Kami mengadopsinya ketika usianya sekitar satu atau dua bulan. Entah siapa orangtuanya, darimana asalnya dan bagaimana caranya sehingga ia bisa sampai di halaman depan rumah kami. Yang jelas suara meongannya terdengar hampir tiada henti sepanjang malam itu. Hingga akhirnya pagi hari ayahnya anak-anak memeriksa halaman dan menemukannya disana.
Tanpa acara bubur merah putih apalagi menyembelih kambing kami menamainya, Coach. Ehm, saya sebenarnya yang memilih nama itu. Penyebabnya adalah hasrat saya yang tak sampai, ingin punya tas merk Coach! Mulanya saya ragu hendak mengadopsinya karena ia berjenis kelamin betina, tapi warna bulunya, bentuk ekornya, tatapan matanya dan begitu penurutnya ia sejak ditemukan, tak pernah berontak, membuat luluh hati ini.
Coach kecil yang sangat menggemaskan akhirnya tumbuh menjadi kesayangan kami sekeluarga. Ia pun sepertinya tahu dan sangat menikmati segala kasih sayang kami. Saya merawatnya mulai dari memandikannya, sengaja membeli ikan khusus untuknya, pup and pee training, hingga membasuh keempat telapak kakinya dan mencebokinya sebelum ia masuk ke rumah. Hah??! Menceboki? Iya, menceboki, pake air dan sabun, biar wangi…
Sebagai kucing rumahan Coach terbilang cukup lincah meskipun (agak) gemuk. Mengejar segala yang bergerak, entah itu di dalam rumah maupun di halaman belakang. Tapi terbatas hanya disitu saja karena ia penakut. Itu saja kelemahannya. Ia penakut. Sekali waktu saya berniat mengajaknya, sekedar membeli ikan dari penjaja ikan keliling yang singgah di depan rumah. Wusshh, ia langsung lari ketakutan dan meloloskan diri dari gendongan saya, masuk ke dalam rumah.
Seperti itulah sebagian besar rutinitas kehidupan Coach, kucing kami ini. Sepertinya dia cukup bahagia. Hingga pada sekitar pertengahan tahun lalu ketika musim kemarau sedang ganas-ganasnya. Aliran ledeng di rumah kami benar-benar dalam kondisi yang memprihatinkan. Kami mengalami paceklik air. Akhirnya sempat selama beberapa hari kami mengungsi ke rumah orangtua. Tanpa membawa Coach, kucing kesayangan kami. Pikir kami ketika itu, rumah orangtua tak terlalu jauh jadi tiap hari kami bisa bolak-balik mengantarkan makanan kepadanya. Hari pertama dan kedua berjalan sesuai rencana hingga ketika kami kembali pulang pada hari ketiga, Coach tidak ada di rumah! Saya dan anak-anak mencarinya di sekitar rumah, di halaman belakang, di tumpukan genting yang ada di pojokan halaman, di kolong mesin cuci, di dalam gerobak minuman teh saya yang terparkir di halaman depan, dimana-mana di hampir semua sudut halaman depan dan belakang, nihil! Coach benar-benar tak ada…
Perasaan cemas mulai melanda. Duh, kucing penakut itu lari kemana ya? Apa ia mengikuti teman-temannya yang beberapa waktu sebelumnya memang sering terlihat di dekatnya? Ahh, mungkin seperti itu, mungkin sebentar lagi ia pulang, pikir saya menghibur hati.
Satu hari berlalu, dua hari, tiga hari, seminggu! Coach masih tak nampak bulu dan ekornya. Anak-anak mulai bersedih dan tak henti bertanya kemana si Coach? Tentu saja saya tak tahu harus menjawab apa. Karena saya sendiri kuatir dan juga sedih. Apalagi berbagai pikiran buruk tak henti menghantui saya. Siapa tahu dia tersesat dan tak tahu jalan pulang. Lalu terbayang kucing itu mengkeret di pojokan atau di kolong selokan, mengeong-ngeong mencari kami, kelaparan, kedinginan kalau malam … hiks! Atau mungkin dia diserang oleh kucing-kucing itu lalu kalah dan …. mati, hu hu hu hu. Atau mungkin dia ditangkap oleh manusia jahat untuk dijadikan … bakso! (mengingat issu seperti ini pernah beredar di sekitar kompleks saya) :’’(
Oh, Coachy … kamu dimana???
#hingga cerita ini ditulis Coach belum juga kembali. Kami sudah mengikhlaskannya. Mudah-mudahan bukan sesuatu yang buruk yang terjadi padamu di luar sana, Coach. Maafkan kami … T_T
Ternyata yang namanya hewan peliharaan, meskipun ‘hanya’ kucing kampung, mereka juga punya ‘perasaan’. Bila hendak ditinggalkan cukup lama sebaiknya dititipkan atau dibawa sekalian untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan…