^_^
Jadi? Ya sudah, selamat berkarya!

19.9.12

Masjid Terapung Amirul Mukminin di Makassar | Risablogedia

Saya berkesempatan mengunjungi kembali masjid terapung di kota Makassar akhir pekan ini. Masjid yang bernama masjid Amirul Mukminin ini terletak di antara daratan hasil reklamasi pantai Losari yang terkenal itu, berseberangan dengan lahan yang konon dipersiapkan untuk pembangunan Wisma Negara. Masjid ini tergolong cukup unik dengan desain bangunan tiga lantainya yang melingkar. Selain itu masjid terapung ini memiliki dua buah menara dan dua buah kubah berwarna gradasi biru. Yang juga cukup menarik perhatian adalah jumlah lima buah pilar yang berdiri tegak di akses masuk utama masjid. Seolah menggambarkan jumlah solat wajib lima waktu sehari.

masjid terapung Amirul Mukminin Makassar


Berjalan memasuki area teras masjid, kita akan menemukan dua tempat bersuci di sisi kiri dan kanan masjid. Lantai satu masjid terapung ini boleh disebut sebagai ruang utama dengan dimensi ruang paling luas dibanding kedua lantai lainnya. Seperti juga pada masjid-masjid lain, di lantai satu ini terdapat mihrab dan mimbar. Namun satu hal yang paling membuat saya terkesima dari ruangan di lantai satu ini adalah keberadaan sebuah pojok baca yang berisi buku-buku cukup bergizi, semacam perpustakaan  mini. Sayangnya pada kesempatan itu saya tidak memiliki cukup waktu untuk mengeksplorasi buku-buku tersebut. Mungkin lain kesempatan saya akan menyengaja menyiapkan waktu khusus untuk menikmati buku-buku itu.


pojok buku masjid terapung

Melangkah menyusuri tangga melingkar yang letaknya tepat di sebelah ruang berwudhu, saya beranjak menuju ruangan di lantai dua. Bangunan masjid terapung ini seperti yang telah saya sebut tadi, melingkar dan semakin mengerucut ke atas, namun tidak melancip. Di lantai dua ini saya menemukan bukti bahwa sebenarnya pembangunan masjid terapung ini belumlah rampung 100%, ada tangga tergeletak di tengah ruangan. Namun hal tersebut tidak mengurangi minat saya dan banyak pelancong lain untuk membanjiri masjid terapung ini, apalagi di waktu sore hari di mana matahari hendak tenggelam. Banyak orang memburu momen sunset dari masjid terapung Amirul Mukminin ini.


lantai dua masjid terapung

lantai tiga masjid terapung
dari lantai dua kita bisa menyentuh kubah yang di bagian bawah
Detik demi detik menghantar matahari lindap hingga kembali ke peraduannya. Sore itu saya merasa sungguh beruntung karena cuaca cerah dan ufuk barat cukup bersih dari awan sehingga pandangan saya ke arah sunset tak terhalang. Hanya satu saja yang patut disayangkan, kamera ponsel saya terbatas kemampuannya sehingga momen indah itu terabadikan seadanya. Namun bukan berarti hal itu mengurangi kenikmatan menyesap vista favorit para pemburu mentari tenggelam itu, lho. Cukuplah memori otak saya yang mengabadikan semua keindahan itu.

sunset...

pemandangan ke arah pantai Losari


Beberapa menit setelah matahari benar-benar tenggelam, suara adzan Magrib pun membahana merobek udara senja. Para pelancong, termasuk saya, bersiap menunaikan kewajiban. Ramai jemaah memenuhi ruang-ruang di masjid terapung ini, merapatkan barisan dan dengan khusyuk menghadap padaNya dalam ritual Magrib tiga rakaat.


menanti saat solat dimulai

rapatkan barisan, satu gerak, satu komando, kompak!

Selepas melaksanakan solat, saya pun bersiap meninggalkan masjid terapung itu. Tapi jangan salah, masih ada satu hal yang menarik yang akan kita temukan ketika kita keluar dari areal masjid. Apalagi kalau bukan wisata kuliner! Aneka jajanan khas pantai Losari sudah berjajar  di sana. Tinggal pesan sesuai seleramu. Ada pisang epe yang disiram saus coklat, saus durian, bahkan plus taburan keju yang tentunya yummy J. Meskipun saat saya berkunjung kondisi pelataran masjid terapung ini statusnya juga masih dalam pengerjaan, berantakan dan gelap, namun lezatnya pisang epe racikan sang daeng rupanya sanggup membuat saya mengabaikan hal lainnya.

gerobak-gerobak wisata kuliner

Jadi, tunggu apalagi? Bagi kawan yang berdomisili di Makassar jangan lupa sempatkan diri ke sana. Tinggal jalan sedikit, sekitar satu kilometer dari anjungan pantai Losari. Dan bagi kawan yang di luar Makassar, tinggal pesan tiket dan selamat mengunjungi masjid terapung Amirul Mukminin di Makassar.

16.9.12

Bahaya Kebakaran Mengintai di Musim Kemarau


Salah satu musibah yang rawan terjadi di musim kemarau adalah kebakaran. Angin yang mengembuskan udara kering ditambah cuaca panas seringkali tanpa disadari turut andil dalam terjadinya kebakaran. Seperti halnya yang terjadi di sebuah perumahan di Makassar, Jumat sore, 14 September 2012. Siapa nyana niat baik seseorang untuk membersihkan rerumputan yang tumbuh liar di halaman rumahnya berubah menjadi bencana. Api yang dimaksudkan untuk melalap rumput kering yang telah berhasil dikumpulkannya berubah menjadi monster merah panas yang justru malah menyambar rumah dan menghanguskannya. Yang lebih memilukan lagi, sebuah rumah persis di sebelah rumah yang menjadi sumber api pun turut terbakar habis.


Sungguh, sesuatu yang harus menimpamu takkan luput darimu begitu pula sesuatu yang luput darimu takkan pernah menimpamu.

Saya membayangkan si empunya rumah, di pagi hari pastilah mereka tiada tebersit sedikitpun bahwa sorenya mereka akan kehilangan tempat bernaung. Namun siapa yang sangka ternyata semua ini harus terjadi. Innalillah…




Terlepas dari semua kejadian itu, sebuah takdir yang ketika Tuhan bersabda “Jadi!” maka tiada yang akan dapat menghentikannya, sebagai manusia lagi-lagi kita hanya bisa memetik hikmahnya.

Meski tampak sepele mari lakukan hal-hal sederhana seperti berhatilah-hatilah dengan api, sekecil apapun bentuknya. Jangankan di musim kemarau sedangkan di musim penghujan saja kebakaran akibat keteledoran manusia masih memungkinkan untuk terjadi.

Sedikit tips ketika kita hendak membakar sampah dedaunan kering di halaman : perhatikan sekitar, jangan membakar sampah di dekat bahan lain yang mudah terbakar atau di bawah jalur kabel listrik. Jangan membuat tumpukan yang terlalu besar. Sampah berupa daun kering biasanya akan membentuk api yang mudah berkobar cukup besar. Yang meski durasi proses pembakarannya sebentar namun seperti contoh kasus di atas bisa berakibat fatal. Bila memungkinkan siapkan selang dengan keran air yang berfungsi di dekatnya untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan.

Kemudian mari membenahi tata kota dan melengkapi sarana serta prasarana yang diperlukan demi keselamatan seluruh warganya. Mengaca pada peristiwa kebakaran yang terjadi, beberapa saksi menyatakan mobil pemadam kebakaran sedikit terlambat tiba di TKP. Saya yakin penyebabnya tentu melibatkan banyak faktor. Bisa saja ketika kejadian berlangsung alih-alih segera menghubungi pemadam, warga malah terpana menyaksikan api yang membara.

Atau bisa saja ketika pemadam telah berhasil dihubungi dan mereka tengah mengerahkan segenap kemampuannya untuk mencapai lokasi tepat waktu, ada lagi faktor lain yang menyebabkan mereka terpaksa tiba melenceng dari target waktu yang diinginkan. Sebutlah faktor lalu lintas misalnya. Bayangkan saja, sore hari, boleh dikata bersamaan dengan jam pulang kantor, dengan jarak antara lokasi markas pemadam dan TKP yang cukup jauh, tentu butuh waktu yang cukup lama bagi pemadam untuk tiba di lokasi.

Saya jadi membayangkan perasaan para empunya rumah yang terbakar itu, pada saat kejadian pasti hati kecil mereka berharap andai lokasi perumahan ini dekat dengan markas pemadam mungkin ceritanya boleh jadi berbeda. Yang pada akhirnya menyisakan gelitik tanya dalam benak saya, untuk cakupan sebuah kota besar seperti Makassar ini misalnya, berapa banyak idealnya markas-markas pemadam kebakaran yang seharusnya dipersiapkan demi mengantisipasi terjadinya musibah-musibah yang tak diinginkan? Dalam radius berapa seharusnya markas pemadam itu ada untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan? Begitu pula dengan ketersediaan hydrant-hydrant sebagai sumber air manakala musibah kebakaran ini tak lagi dapat dicegah, apakah siap?


Entahlah, mungkin pemikiran saya sebagai seorang rakyat jelata yang masih shock memikirkan nasib tetangganya yang baru saja terkena musibah, terlalu berlebihan dan mengada-ada. Entahlah…

15.9.12

Fitnah Sang Berlian


Ketika sesuatu atau seseorang yang kita cintai dihinakan atau difitnah, adalah wajar kita menjadi marah. Katakanlah, seseorang memfitnah ibu kita sebagai pelacur, apa yang akan kau rasa? Berani taruhan, setidaknya kau pasti akan mengamuk. Naluri kita untuk melndungi, membela kehormatannya, pasti akan terusik. Pun bahkan bila ibu kita itu disebut memiliki kekuasaan yang sangat tinggi, tetap saja sebagai seorang yang mencintainya, minimal sanubari kita pasti akan terkoyak rasanya. Dan justru jika kita diam saja, santai saja, bukan tak mungkin, sedikit banyak ibu kita akan mempertanyakan makna cinta yang kita nyatakan untuknya. Serius cinta tidak?

Seseorang berkata, meski kita sedang murka, marahlah dengan elegan. Ya, benar. Bolehlah kalau menyatakan rasa bahwa kita marah atau menginginkan si penyebar fitnah mengakui kekurangajarannya. Tapi tidak perlu sampai merusuh apalagi bakar-bakar. Karena seperti halnya yang sering terjadi dalam cerita film, ketika seorang penjahat ditampilkan dan diperankan secara memesona, para pemirsa justru akan kepincut dan malah mendukung aksinya. Padahal penonton tahu persis statusnya adalah sebagai the bad guy. Dan orang yang seharusnya tak bersalah namun karena terlibat amarah dan mengamuk malah akan menuai kecaman dan jauh dari simpati.


Sebutir berlian meski diluluri oleh kotoran sebanyak satu septic tank, tak akan pernah mengubah kenyataan bahwa ia adalah berlian. Dan saat kebenarannya terungkap ia justru akan membuat orang lain semakin berbondong-bondong turut mencintai sang berlian.

14.9.12

Dementor : The Kiss of Death


Sesungguhnya kesedihan dan kebahagiaan itu memiliki satu simpul yang sama. Mereka sama-sama menguraikan airmata. Jika sedih kita menangis. Bahagia pun begitu. Maka bukan hal yang mustahil obat kesedihan adalah kebahagiaan. Maksudnya adalah ketika seseorang merasa sedih, pikirkanlah hal-hal yang membahagiakan agar kesedihan itu sirna. Sehingga meski menangis sekalipun kita tetap dapat mengatakan sebabnya yaitu kebahagiaan yang sedang kita ingat. Toh mereka bermuara pada hal yang sama, a i r m a t a.

Seperti halnya dementor, yang bisa dikalahkan bukan oleh adu otot namun oleh kekuatan kebahagiaan yang dipancarkan oleh si target. Hanya aura kebahagiaan yang kuatlah yang sanggup mematahkan pengaruh keberadaan dementor, sebelum mereka memberikan kecupan kematian. Memang hanya fiksi, namun selalu menarik untuk membahas salah satu karakter rekaan Miss J.K Rowling ini. Saya pribadi kadang menjuluki apapun yang membuat saya merasa sedih dengan sebutan : d e m e n t o r. Asal saya tidak menjadi dementor bagi orang lain saja. Semoga.

eh dementor tudungnya trendy juga ya...
(sumber gambar : google)

12.9.12

Belajar dari Kegagalan

sumber gambar dari hasil googling

Menjadi contoh dari sebuah kegagalan itu sangat menyebalkan. Sungguh. Terlebih lagi bila hal itu dicetuskan oleh orang-orang yang sesungguhnya sangat kita harapkan dukungannya. Lingkaran terdalam, istilahnya. Adakah orang yang ingin gagal dalam hidupnya? Tentunya tidak. Tapi toh hal itu tidak akan pernah cukup untuk menghentikan Tuhan menetapkan kegagalan pada takdir hidup seseorang, kan? Sebagai bahan perenungan, sebagai sumber pelajaran, sebagai telaga hikmah. Sunnatullah. Meski tetap saja, menjadi contoh, semacam role model, bagi sesuatu bernama kegagalan itu sungguh sangat menyebalkan sekali! Terutama yang dilakukan secara negative, sinis, sepihak.

Taruhlah kalimat-kalimat seperti ini, jangan buru-buru menikah! kata seorang ibu pada anak gadisnya. Selesaikan dulu kuliahmu lalu KERJA, baru mikir nikah. Kalau sudah terlanjur nanti kamu menyesal, apalagi kalau di belakang hari kenapa-kenapa dengan pernikahanmu. Seperti si itu tuh!

Sesungguhnya tidak ada yang salah dari prinsip yang dianut seorang ibu tersebut. Kecuali di bagian ketika ia menunjuk ‘si itu’. Coba saja tanyakan pada ‘si itu’, apakah ia merencanakan kegagalan dalam hidupnya? Percaya 119%, pasti ‘si itu’ akan menjawab, TIDAKLAH! Dan jika saja ia mau lebih berempati kepada ‘si itu’, coba saja perhatikan betapa setiap hari dalam hidupnya ‘si itu’ mencoba, berusaha sekuat tenaga untuk berdamai dengan segala ketentuan yang terjadi di hidupnya untuk sekadar tidak lagi berkata, why me? Atau untuk tidak lagi menyesali mengapa dulu saya tidak begini, tidak begitu? Coba…

Sekali lagi, tidak ada yang salah ketika seseorang berprinsip seperti itu. Saya pribadi juga kurang lebih akan demikian kok. Hanya saja memosisikan seseorang yang ‘kebetulan’ gagal sebagai contoh tanpa melihat sejarah dan latar belakang sesungguhnya secara fair, terlebih lagi menjadikannya seolah mantra anti gagal, adalah sungguh sangat tidak adil sekali. Bukankah takdir setiap yang bernyawa adalah unik? Siapa yang tahu ketika seseorang menghindari satu hal ternyata olehNya dipertemukan dengan hal yang lain? Maka ajarkanlah pada orang-orang yang kita sayangi bahwa apapun yang kita lakukan, lakukanlah sebaik yang kita bisa dengan semangat ruhani dan niat ilahi. Itu saja. Lakukanlah skala prioritas, dahulukan mana yang paling penting untuk dicapai agar semua keputusan yang kita ambil bisa saling menguatkan bukan saling menghancurkan. Dan jangan lupa sertakanlah selalu doa dalam setiap langkah kita, sebelum, ketika, dan sesudah, agar selalu dijauhkan dari hal-hal bernama kegagalan.

So please, jangan memandang ‘si itu’ serendah itu hanya karena semua kegagalan yang terjadi dalam hidupnya. Petiklah pelajaran terbaik darinya, gratis tanpa imbalan apapun sebagai gantinya, tapi jangan hina dia. Kecuali kau yakin bahwa selama sisa hidupmu tak ada hal semacam takdir kegagalan yang akan menyapamu, maka ya terserahlah…

5.9.12

Giveaway Novel Cinderella Syndrome, Leyla Hana

Cerpen berikut ini saya tulis dalam rangka giveaway yang diadakan oleh Leyla Hana, penulis novel “Cinderella Syndrome”. Berdasarkan persyaratan yang ditentukan di blog Leyla Hana, saya memilih inspirasi tokoh Annisa. Selamat membaca J

 CYNDI
Oleh : Niki Rissa

“Cyndiiii!!!” aku hanya bisa berteriak dalam hati sambil membayangkan menjewer kuping gadis cilik berumur 6 tahun itu. Lihat saja tingkahnya sekarang! Setelah sepagian tadi mengacaukan kelas melukis dengan mencipratkan cat air ke hampir seluruh penjuru kelas, kini ia baru saja menarik paksa kerudung Anggita hingga terlepas, lalu menjambak rambutnya. Tentu saja anak itu menangis. Sementara Cyndi? Seperti biasa, ia jingkrak-jingkrak gembira seperti seorang yang baru saja memenangkan lotere. Sambil menjulurkan lidah mungilnya ia lalu mendekat ke arahku dan berkata, ”Mom Nisa, aku siap dibawa ke perpustakaan lagi untuk dihukum.”
Sungguh, rasanya aku ingin pingsan saja menghadapi bocah perempuan ini. Entah berapa kali dalam sehari, selama jam sekolah, ia akan mengacau di kelas. Ada saja tingkahnya. Membuatku semakin merasa putus asa saja. Selama 6 tahun aku mengajar di TKIT ini, dengan karir dan penghasilan yang begitu-begitu saja, keberadaan seorang Cyndi rasanya membuat keinginanku untuk resign menjadi semakin menguat. Padahal tahun ajaran baru ini belum juga genap satu bulan berjalan.
Jemari mungil Cyndi menggandeng tanganku. Meski kesal, aku memilih untuk membawa murid bengalku ini, the one and only Cyndi, menyepi sejenak ke perpustakaan. Masih ada satu jam sebelum pulang yaitu saatnya menyantap bekal, makan bersama. Aku sudah tak sanggup membayangkan ide apalagi yang ada di benak Cyndi untuk mengacau di kelas jika aku tak mengajaknya keluar. Daripada menghadapi kemungkinan itu lebih baik aku membawanya ke perpustakaan.
Sudah sekitar dua pekan aku menerapkan ‘hukuman’ ini untuk Cyndi. Selain baik baginya, terbukti jika tinggal berdua saja denganku tiba-tiba saja Cyndi menjadi sangat manis. Juga baik untukku, menenangkan diri. Toh tanpa Cyndi, Mom Mia, guru pendampingku akan sanggup mengatasi kelas sendirian hingga waktu pulang tiba.
“Mom Nisa, nanti baca cerita lagi, ya,” dengan polos, tanpa merasa bersalah sama sekali, sepasang bola mata jernih milik Cyndi menatapku ketika kami bergandengan tangan atau tepatnya tangan kananku yang terpaksa menerima uluran tangan mungil Cyndi menuju perpustakaan. Aku hanya bisa mendengus tertahan.
Tas ungu besar kepunyaan Cyndi yang bergambar seorang putri cantik, Cinderella, kuletakkan di atas meja ketika kami tiba di perpustakaan. Aku masih tak mengeluarkan sepatah kata pun. Aku hanya membuka tas ungu itu lalu mencari buku penghubung antara orangtua dan guru. Lalu kuambil pulpen dari saku jubahku. Tadinya aku berniat untuk melaporkan, --lagi--, kebadungan Cyndi kepada orangtuanya. Namun sebelum sempat kulakukan hal itu mataku kembali mendapati nomor telepon yang pernah dituliskan orangtua Cyndi di sana. Aku tertegun sejenak. Tertulis di sana : Bayu. Kemudian sederet nomor GSM milik sebuah operator selular. Aku menelan ludah. Selain anaknya yang  super badung ini, soal nomor telepon wali murid ini jugalah yang mengusikku. Biasanya yang selalu berhubungan dengan wali kelas adalah ibu dari sang murid. Tapi tidak dengan Cyndi. Sepertinya hanya ayahnyalah yang berperan dalam pengasuhan Cyndi. Namun meskipun seorang lelaki, kepeduliannya akan laporan perkembangan yang selalu kutulis dalam buku penghubung justru sangat tinggi. Ayah Cyndi menjadi satu-satunya wali murid yang selalu merespon semua tulisanku tentang laporan harian murid melalui buku penghubung. Secara rinci. Bahkan tak jarang ia malah balas menceritakan perkembangan Cyndi di rumah. Menarik, harus kuakui itu. 
Mungkinkah orangtua Cyndi telah berpisah atau semacamnya? Ah, kutepis pikiran itu. Mengapa aku jadi ingin tahu begini?
“Cyndi? Kamu sudah pilih bukunya?” aku mendongak dan akhirnya berhenti menekuri buku penghubung Cyndi sekaligus membuyarkan lamunanku. Tidak ada jawaban. Bocah lincah itu terdiam di pojok. Tumben, pikirku.
“Hei, kamu kenapa, Nak?” perasaanku berubah menjadi khawatir melihat Cyndi yang biasanya seperti bola bekel tiba-tiba diam seperti itu. Kuhampiri gadis kecil yang mendadak senyap dan terduduk memeluk lutut itu. Sebuah buku berjudul ‘Franklin Sayang Ibu’ tergeletak terbuka di dekatnya.
“Cyndi rindu mami,” tiba-tiba ia berkata sambil menghambur dalam pelukanku. Aku terkejut, sama sekali tak pernah terbayang adegan seperti ini. Kuangkat dagu murid kecilku ini. Aku terkesiap. Darah mengucur dari hidungnya! Dan suhu badannya tinggi. Tanpa berpikir lagi aku berteriak memanggil Mom Allin, kepala sekolah.
***
“Terima kasih, Bu Guru. Maaf kalau Cyndi telah merepotkan Bu Guru hari ini.” Pak Bayu berbicara sembari matanya ragu melirikku dari balik spion. Aku balas melihatnya sekilas. Bingung. Aku benar-benar belum bisa mencerna dengan sempurna semua peristiwa yang tiba-tiba saja terjadi dengan begitu cepat tadi. Cyndi tiba-tiba mimisan. Sebenarnya dengan mudah aku dan para guru bisa mengatasinya. Namun rupanya Cyndi sangat trauma dengan darah. Ia menjerit-jerit histeris begitu sadar darah mengucur dari hidungnya. Meronta-ronta dan memelukku erat tak mau lepas. Bahkan ketika akhirnya Pak Bayu, ayah Cyndi datang menjemput untuk membawanya ke dokter, ia masih saja memelukku. Hingga akhirnya di sinilah aku, terjebak bersama si bola bekel mungil ini dan ayahnya!
“Maaf, sebaiknya saya eh kami mengantarkan Bu Guru langsung ke rumah saja. Sungguh sekali lagi maafkan tingkah Cyndi,” kali ini Pak Bayu berkata sambil terus memandang lurus ke depan.
Aku mengangguk pasrah dalam diam. Yah, apa yang bisa kulakukan? pikirku dalam hati. Sungguh, aku masih benar-benar tak mengerti dengan semua ini. Apalagi kini Cyndi malah menyandarkan tubuhnya padaku, memeluk lengan kiriku dan terlelap di situ. Aku menghela napas. Lalu sekilas kulirik kaca spion tengah dan ah, sial, rupanya Pak Bayu pun tengah melakukan hal yang sama. Tak dapat kutolak mataku pun bertemu dengan matanya. Buru-buru kami membuang pandang satu sama lain. Aku menunduk. Kurasakan pipiku memanas.
***
Setelah kejadian tempo hari itu, secara ajaib, Cyndi si bola bekel menjadi jauh lebih tenang di kelas. Ia tak pernah lagi membuat kehebohan. Bahkan kini ia cenderung mengayomi kawan-kawan sekelasnya. Dan dengan perubahan sikapnya itu aku baru menyadari bahwa rupanya Cyndi adalah seorang anak dengan segudang bakat dan juga pesona. Tugasku menjadi lebih ringan sekarang. Meski jujur harus kuakui aku malah merindukan momen-momen tatkala ia membuat kelas kacau dan aku harus menenangkannya di perpustakaan. Juga kehilangan momen menulisi buku penghubungnya sekaligus membaca balasan dari ayahnya.
Ah, kenapa sih aku ini? Apakah diam-diam ada sesuatu yang bersemi dalam hatiku? Ah, tidak, tidak, tidak! batinku menolak. Sadar, Nisa! Kau bahkan tak mengenal Bayu, ayah Cyndi itu. Bagaimana kalau istrinya…? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, heran dengan pikiranku sendiri. Tapi jika tidak lalu mengapa rasanya aku begitu kehilangan? Apalagi sudah beberapa hari ini, sejak kejadian mimisan itu, buku penghubung Cyndi sepertinya tak pernah lagi dibaca di rumah. Tak ada tanda tangan apalagi respon balasan atas laporanku.
“Mom Nisa, Papi tadi titip ini buat Mom.” Tanpa kuduga tiada kusangka tiba-tiba saja Cyndi tegak berdiri di hadapanku menyerahkan sebuah amplop ungu.
“Ini apa, Nak?” tanyaku tercekat.
“Surat cinta!” Cyndi menjawab singkat lalu kembali berlari menuju kumpulan kawan-kawannya.
Tidak sempat aku mengoreksi kata-katanya dan bertanya dari mana atau siapa yang mengajarinya berbicara semacam itu, aku keburu diam tertegun. Mom Mia, guru pendampingku, senyum-senyum penuh makna membuat aku tak bisa membayangkan bagaimana rupa wajahku saat ini. Lalu buru-buru kurobek amplop sewarna tas Cinderella milik Cyndi itu. Penasaranku membuncah tak tertahankan.

Assalamu alaikum.
Sebelumnya maaf jika saya lancang berkirim surat ini melalui Cyndi. Mungkin saya pengecut namun entah, saya tak punya ide lain untuk menyampaikannya kepada Anda.
Bu Guru Nisa, anak saya Cyndi jatuh hati kepada Anda sejak pertama kali masuk sekolah. Baginya, Anda seperti pengganti sosok maminya yang telah tiada. Demi untuk menarik perhatian Anda, Cyndi sengaja melakukan semua aksi seperti yang sering Anda laporkan selama ini melalui buku penghubung. Hingga akhirnya kejadian kemarin itu. Cyndi sangat takut melihat darah. Rupanya ia masih trauma dengan kecelakaan yang merenggut maminya. Hari itu sepulang dari rumah sakit Cyndi memaksa saya untuk segera membawa Anda pulang ke rumah. Saya katakan padanya, bagaimana mungkin Mom Nisa mau ikut pulang sama kamu kalau Cyndi selalu nakal di sekolah? Entah apakah kata-kata saya itu ada efeknya atau tidak. Semoga saja Cyndi tak lagi berulah di sekolah dan menyusahkan Anda.
Jadi, bagaimana menurut Bu Guru? Ya atau tidak?
Bayu dan Cyndi.

Kulipat kembali surat beramplop ungu itu. Dan kali ini rasanya aku benar-benar ingin pingsan…

2.9.12

Ya dan Tidak Popok Bayi Sekali Pakai


Kawan ada yang sedang punya bayi? Beruntung ya kita-kita yang hidup di era modern seperti sekarang ini. Maksud saya, sungguh tidak terbayang menjadi orangtua sebelum zaman popok bayi sekali pakai. Harus gonta-ganti popok tradisional banyak kali sehari. Belum lagi mencucinya, menjemurnya, melipatnya. Begitu lagi, begitu lagi, setiap hari. Tapi saya yakin para orangtua kala itu tetap enjoy saja mengurus bayinya, ya kita-kita ini, meski perjuangannya lebih berat. Tapi dari sisi kesehatan, popok tradisional itu sebenarnya lebih bagus, lho, katanya. Ah, tapi saya kira tidak juga. Tergantung. Misalnya saja untuk menghindari ruam kulit pada bayi. Katanya ruam pada bayi pengguna popok sekali pakai lebih rentan terjadi, tapi itu bukan berarti pada bayi pengguna popok tradisional tidak akan terjadi. Saya pikir itu sih tergantung pada tingkat kesadaran kebersihan dari masing-masing orangtua. Iya, kan? Iyalah. Soalnya para bayi kan belum bisa apa-apa.

Lain halnya dari sisi financial. Jangan dibantah, popok bayi sekali pakai tentu saja jauh lebih menguras isi ATM! Tapi bila ditanyakan pada para orangtua modern lebih pilih mana soal popok bayi ini, saya yakin sebagian besar akan lebih memilih kerja keras mengisi ATM demi untuk membeli popok bayi sekali pakai. Praktis.

Tapi, meskipun kita memilih untuk menggunakan popok bayi sekali pakai hendaknya kita tetap mengedukasi bayi dalam urusan buang-buang hajat ini. Toilet training tetap harus dilakukan meski bayi memakai popok sekali pakai. Jangan sampai terlena, keenakan dan kebablasan! Bisa-bisa nanti si bayi sudah beranjak balita tapi ia masih mengompol dan pup tidak hanya di kamar mandi. Wah, malah repot kan?

Ada satu hal lagi yang sangat krusial berkenaan dengan popok bayi sekali pakai ini, yaitu tentang perlakuan setelah pakai, cara membuang popok bayi sekali pakai. Buanglah pada tempatnya, tentu saja. Dan yang terpenting adalah : setelah sebelumnya isinya, yang terkategori hajat besar, dibuang dulu di toilet. Maaf sungguh maaf, saya tidak berniat jorok, tapi bayangkanlah si popok sekali pakai yang berisi pup itu tercecer dari gerobak atau truk sampah dan tergeletak di jalanan! Pernah menemukan fenomena seperti itu? Saya sering. Entah sudah berapa kali saya menemukan seonggok popok sekali pakai terkapar tak berdaya di tengah jalan di kompleks tempat saya tinggal. Dan ketika mendapati hal seperti itu saya pun bingung harus bertindak apa. Mau mengamankannya? Terus terang saya tidak sanggup. Duh, lihatnya saja ngeri, bukan ‘properti’ milik saya soalnya. Bagaimana tidak?! Ada kuning-kuning mengintip dari sela-selanya. Hiiii!!!

aku lucu kaan? ^__^

Seperti halnya iklan air mineral dalam botol yang mulai mengedukasi konsumennya untuk merusak kemasan sebelum membuangnya ke tempat sampah, sepertinya sudah seharusnya iklan popok sekali pakai juga mulai melakukannya. Jadi jangan hanya tampilkan bayi mungil menggemaskan yang berlenggok-lenggok mengenakan popok saja, tapi didiklah konsumen mengenai cara terbaik untuk memperlakukannya setelah pemakaian. Demi kebaikan, kesehatan dan keindahan lingkungan kita bersama. Sip?

(note : pesan ini berlaku terkhusus untuk para ladies juga, berkenaan dengan sebuah kebutuhan bulanannya, if you know what I mean ^__*)