28.2.12

Graha Media : Program Wisata Pendidikan

Beberapa waktu lalu saya pernah membuat tulisan yang ada sangkut pautnya dengan pengalaman saya di salah satu toko buku, tentang masalah tas. Nah, kali ini saya ingin berbagi kembali sebuah pengalaman yang berhubungan dengan salah satu toko buku yang sempat saya sebut di postingan terdahulu saya itu. Saya sebut saja nama tokonya ya : Graha Media M’tos Makassar.

Hari ini, toko buku Graha Media M’tos Makassar benar-benar membuat saya terkesan dengan salah satu trik marketingnya. Dengan tajuk ‘Wisata Pendidikan’, mereka mengundang sekolah anak saya yaitu TKIT Al-Ashri untuk berkunjung ke sana. Benar-benar sebuah ide yang cemerlang, menurut saya. Juga sangat ramah anak-anak. Mengajarkan mereka untuk cinta buku.

Meskipun namanya bisnis tujuannya adalah untuk meraup profit, namun model promosi terselubung seperti ini benar-benar brilian, menurut saya. Terlebih lagi toko buku Graha Media M’tos Makassar benar-benar serius menggarap programnya ini. Dari mulai penjemputan anak-anak dari sekolah ke lokasi toko, mereka menyediakan kendaraan plus sopirnya. Gratis! Kemudian di lokasi, mereka pun tidak main-main menjamu tamu-tamu ciliknya. Ada  games berhadiah, pembagian kartu member dan snack ringan. All free of charge! Bahkan anak-anak mendapat tambahan bonus mandi bola di arena permainan Zone-2000.

Dan yang membuat saya lebih takjub, selepas acara anak-anak kembali diantarkan ke sekolah! Ck ck ck…

Sungguh suatu teladan yang patut dicontoh. Bravo Graha Media M’tos Makassar!
^__*

Graha Media : Program Wisata Pendidikan
(inilah fasilitas mobil-mobil jemputan itu)

Graha Media : Program Wisata Pendidikan
(anak-anak asyik menyimak acara)

Graha Media : Program Wisata Pendidikan
(ayoo, siapa belum kebagian snack?)

Graha Media : Program Wisata Pendidikan
(member card - diskon 10%)

Graha Media : Program Wisata Pendidikan
(perburuan buku dimulai)

Graha Media : Program Wisata Pendidikan
(asyiknya memilih buku favorit)

Graha Media : Program Wisata Pendidikan
(duuh, tingginya buku pilihanku -- my son!)

Graha Media : Program Wisata Pendidikan
(laris manis tanjung kimpul, pagi-pagi rezeki ngumpul)

22.2.12

Twilight vs TUILET (Bukan Resensi)


Emosi jiwa saya masih terasa sampai detik ketika saya membuat tulisan ini. Berawal dari hari Minggu lalu, ceritanya saya ke Gramedia untuk mencari Anak Rembulan. Penasaran, karena beberapa kawan menyebut buku itu bagus. Setelah saya input judul di komputer pencarian, tertulis disana masih ada stok 6 buah buku. Beranjaklah saya ke rak buku bagian novel. Saya susuri deretan ratusan judul buku yang ada di sana, bolak-balik beberapa kali namun si Anak Rembulan tak kunjung ketemu. Daripada frustasi akhirnya saya tanyakan ke petugas jaga yang ada. Ternyata sama saja, si mbak juga bingung mencari letak novel itu. Sampai-sampai akhirnya dia pun mencari bala bantuan dua orang lagi untuk menyusuri deretan buku-buku di rak. Sekitar setengah jam saya menunggu sambil cuci mata melihat-lihat dan membaca-baca sinopsis singkat beberapa buku yang ada di sana.

Pada saat itulah tiba-tiba saya terhenyak, ketika mata saya tertumbuk pada sebuah buku berjudul ‘TUILET (tuh iler melet)’ dengan kalimat heading berbunyi “Catatan Edward Cullun, Si Kucrut Korban Vampire”. OMG! Ada ya buku seperti ini? Dan hei! ya ampun ternyata bahkan ada dua lagi buku lanjutannya dengan judul plesetan New Moon dan Eclipse (saya lupa apa bunyinya).

Kesal? Tentu saja saya kesal! Saya kira hanya film ‘Vampire Sucks’ saja yang secara sinis memparodikan The Twilight Saga ini. Ealah, ternyata versi bukunya pun ada! Karya orang Indonesia pulak, atau bukan? (Karena ketika saya berusaha mencari tahu penulisnya, ingin protes, saya bingung dengan identitasnya).
Memang sih akhirnya saya beli buku itu, saking keselnya dan ingin tahu  isinya …
Saya tidak bilang buku itu jelek. Hasil karya oranglain kan, belum tentu juga saya bisa menulis seperti itu. Walaupun saya cukup terhenyak (lagi) karena sepertinya bahasa Indonesia dan EYD benar-benar tak berlaku dalam buku itu -_-“

… ide itu murah, bisa darimana saja datangnya bahkan dari karya oranglain sekalipun …

Seperti itu kurang lebih kata seorang guru menulis saya. Benar itu, saya setuju! Dalam kasus ‘TUILET’ tadi, haruskah seperti itu? Terus terang saja kalau saya pribadi mah kurang suka. Masalahnya karya-karya itu seperti… bagaimana yah bilangnya? Tokoh-tokohnya, namanya sengaja dibuat jadi jelek, padahal kan apa susahnya sih mengarang nama lain? Bebas kok di dunia tulis menulis, tak perlu pakai potong kambing segala! Mengapa harus memiripkan dalam rangka merusak citranya? Aihhh …

Padahal kalau karya-karya itu dibuat secara fair, bolehlah idenya datang dari karya fenomenal mbak Stephanie Meyer (halah sok kenal banget gw!), apa salahnya kan? Kalau memang bagus bakalan laris juga kok … Harus pede dong kan? Daripada seperti ini … Jujur, saya jadi kecewa. Yang harusnya isi buku itu komedi, bikin ketawa, lucu-lucuan, jadinya nggak dapet. Karena saya sudah kesal duluan. Ditambah lagi ketika ingin tahu siapa penulisnya, keterangannya benar-benar nyakitin hati. Masak pembaca disuruh mencari di TPU, Taman Pemakaman Umum terdekat atas seseorang yang bernama Oben Cedric? Ha!

Eh, ngomong-ngomong buku TUILET ini terbit pertama kali kapan sih? Teman-teman ada yang tahu? Soalnya TWILIGHT kan sudah lama banget ya? Kurang gaul rupanya saya ya, tidak tahu ada buku seperti ini…

Mudah-mudahan dalam perjalanan saya mengejar hasrat dan keinginan untuk menulis, tidak akan pernah mengambil langkah seperti itu…


17.2.12

Ingin terhindar bosan dengan pasangan?

Sering ‘selingkuh’ aja!

Yang bener nih? Udah gila kali yang kasih saran ya? Masak disuruh selingkuh sih?

Tunggu dulu … jangan berprasangka buruk dulu… Selingkuhlah, tetapi bukan dalam arti diam-diam mencari hubungan tak halal dengan orang lain. Namun dengan seabrek kegiatan/hobi/pekerjaan lain yang tidak melibatkan pasangan. Senang-senang sendiri, me time, seperti beberapa orang sering mengistilahkannya. Akan lebih baik lagi bila sebelum ber’selingkuh’ utarakan terlebih dulu keadaan kita, perasaan kita dengan jujur kepada pasangan.

Misalnya nih ya …

 “Mah, rasanya saya agak jenuh dengan segala rutinitas kita. Akhir pekan ini saya ngumpul bareng komunitas motor saya ya di cafĂ© A.”
“Idiihh, Papah mau selingkuh ya? Bosan denganku ya!”
“Iya sih, tapi bukan seperti itu. Aku tetap sayang padamu, kok. Cuma ingin refresh suasana aja bentar. You can always trust me kok, darling…”

Kurang lebih begitulah.

Sebesar apapun pengakuan cinta kita kepada pasangan, sepertinya tak akan pernah bisa menjadi alasan untuk mencegah rasa bosan. Karena rasa bosan adalah manusiawi, pada satu titik bisa saja menyerang, datang dan pergi. Jangankan manusia, mesin saja bisa mengalami keadaan saturasi, jenuh! Disinilah pentingnya faktor kejujuran yang harus selalu menjadi nomor satu dalam sebuah hubungan. Jika rasa bosan bisa naik dan turun grafiknya, kejujuran dalam sebuah hubungan tidak boleh mengalami penurunan, harus on terus, kalau mau berhasil. Lebih baik jujur dengan mengatakan bosan kepada pasangan agar kedua pihak bisa instropeksi daripada menyimpan rapat-rapat sendirian, pura-pura tidak pernah bosan namun suatu saat ketika tak tertahankan malah meledak dan menghancurkan hubungan.

si empunya karya tertulis di pojok kiri bawah gambar ya ^_^


Jadi, jika memang dirasa perlu, ‘selingkuh’lah sejenak, take your ‘me time’ for a while … kemudian kembalilah padanya dalam keadaan utuh dan fresh siap untuk menyongsong masa depan! 

What do you think? :)

Man Jadda Wa Jada

Saya baru benar-benar memperhatikan kalimat ini setelah membaca bab-bab awal novel Negeri 5 Menara. Man jadda wa jada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Saya tertegun. Kenyataan bahwa saya mendapati dua buah kata ajaib, yang apabila saya kunci lalu ringkaskan pun artinya tetap saja luar biasa :

SUNGGUH-SUNGGUH ---> BERHASIL

Hei!
Sungguh-sungguh baru bisa berhasil!
Goooonnggggg! Seolah seperangkat gong dipukul tepat di telinga saya, menghasilkan aha-moment.

Aha! Pantas saja saya belum berhasil-berhasil. Lha wong sejauh ini saya sepertinya tidak serius melakukan apapun. Tidak serius dalam artian tidak fokus, lekas bosan. Baru sebentar melakukan ini sudah beralih ingin melakukan itu, lihat ini mau lihat itu mau … Akhirnya, semua tidak ada yang menonjol, tidak berhasil … menurut saya.

Lalu saya mencoba menelaah ‘orang-orang berhasil’ versi saya, mengamati dan menganalisa mengapa mereka kok bisa saya nilai berhasil. Ternyata, tiap-tiap mereka memang melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Fokus di satu hal. Contoh, Bung Ippho dengan konsep bisnis otak kanannya. Bapak Ali Akbar dengan konsep Playboy Marketingnya. Bung Rangga Umara dengan Lele Lela-nya. Semua jelas, punya ciri khas, menjalankan satu konsep bisnis dan BERSUNGGUH-SUNGGUH makanya secara sunnatullah, pada akhirnya BERHASIL. Man jadda wa jada ……….

Bandingkan dengan saya :

Lihat tetangga punya bisnis pendidikan, ikut-ikut ingin punya yayasan pendidikan. Lalu sudah sejauh mana eksekusinya? Nol…
Lihat saudara punya usaha penyewaan peralatan pengantin, jadi ingin nyemplung di dunia itu juga. Terus, sudah mulai? Belum juga…
Lihat teman-teman berkarya menuliskan banyak buku solo, pengen juga. Sudah sejauh mana? Yaaa, baru mau bikin konsep, lumayanlah daripada dua yang di atas tadi…
Beberapa hari belakangan ini bolak-balik ke penjahit, mau juga bisa menjahit. Maka belilah mesin jahit … -___-“

Hadeuuuhh, dimana MAN JADDA nya? Dan kapan WA JADA nya?

Btw, saya bertanya-tanya sendiri man jadda wa jada ini berlaku juga tidak sih untuk perbuatan jahat? Misalnya seorang pencuri, tidak tertutup kemungkinan kan ia menerapkan nasihat ini untuk keberhasilan aksinya? Bersungguh-sungguh mengintai, memilih mangsa, mempelajari situasi sebelum menjalankan aksinya agar berhasil. Seorang pencuri pun pasti ingin berhasil kan ya? (naudzubillah) Dan bila bersungguh-sungguh memang pasti akan berhasil kok … Buktinya, lihat saja di sekitar kita, adaaa saja kasus pencurian. Dari sekadar ‘mencuri’ sandal, ‘mencuri’ biji coklat, mencuri ayam sampai mencuri uang negara! Dengan hukuman yang biasanya sih, semakin besar yang dicuri semakin ringan … Jadi kata orang-orang, kalau mau nyolong sekalian aja yang gede, kelas kakap biar aman, ups ngelantur! Astaghfirullah…. Pantesan negeri ini kacau-balau.

Kembali ke topik, berarti bersungguh-sungguh pun ternyata ada etikanya ya? Bersungguh-sungguh bukan lantas serampangan mengartikannya. Ternyata semua tetap harus dalam koridor aturan yang baik dan benar. Kalau yang disungguh-sungguhi keluar dari garis batas aturan yang benar maka meskipun berhasil, alangkah tidak kerennya … Berhasil gara-gara : bersungguh-sungguh mencuri, bersungguh-sungguh merampok, bersungguh-sungguh menipu … weeewww …

So? Saya harus memastikan diri bahwa BERSUNGGUH-SUNGGUHnya saya ketika memulai sesuatu adalah tidak keluar rel, niat diperbaiki, caranya harus tetap sesuai syariat, agar keBERHASILANnya kelak selalu berada dalam ridhoNYA.

Man jadda wa jada! Aku pasti bisa! Insya Allah ……
^_^

(Tulisan ini dibuat dalam rangka memotivasi dan menyentil diri sendiri)

16.2.12

Sakit Hati : paket 'kecil' dalam CINTA

Membahas soal cinta memang tak akan pernah ada habisnya …
Cinta itu adalah Cerita Indah Namun Tiada Artinya. Saking ngetopnya akronim ini ketika jaman SD dulu sampai-sampai saya masih hafal hingga sekarang :)
Atau cinta … deritanya tiada pernah berakhir, kata siluman babi dalam cerita Kera Sakti :D

Cinta adalah kata benda yang abstrak yang berkutat di ranah perasaan sehingga sangat sulit untuk mengartikannya. Gabungan antara ingin memiliki, ingin menguasai, ingin yang terbaik, sangat identik dengan si cinta ini …
Tidak pernah saya dapati ada definisi cinta yang mengeliminasi faktor airmata, kesedihan bahkan sakit hati. Suka atau tidak, sepertinya semua memang sudah sepaket dengan si cinta ini.

Terlebih lagi bukan cinta namanya kalau tidak melibatkan dua pihak, kan? Entah itu antara sepasang insan yang berlawanan jenis maupun yang sejenis. Hei! Jangan berpikir yang tidak-tidak dulu dong. Maksud saya bukan ke arah sana kok! :D

Cinta antara ibu dengan anak perempuannya …
Cinta antara ayah dengan anak lelakinya …
Cinta antara guru dengan muridnya …

Semua itu kan cinta antara sepasang insan yang sejenis, bukan? ;p
Bayangkan, apakah diantara semua cinta itu selalu berjalan mulus? Tanpa sakit hati? Tanpa airmata?

Berapa kali seorang anak perempuan kesal, sakit hati karena diomeli, dilarang ini itu oleh ibunya? Tapi apa lantas mereka tak saling cinta? Tidak toh? Hehehe.
Berapa kali seorang anak laki-laki ngambek, sakit hati karena tidak dituruti maunya oleh ayahnya? Apakah itu terjadi diluar koridor cinta? Nggak, kan? Hehehe.
Apalagi antara guru dengan muridnya … Hmmmm, tak terbayang pastinya berapa banyak sakit hati yang diterima akibat cinta seorang guru terhadap muridnya. Pe-er yang menumpuk, tugas yang selangit, ujian yang mendadak …. Ya ya ya! Hehehe.


sumber gambar disini

So, jangan terkejut bila kenyataannya sakit hati adalah satu paket kecil dalam cinta. Apalagi sekadar cinta semu antara orang pacaran … Sementara cinta dalam pernikahan saja seringkali terisi oleh sakit hati …
Namanya juga manusia, ya nggak?


^__^



13.2.12

Dari Tirai Hujan Hingga Mengejar Pelangi

Menyiasati hasrat untuk membuat tulisan yang sedang surut entah kemana, agar nadi blog ini tetap berdenyut, saya coba untuk posting foto saja. Cukuplah ia bercerita tanpa banyak kata ...

TIRAI HUJAN

Masih dalam rangka foto-foto selama terbang, entah dari atau ke Jayapura, dua buah foto awan yang sedang memuntahkan tetesan hujan ini saya peroleh ...



Sedangkan gambar terakhir ini adalah foto pelangi dari sudut pandang yang tak biasa. I felt so lucky to have such an opportunity like this... biarlah kubagi bersamamu :)



Sedikit info, sewaktu kecil saya terobsesi untuk mengejar pelangi dengan khayalan bahwa ada guci emas di ujung pelangi. Dan pada satu kali kesempatan saya pernah benar-benar melakukannya. Yep! Chasing the rainbow... dengan segala imaginasi dalam pikiranku ... *salahkan itu pada bacaanku, Donald Bebek he he he*

8.2.12

Sertifikasi Halal : Sebuah Opini (bag. 2)

Sampai saat saya membuat tulisan ini, sejak postingan saya sebelumnya mengenai sertifikasi halal, saya masih juga merasa bahwa SH semestinya adalah hak warga negara. Yang artinya tidak perlu kita sebagai masyarakat, sebagai konsumen, terjebak dalam dilema kehalalan suatu produk karena itu adalah kewajiban negara untuk menjaminnya.

Nampaknya sepele sih, tinggal bilang tak usah beli saja kalau ragu. Tapi nyatanya kan tak sesederhana itu perkaranya. Saya bahkan berani bertaruh, lebih banyak orang tak peduli akan SH-SH-an ini dibandingkan yang benar-benar peduli dan konsisten. Buktinya, saya sendiri contohnya. Saya adalah pengguna sebuah produk shampoo anti ketombe yang jelas-jelas tak mencantumkan logo halal dikemasannya. Entah mengapa, padahal dalam daftar bahan-bahannya saya tidak menemukan unsur alkohol, misalnya. (Saya sadar sih untuk produk kosmetik bukan hanya soal bahan baku yang harus diperhatikan tapi juga soal proses produksinya. Proses penyulingan, pengenceran dll-nya yang bisa saja menggunakan unsur-unsur perantara yang tentunya harus dicek kehalalannya. Itulah mengapa kosmetik pun perlu di-SH)  Padahal perusahaannya sangat besar, mendunia malahan. Mengapa sekedar mengurus SH yang bagi mereka tentunya seperak dua perak saja kok tidak dilakukan? Mengapa coba? Apa karena tanpa SH pun produknya laris manis, jadi untuk apa repot-repot? Wah …

Bukti lainnya adalah, sebuah produk mlm kosmetika toh laris manis dan semakin besar jaringannya, padahal jelas-jelas produk itu tak pernah di-SH. Semua yang terlibat didalamnya hanya berbekal rasa percaya bahwa produk itu halal dan digunakan di banyak negara islam lain (adakah negara islam sekarang? Hehe). Sama seperti saya sebagai pengguna shampoo anti ketombe merk tertentu itu. Padahal jelas-jelas ada produk lokal yang sudah ber-SH, mengusung konsep islami pula. Tapi faktanya produk luar negeri ini lebih laris …

Bukti lainnya, bahkan ini soal makanan, sesuatu yang dengan sadar kita masukkan ke dalam tubuh (kalau kosmetik kan bisa saja ada perasaan lebih ‘ringan’ karena penggunaannya eksternal saja). Coba lihat restoran-restoran besar yang pemiliknya entah siapa, pemasaknya entah darimana, bahan-bahannya entah apa, tapi tetap ramai. Okey, kita bisa mengatakan yang dijual cuma ayam, ikan dan sapi, kok. No worry lah… Okey, tapi bahan-bahan masakan kan bukan hanya itu. Ada namanya arak, rhum dll yang dalam masakan mungkin hanya dipakai sesendok dua sendok, hayo gimana tuh? Yakin kah kita bahwa semuanya aman dari hal-hal kecil dan remeh temeh seperti itu? Saya saja kadang tak tahan godaannya untuk mencoba ini itu … Astaghfirullah...

Makanya seperti pendapat saya semula, SH ini seharusnya memang hak warga negara. Jadi, bukan kita, para konsumen yang perlu, tetapi negara lah yang menyediakan hal ini sebagai salah satu bentuk pelayanannya terhadap rakyat. Sehingga tak perlulah kita terjebak dalam kesimpangsiuran dan ketidakjelasan status halal segala rupa produk.

Pertanyaannya, akankah mereka peduli?

5.2.12

Kisah Sopir Taksi Baru

sumber gambar disini

Okey… Jadi begini ceritanya, siang ini sepulang dari belbul (belanja bulanan), saya dan keluarga dengan tangan penuh tentengan kantong belanjaan menuju sebuah taksi yang terparkir di tepi jalan. Sopirnya sumringah ketika tahu kalau kami hendak menggunakan jasanya. Ia membukakan pintu lalu bergegas membukakan bagasi demi melihat barang bawaan kami yang cukup lumayan. Setelah itu kami duduk dan seperti prosedur biasa, menyebutkan lokasi tujuan kami. Biasanya setelah tujuan disebut seorang sopir taksi akan mengaktifkan hitungan argo lalu melaju, kan? Nah, bapak ini tidak. Alih-alih melakukan itu, beliau malah bertanya, “Lewat jalan poros, Pak?” tanyanya pada suamiku.

“Maksudnya?” kami bingung dengan pertanyaannya.

“Errr … anu, maaf, kebetulan saya baru dua hari ini bawa taksi. Jadi saya belum tahu jalan. Bisa tolong sambil tunjukkan jalannya?” tutur sang sopir taksi ini lugu plus tentunya dengan logat setempat yang cukup terasa.

Ya ampiiuuunn. Geli rasanya saya mendengar penuturannya yang sangat jujur dan blak-blakan seperti itu. Baiklah, berhubung rute Telkomas tidak terlalu sulit untuk ditempuh maka kami memutuskan untuk bersedia memandu pak sopir taksi baru ini. Sambil menyetir ia mulai berkisah tentang karir barunya sebagai sopir taksi.

“Baru ka dua hari ini bawa taksi. Tadinya saya bawa pete-pete di Bulukumba,” ujarnya. Maksudnya ia baru dua hari menjadi sopir taksi setelah sebelumnya rupanya profesinya adalah sopir angkot di kampung halamannya, Bulukumba, Sulsel.

Waddoh! Mantan sopir angkot rupanya bapak ini, tukasku dalam hati. Semoga saja bapak ini bukan termasuk sopir angkot yang identik dengan makna ugal-ugalan, nyetir sesukanya, serasa jalan raya milik sendiri yang lain ngontrak. Lho?! He he he…

Jadinya sepanjang jalan saya deg-degan mengetahui kenyataan bahwa pertama, bapak ini baru dua hari nyetir taksi. Dan kedua, bapak ini mantan sopir angkot. Hadeuuhh… Saya berusaha tetap tenang mendengarkan bapak ini melanjutkan cerita.

“Andaikan ada pekerjaan lain, tidak mau sebenarnya saya bawa taksi. Tapi yah mau diapa,” katanya prihatin pada diri sendiri.

Sungguh klasik, renungku dalam hati. Jadi kesel sama pemerintah yang banyak korupsi, enak-enakan di gedung mewah atas nama bekerja demi rakyat .. padahal nol besar. Ini satu contoh nyatanya. Coba kalau misalnya terjadi sesuatu yang tak seharusnya pada kami gara-gara sopir taksi baru kurang pengalaman ini, menyerempet sesuatu misalnya… ihh amit-amit, naudzubillah! Lhoh?! He he he … ngelantur jadinya.

“Sebenarnya saya sempat terpikir berhenti saja bawa taksi ini, karena repot bawa penumpang tanpa tahu arah tujuan. Mending kalau penumpangnya mengerti, kadang ada yang sinis atau marah-marah. Apalagi kalau saya dapat penumpang sedang stress, kutambahi lagi saya minta dia tunjukkan jalan, tambah marah-marahlah sudah,” ceritanya panjang lebar.

Saya tak sanggup menahan senyum membayangkan ekspresi para penumpang yang sempat menaiki taksi ini yang digambarkan dalam kata-katanya tadi. Tapi sungguh saya salut dengan bapak ini karena dari caranya bercerita dan dari kenyataan bahwa sampai siang tadi beliau masih gigih menjalani profesi barunya ini, sepertinya beliau orangnya sabar dan mau terus belajar. Layaklah diberikan kesempatan. Betul tidak, kawan?

“Untungnya senior-seniorku bilang mereka juga pertama-pertamanya seperti begini juga. Tidak tahu jalan. Tapi kalau sudah pintar mi, biar lobang tikus ditahu,” katanya melanjutkan cerita. Untungnya juga syarat diterima jadi sopir taksi cuma yang penting lincah bawa mobil. Andaikan dites soal jalanan di sini, aihh ndak lolos ka itu,” ia menambahkan.

Kami benar-benar terenyuh mendengar semangat bapak sopir taksi baru ini. Kami pun berkenan memperkenalkan beberapa nama jalan yang ketika kami melewatinya beliau bilang baru pertama kalinya ke situ … -_-“

Alhamdulillah, akhirnya kami  berhasil tiba sampai tujuan dengan selamat, in one piece he he he. Senang juga rasanya berhasil menambahkan satu pengalaman untuk beliau. Mudah-mudahan beliau bisa cepat mahir menguasai jalanan kota dan bisa menjadi sopir teladan :D

***

Oh iya satu hal yang hampir lupa saya ceritakan. Pada 10 menit pertama perjalanan kami, ruangan di dalam taksi itu rasanya panas sekali. Saya tanyakan apakah AC mobilnya sudah di-on-kan atau belum, beliau bilang sudah. Malah beliau berkata seperti menyimpulkan, “Memang cuaca sedang panas,” katanya. Padahal  belakangan ketahuan ternyata beliau belum begitu memahami seluk beluk mobilnya sendiri, karena setelah sedikit dioprek oleh suamiku akhirnya ACnya baru terasa. “Maklum selama ini bawa pete-pete,” kilahnya. Ha ha ha … bener-bener deh …

Dan satu hal lagi, gara-gara terpana mendengar ceritanya dan deg-degan sepanjang perjalanan saya sampai lupa menanyakan nama ataupun memperhatikan ID-card pak sopir ini. Fiuuffhhh …

4.2.12

Bergizi, kok!

Pagi itu waktu menunjukkan sekitar pukul 07.30 WITA. Saya sedang bersiap-siap mengantar Fatih ke sekolah. Sembari mengisi waktu menunggu saya dengan cara menonton kartun di tivi, Fatih yang sudah siap dengan seragamnya tiba-tiba nyeletuk ketika jeda iklan ditayangkan, “Ummi aku mau makan mie gelas.”
Wajahnya senyum-senyum jail karena ia tahu persis apa yang akan menjadi jawaban saya.
“Nggak boleh!” jawabku sambil menciptakan ekpresi tegas-jenaka-seperti marah.
Ia pun tertawa lalu berkata, “Bergizi kok, Mi,” katanya sambil menunjuk iklan di tivi yang memang menyebutkan kata ‘bergizi’ dalam tayangannya.
Saya sempat melongo lalu terbahak dalam hati, ha ha ha, pinteran kamu, Nak ngelesnya.
“Ahh, iklan kan belum tentu benar, Nak,” ujarku menutup percakapan.

Gizi apaan?

3.2.12

Kangen Wangi Itu...

Salah satu hal yang pernah terpikirkan oleh saya ketika putra kedua saya berusia sekitar beberapa bulan adalah mengabadikan aroma tubuhnya. Iya, aroma tubuhnya! Bau badannya yang ketika bangun tidur harumnya gimanaaa gitu, kecut tapi segarnya bukan main … mmmhhhh … ngangeni tenan, he he he.

"aku foto sendiri lho pake kamera hape ;p"

Hanya saja saya tidak menemukan cara untuk mengabadikannya. Tidak seperti potret atau rekaman video. Itu kan mudah untuk melakukannya, seperti yang teman-teman biasa lakukan juga kan? Tinggal ambil kamera atau handycam kita bisa mengabadikan semua tumbuh kembangnya mulai dari sejak tarikan nafas pertamanya, prosesi pencukuran rambut pertamanya, tengkurap pertamanya, mainan pertamanya, langkah pertamanya dan pertama-pertamanya yang lain.

Tapi aroma, ada tidak ya yang pernah dan berhasil mengabadikannya? Atau malah tidak ada yang terpikir seperti saya? Padahal menurut saya itu adalah sesuatu hal yang istimewa juga, yang tentu saja tidak akan terulang lagi. Karena semakin besar anak kita, aromanya akan semakin ‘ajaib’. Lihat saja nanti… :D