19.4.13

Be a Writer : Grup Rahasia Penulis Indonesia


Be a Writer atau BaW adalah nama dari sebuah grup yang mengakomodir para penulis Indonesia, secara rahasia. Bukan hanya penulis yang sudah jadi, namun juga yang masih dalam proses belajar untuk menjadi penulis. Grup ini didirikan oleh sang founder-nya yaitu Leyla Hana, justru bertujuan untuk memfasilitasi orang-orang yang serius ingin belajar menulis. Sepertinya bu Kepsek, demikianlah biasa kami memanggilnya, memahami betul bahwa salah satu problem yang kerap ditemui oleh writers wannabe adalah sukarnya menemukan sebuah wadah yang sanggup dengan tangan dan hati terbuka memberikan bimbingan yang intens, kontinyu, anytime dan ehm, free hehehe. Eh, maksud saya setidaknya itulah yang saya rasakan.

Adalah menjadi suatu kebahagiaan tersendiri bagi saya, maksud saya dengan reputasi saya yang belum jadi apa-apa dalam dunia tulis-menulis, beliau berkenan mengundang saya untuk bergabung ke dalam grup Be a Writer atau BaW ini. Berawal dari keseringan saya tanya-tanya ini itu melalui inboxnya, mungkin, sehingga akhirnya diseretlah saya ke dalam grup.

Dan Alhamdulillah dengan diseretnya saya ke dalam salah satu grup rahasia penulis Indonesia ini, Be a Writer, saya seperti menemukan rumah baru di dunia maya. Sekarang tujuan saya online kebanyakan adalah untuk menyimak aktivitas grup ini. Apalagi aturan main dalam grup ini lumayan ketat, meski sekaligus dinamis. Tujuh hari dalam seminggu, memiliki tema bahasan yang berbeda-beda. Ada tema Diary Day di hari Senin, Sharing Day di hari Selasa, Blogging Day di hari Rabu, Promo Day di hari Kamis, Review Day di hari Jumat, Business Day di hari Sabtu, daaaaan Free Day di hari Minggu. Dengan variatifnya tema pembahasan maka beragam pulalah para anggota BaW, atau para BaWers meluapkan segala isi kepalanya terkait tema-tema tersebut setiap harinya. Ramaaaiiii selalu perbincangan di grup ini.

11.4.13

Kopi Panas Air Payau


Selusin gelas-belimbing kopi telah tersaji di meja, ketika bahkan mentari pun belum sempurna bertahta di cakrawala. Uap panasnya menguar, mengharumi udara di dalam rumah tua berlantai tanah, berdinding gedek bambu. Rumah simbahku, di desa Gandrung Mangu.

sumber gambar notes.urbanesia.com

Entah kopi apa yang diseduhnya, aku tidak terlalu tahu. Atau tepatnya tidak memperhatikan. Umurku belum lagi menginjak 12 tahun kala itu, mana aku peduli. Yang aku tahu, larutan hitam yang mengisi gelas-gelas itu rasanya manis, sedap, sanggup mengalahkan rasa payau air di sumur simbah dengan telak. Yang aku tahu, kalau suhu cafein cair itu masih terlampau panas, simbah akan menuangnya sedikit demi sedikit di lepek kecil agar aku bisa menyeruputnya perlahan. Slruuuppp... ahhh, segar! Apalagi padanan ritual meneguk kopi di pagi hari itu adalah sepiring nasi goreng racikannya yang dimasak di atas tungku kayu. Nikmatnya mengendap sampai ke hati...

*Mengenang alm. simbah-simbah Gandrung Mangu-ku

10.4.13

Mari Tumbuhkan Jiwa Wirausaha Sedari Dini


Cita-cita adalah satu hal yang selalu menarik untuk dibincang. Tanyakanlah kepada anak-anak tentangnya, kita akan memperoleh beragam jawaban dari mereka. Mulai dari jawaban klasik : ingin jadi presiden, dokter, pilot, polisi, atau tentara. Hingga jawaban tak terduga seperti ingin memiliki butik, jadi pengusaha truk, dan semacamnya. Mengertikah anak-anak itu ketika ditanyakan apa cita-citanya? Jika yang ditanya adalah anak seumuran taman kanak-kanak, besar kemungkinan mereka hanya 'asal sebut' saja. Tapi kenapa mereka bisa ‘asal sebut’ seperti itu?

Anak adalah ibarat sebuah layar kosong, apapun yang hendak kita ketikkan di sana maka itulah yang akan terekam, sebagai memori pertama. Seorang anak kecil yang ketika ditanya cita-cita spontan menjawab 'ingin jadi dokter' misalnya, sedikit banyak pasti telah tercekoki dengan informasi menakjubkan seputar profesi dokter terutama dari orang-orang terdekat di sekelilingnya. Sejak ia mampu mencerna informasi, cita-cita inilah yang terpatri ke dalam alam bawah sadarnya sehingga ketika tergali, hal tersebutlah yang akan muncul ke permukaan lalu tercetus.

Tak dapat dipungkiri, ada kecenderungan dari seorang anak untuk mengikuti pola yang ditetapkan oleh orang dewasa di sekitarnya. Pola yang tanpa disadari akan menelusup secara halus dan mengendap hingga menjadi jalur permanen yang akan diikuti sampai menuju tahap kedewasaan. Seorang anak yang besar di lingkungan ‘kamu keren jika besar nanti mengenakan seragam dan digaji’, sedikit banyak akan memakai pola pikir tersebut dalam mengejar jati dirinya kelak. Demikian pula seorang anak yang besar dalam paradigma ‘menggaji itu jauh lebih baik daripada digaji’, tentu akan memilih jalan yang berbeda dalam rangka meraih cita-cita.


Memang, kedua paradigma tersebut tidak otomatis berarti yang satu lebih baik daripada yang lainnya. Namun merujuk fakta bahwa betapa masih lebih rendahnya jumlah wirausahawan di Indonesia ketimbang negara-negara lain, sebut saja Amerika Serikat yang mencapai 12% sementara di negara kita bahkan 2% pun tak sampai, maka tentu ada sesuatu yang mestinya segera dibenahi. Apalagi mengingat negara-negara yang prosentase wirausahawannya tinggi itu justru berstatus sebagai negara-negara maju. Juga menengarai kecenderungan merosotnya nilai ekspor Indonesia ketimbang impornya. Demikian pula dengan kenyataan meningkatnya jumlah pencari kerja berijazah tinggi, seharusnya semakin meyakinkan kita semua bahwa ada yang salah dengan pola pikir kita selama ini. Pola pikir yang mendiskreditkan profesi wirausaha sehingga tanpa terasa mengerdilkan tumbuhnya jiwa wirausaha itu sendiri terutama di kalangan anak muda.

Jadi, apa yang perlu dilakukan untuk menumbuhkan jiwa-jiwa wirausaha sedari dini?