27.10.12

Aku, Teori Diet, dan Raw Juice

[Tulisan ini sifatnya sharing pengalaman semata. Jika kawan tertarik pastikan dulu kawan mengenali tubuh dan kebutuhannya masing-masing serta berkonsultasilah kepada ahlinya]

Dalam iklan makanan, minuman, maupun suplemen pelangsing, saya sering mendapati testimoni konsumen yang menyatakan bahwa mereka telah berhasil menurunkan berat badannya belasan bahkan puluhan kilo. Diperkuat lagi dengan bukti foto mereka tengah menarik celana jeans mereka yang tadinya super jumbo menjadi super duper kedodoran di pinggang.

Saya sering membatin, benarkah itu (saya bukan penggemar bahasa batita yang sedang ngetren itu padahal momen ini saya sungguh berkesempatan untuk mengatakan ciyyus, miapah? Ya nggak? :D)? Benarkah seseorang bisa kehilangan berat sebanyak itu dengan begitu mudahnya? Karena selama ini saya sering berusaha untuk mengeliminasi beberapa kilo saja susahnya minta ampun. Padahal beberapa usaha di antaranya bahkan menggunakan salah satu suplemen itu. Nah loh …

Kalau boleh dibilang keinginan, sebenarnya apa yang ingin saya capai sangatlah sederhana, yaitu mengembalikan timbangan berat kembali seperti ketika saya kuliah. Yang mana itu berarti sekitar 5 kilo saja jauhnya. Ini bukan obsesi, saya berkeinginan juga tanpa pretensi apapun, bahkan tidak atas tekanan atau paksaan pihak manapun (ya ampun, emang mau bikin laporan pengaduan kali!), murni hanya sekadar ingin saja. Sungguh.

Dan sebenarnya saya tahu persis metode dan teori diet yang sangat mungkin untuk dilakukan demi mencapai keinginan itu. Tapi namanya juga teori, prakteknya itu lhooooo. Saya memikirkan jogging rutin 30 menit sekali sehari. Plus memperbanyak asupan sayur dan buah dalam pola makan serta melenyapkan menu kudapan semacam donat, roti isi, black forest, brownies, goreng-gorengan panas teman minum teh, dan segala macamnya, glek!. Juga menghilangkan jadwal makan malam. Wuihhh, teori yang sangat perfecto. Jika disiplin, saya yakin dalam sebulan target pasti tercapai. Masalahnya, prakteknya itu. Susah!

Hingga beberapa waktu lalu ketika akhirnya saya mengenal soal raw juice. Saya terprovokasi oleh seorang sahabat yang mulai menerapkan pola sehat ala raw juice. Dari banyak status facebooknya saya jadi tahu kalau tiap pagi dan malam beliau memblender beberapa sayur dan buah lalu mengonsumsinya. Saya terpancing. Bukan dalam rangka diet hingga akhirnya saya ikut mempraktekkannya. Tapi lebih karena, harus saya akui, saya jarang memasukkan menu sayur dan buah dalam pola diet saya sehari-hari. Jadi untuk mengurangi rasa bersalah, saya berniat akan mulai mengalihkan menu sayur dan buah melalui kebiasaan nge-raw juice ini. Saya pikir nantinya kalau sudah rutin melakukannya, meski makan hanya pakai protein saja, kan jadinya nggak apa-apa, iya kan? :D

i love strawberries ... ^_^

Juga karena faktor U, if u know what I mean … hehehe. Saya ingin sehat terus sampai berapa pun usia saya nanti. Dan salah satu usaha yang bisa saya lakukan untuk mencapainya adalah dengan menjaga pola makan dengan baik. Setujuuuu??? J

Lucu ketika saya membuat raw juice pertama saya. Dengan sok tahu saya menyiapkan beberapa lembar sawi hijau, wortel, nanas, mangga, dan sedikit air. Saya kaget ketika menuang hasil blenderan, lho kok jauh dari bayangan saya tentang jus. Yang ada malah penampakannya seperti bubur. Whuaa, gimana nelennya?

my first raw juice :D

Belakangan baru saya tahu bahwa raw juice ya memang seperti itu. Cenderung kental dan seperti bubur. Namun justru disitulah letak seninya. Bagaimana kita bisa menggabungkan beberapa macam buah dan sayur dengan aneka tekstur dan juga rasa agar sesuai dengan apa yang kita kehendaki.

Oh iya, selain saya mulai menerapkan tradisi nge-raw juice untuk diri sendiri, saya pun sekalian melibatkan anak-anak. Agar jangan hanya saya yang menuai manfaatnya tapi mereka juga. Harus saya akui sensasi rasa dari raw juice ini bukanlah seperti jika kita tengah menikmati sepotong pepperoni pizza ataupun ayam goreng Kentucky atau bahkan semangkuk salad buah. Dan saya tidak berusaha untuk menyembunyikan kenyataan itu dari anak-anak. Mereka saya bebaskan untuk berekspresi sejelek mungkin ketika menelan raw juice, yang penting masuk!

Saya bahkan membuat tagline sendiri untuk anak-anak, yaitu ‘ada kejutan berbeda di setiap racikannya’. Karena memang demikian. Segelas raw juice rasanya tak pernah sama, kombinasi komposisi bahannya sungguh kaya!

Kembali ke soal teori diet yang sempat saya singgung di atas, saya tidak akan bilang sekarang saya sudah berhasil mencapai target pribadi untuk menurunkan sedikit berat badan, jangan kecewa jika kawan sempat berharap membaca demikian hehe. Tapi sungguh, setiap saya selesai meminum segelas raw juice, biasanya saya akan langsung kenyang. Misalnya saya minum pagi hari, maka sampai siang pun rasanya perut kenyang terus. Apalagi kalau minumnya sore hari, rasanya sudah nggak ingin makan apa-apa lagi. Well, silakan disimpulkan sendirilah andai saja saya bisa berhasil mendisiplinkan diri untuk merutinkan kebiasaan nge-raw juice ini, sebulaaaan saja.

Tapi ya begitulah, ini hanyalah teori saja … J

kiwi-love, aren't they sweet? (foto by annisa)


*Jika kawan ikut tertarik untuk nge-raw juice-ria, please gugling dulu ya ke sumber-sumber yang lebih berkompeten. Takutnya kawan berpantang dengan jenis buah atau sayuran tertentu. Karena seperti kita ketahui beberapa buah/sayur bisa membuat tekanan darah menurun, asam urat kumat atau lambung protes. Tulisan ini sifatnya hanya sekadar sharing saja dari saya yang pemula. So, please keep smart yaaa ^_^

**Saya selalu penasaran, obat-obatan dan suplemen penurun berat badan itu jika dikonsumsi terus menerus apakah akan mungkin membuat berat badan seseorang terus susut … susut … susut … hingga akhirnya hilang? ;p

21.10.12

Voorrijder


Voorrijder. Dengan dobel r. Keren ya kata itu? Terdengar sangat berkelas. Eh, tapi sebenarnya artinya apa sih? Dan cara ngucapinnya gimana sih? Karena saya mengenal kata ini selalunya ketika di televisi beredar berita mengenai seorang petinggi negeri yang, kalau bukan menggunakan maka menolak menggunakan voorrijder ini.

Ketika kita mencari referensi petinggi-petinggi negara yang menolak menggunakan pasukan pengawal, memang kebanyakan nama-nama asinglah yang muncul. Eh, berarti voorrijder ini artinya pasukan pengawal ya? Sebut saja Presiden Filipina, Benigno Aquino, Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad, atau PM Inggris, David Cameron dan juga Presiden Mesir, Mursi. Namun tentu saja referensi petinggi negeri sendiri juga ada dong. Apalagi yang paling mutakhir, yap!, sang fenomenal, Joko Widodo, gubernur Jakarta. Beliau mengucap ikrar bahwa jika menjabat sebagai gubernur dirinya tidak akan memakai jasa voorrijder ini. Beliau memilih untuk turut bermacet-macet di rimba jalan raya ibukota bersama segenap warganya. Nah, jadi sebenarnya voorrijder ini pasukan pengawal atau pengurai kemacetan sih?

Untuk menuntaskan penasaran saya mencoba untuk menelusuri kata voorrijder ini melalui google. Dan seperti yang saya duga kata ini memang adalah kosa kata dalam bahasa Belanda. Dan ketika saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia ternyata artinya orang berkuda. Oke. Case closed. Eh tapi, lalu di mana kudanya?

Gagahnya pasukan berkuda ini! (sumber gambar : republika)

Entah kenapa kata dalam bahasa Belanda ini selalu dipakai untuk mengistilahkan pasukan pengawal atau pengurai kemacetan jalan raya atau apapun maksudnya, bagi pejabat tinggi negara. Atau mungkin kata ini sudah termasuk kata serapan yang umum dipakai di mana-mana untuk menyebut pasukan pengamanan semacam itu?

Ah, apapun itu jujur saja saya salut dengan apa yang dilakukan oleh Gubernur Jakarta, Joko Widodo. Beliau berpendapat bahwa jika dirinya tidak merasakan langsung yang namanya macet bagaimana mungkin ide untuk mengentaskannya bisa muncul? Jangan sampai gara-gara menggunakan pasukan pengawal atau petugas pengurai macet atau voorrijder atau apalah istilahnya, seorang petinggi negeri bahkan tak sadar bahwa kemacetan sesungguhnya masih terjadi. Iyalah, bagaimana mau menyadari, wong mereka nggak pernah merasakan. Jadi bagaimana solusi untuk mengatasi kemacetan yang akan dilakukan oleh Gubernur Jakarta? Kita lihat saja nanti.

Dan apapun itu, solusi kemacetan itu, saya hanya berharap, hurry up!, cepet-cepetan sama program peluncuran mobil “murah-meriah” aneka merk itu…!

15.10.12

Jeruk Nipis Sebagai Pengganti Cuka


Kuah bening berlinang kaldu daging memenuhi seluruh dimensi wadah bulat cekung bergambar ayam jago merah di sisi luarnya. Suhunya masih tak jauh dari 100o celcius, mengepul-ngepul menguarkan harum rempah. Paduan antara aroma lada, batang serai, daun salam, dan sedikit jahe. Asap putihnya memenuhi rongga hidung, menggedor-gedor dindingnya, membangkitkan selera. Sementara itu bulatan-bulatan berwarna kelabu berebutan memeriahkan isi mangkuk. Timbul tenggelam menarik perhatian, gelisah menantikan keputusan siapa gerangan yang akan memperoleh kehormatan menjadi yang pertama dientaskan dari sana. Belum lagi aneka taburan warna-warni, hijau dan kecoklatan yang mengapung-apung menutupi permukaan.

Hmmmm … nyam, nyam, nyam....

Kawan suka makan bakso? Makanan berkuah bening favorit berjuta umat. Paling enak ketika makan bakso jika dituangi kecap, sambal dan sedikit pengecut agar sensasi segarnya maksimal. Siapa yang sepakat dengan saya?

Berbicara soal pengecut, maksud saya zat yang bisa membuat makanan menjadi terasa kecut, apa yang biasa kamu bubuhkan untuk menghasilkan rasa itu? Terutama dalam makanan berkuah. Cuka?

Saya masih ingat, dulu, ketika masih berdomisili di pulau Jawa, saya selalu menjadikan cuka sebagai pengecut makanan berkuah yang saya makan. Bakso contohnya. Habis gimana dong, semangkuk bakso tanpa rasa asam-asam bagi saya kurang afdol! Namun sejak saya tak lagi menetap di pulau Jawa, saya mulai meninggalkan kebiasaan itu. Bukan karena selera saya berubah, tapiii karena saya baru menemukan bahwa ada sumber lain yang rupanya bisa menggantikan cuka untuk menghasilkan sensasi kecut-kecut segar pada makanan berkuah! Apakah itu? Yap, jeruk nipis. Dan saya sangat senang dengan kenyataan itu. Gimana enggak, meskipun fungsinya sama namun jeruk nipis memiliki banyak nilai plus dibanding cuka. Vitaminnya banyak, dan yang terpenting alami! Bahkan konon jeruk nipis bisa melangsingkan badan lho. Hanya saja ketika mengonsumsi jeruk nipis, seperti juga halnya dengan zat-zat berasa asam lainnya, bagi penderita gangguan lambung harus tetap berhati-hati.

Sayangnya tidak seperti di bagian tengah dan timur Indonesia, di mana jeruk nipis sudah umum disiapkan sebagai pelengkap terutama di warung-warung makanan berkuah, di pulau Jawa, hingga saya terakhir kali mudik liburan lalu, hal itu belum menjadi kebiasaan umum. Masih tetap hanya cuka yang tersedia di warung-warung itu. Apakah karena harga jeruk nipis lebih mahal di sana? Entahlah. yang jelas saya bertekad jika lain kali saya mudik lagi saya akan membawa jeruk nipis sendiri ketika hendak makan bakso di warung favorit saya!

Nyaammm!!! Sugerrnya jeruk nipis ituuu...

Intermezo
Ada seseorang yang mengeluh, katanya jeruk nipis bisa bikin langsing tapi kenapa tiap hari dirinya makan jeruk nipis, alih-alih langsing malah berat badannya semakin naik? Kawan tahu kenapa? Ya, benar! Gimana mau langsing lha wong makan jeruk nipisnya bareng dengan dua mangkuk coto dan empat buah ketupat!

10.10.12

Cara Mencegah dan Menanggulangi Tawuran


Sedih terasa di hati tatkala meyaksikan siaran berita di televisi yang mengabarkan bahwa lagi-lagi seorang siswa SMU tewas akibat tawuran. Terbayang duka yang dirasakan para orang tua, baik itu dari pihak korban maupun pelaku. Belum lagi siswa-siswi lain yang pastinya juga ikut shock mengetahui nasib kawan-kawannya itu. Sedangkan saya yang ‘hanya’ sebagai seorang pemirsa pun rasanya prihatin sekali. Masya Allah, kok bisa terjadi lagi sih yang seperti ini? Sampai-sampai tebersit sebaris tanya di dalam benak sebenarnya bagaimana seharusnya cara mencegah dan menanggulangi tawuran ini?

Sesaat pikiran saya pun melayang jauh menembus ruang memori sejarak sekitar 18 tahun ke belakang jauhnya….

Saya menghabiskan sebagian besar waktu menjalani jenjang pendidikan menengah terakhir, atau ketika itu namanya masih disebut SMA, di sebuah kota nun jauh di Indonesia timur yaitu Ambon. Tepatnya dua tahun saya mengenyam pendidikan di bangku SMA di sana. SMAN 1 Ambon nama sekolah saya itu. Dari segi posisi, sekolah saya itu letaknya tepat berdampingan, hanya terhalang pagar besi rendah saja sebagai pemisahnya, dengan sekolah menengah atas lain. Adalah SMAN 2 Ambon, nama sekolah yang menjadi tetangga sangat dekat dari sekolah saya itu.

Jika para murid beraktivitas di lapangan masing-masing sekolah, kami sungguh bisa saling melihat satu sama lain. Jika ada event di masing-masing sekolah, kami pun bisa saling mengintip dan menonton. Bahkan jika di antara kami ada yang berteman lintas sekolah, tentu saja melalui pagar yang rendah itu bisa sesaat saling bertemu di sela jam bebas belajar.
Sejauh yang saya ingat, dengan kondisi yang seterbuka itu Alhamdulillah tidak pernah kemudian terjadi yang namanya persinggungan-persinggungan yang tidak selayaknya. Apalagi tawuran hingga menyebabkan hilangnya nyawa.

Bercermin dari memori  itu, saya jadi membatin keheranan, lantas mengapa belakangan ini kejadian-kejadian memilukan berjudul tawuran anak sekolahan menjadi marak? Maksud saya, membayangkan posisi SMA saya yang berdempet bak kembar siam dengan sekolah lain itu, ketimbang sekolah-sekolah yang dilaporkan melakukan tawuran akhir-akhir ini. Seharusnya potensi konfliknya lebih besar, bukan? Atau mungkinkah itu berarti dalam hal ini sesungguhnya posisi tidak ada hubungannya sama sekali dengan akan terjadi atau tidaknya tawuran ya? Entahlah. Lalu apa sebenarnya penyebabnya?

Saya juga kemudian berusaha kembali menyelami pikiran saya sendiri ketika berusia 16 – 17 tahun, masa-masa SMA itu. Cukup heran karena sungguh saya tidak menemukan sedikitpun celah bagi sebuah kata bernama tawuran terekam di sana. Terlintas pun tidak. Apakah karena saya perempuan? Ah, tapi kan apa bedanya? Para wanita juga kadang suka tawuran, tawuran rambut, jambak-jambakan, jarene.

Yang ada malah saya menemukan sebuah kenangan bahwa pada satu waktu di masa SMA, saya justru pernah begitu disibukkan dengan kegiatan penelitian tentang teripang bersama enam orang sahabat saya. Penelitian yang cukup serius karena untuk mendapatkan data dan nara sumber, kami sampai menyeberang pulau hingga ke Saparua. Bertujuh saja! Kalau saya pikir-pikir lagi sekarang, saya kadang tak percaya kok saya berani melakukannya ketika itu!
AHA! Mungkinkah itu masalahnya? Masa-masa SMU sesungguhnya adalah soal darah muda, semangat belia, dan jiwa petualang baru yang menggelegak menjadi satu mendesak memenuhi ubun-ubun. Dan olehnya itu membuat para siswa di usia SMU, sadar atau tak sadar, harus melakukan sesuatu demi melampiaskan itu semua. Nah, yang menjadi bahaya adalah ketika mereka memilih jalur yang salah ketika hendak mengekspresikan semua letupan energi tersebut. Kombinasi salah dan tak sadar, mungkin masih bisa dianggap wajar. Namun, salah dan sadar, nah ini yang bahaya. Apalagi ketika konteksnya berbentuk tawuran. Bisa-bisa nyawa taruhannya.

Maka dari itu justru di situlah peranan kita sebagai orang yang lebih tua dari mereka untuk selalu membimbing, mengarahkan sekaligus mengayomi. Peranan orang tua dan keluarga di rumah juga peranan para guru di sekolah, semua harus saling bersinergi demi menjaga mereka. Dan menjadi salah satu kunci yang cukup penting  dalam upaya itu adalah rasa empati dan memahami para siswa SMU ini, terutama soal psikisnya. Agar pada akhirnya kita bisa menemukan langkah jitu untuk mencegah dan menanggulangi hal-hal yang tidak kita inginkan untuk terjadi di antara mereka.

Saya tidak akan menyebut hal-hal semacam meningkatkan keimanan dan ketakwaan dan semacamnya karena hal-hal tersebut meski tak terucap pastinya sudah menjadi kesepakatan kita semua secara otomatis. Namun sebagai sebuah saran praktis untuk mencegah dan menanggulangi tawuran, ijinkan saya untuk mengungkapkan hal berikut ini :

Jadikanlah para siswa SMU ini orang-orang yang selalu sibuk, kalau perlu berlakukan saja sistem jam sekolah yang full day sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi siswa-siswi SMU untuk hanyut dalam kebengongan. ‘Bebani’ mereka dengan jadwal masuk sekolah dari pagi hingga sore ditambah lagi dengan tugas-tugas membuat paper, essay atau laporan-laporan penelitian ilmiah, budaya, bahasa atau apa saja asalkan berguna. Lalu beri mereka kesempatan untuk mempresentasekannya, mempertanggungjawabkannya.

Bayangkanlah jika para siswa SMU seluruh Indonesia disibukkan dengan kepadatan tugas sekolah seperti itu. Bakalan tidak ada lagi kesempatan untuk memikirkan hal lain seperti tawuran. Namun justru jangan heran jika malah nantinya akan tercipta jenius-jenius dan inventor-inventor baru yang akan berkontribusi besar terhadap kemajuan negeri ini.

Jadi ya begitulah ide sederhana saya mengenai cara mencegah dan menanggulangi tawuran ini. Mohon maaf jika ada yang tidak berkenan J


Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Indonesia Bersatu : Cara Mencegah dan Menanggulangi Tawuran

8.10.12

Oleh-oleh Dari Makassar Inter Food, All Pack & All Print Expo 2012


Gara-gara kunjungan saya ke masjidterapung beberapa waktu lalulah sehingga saya melihat baliho raksasa berisi pemberitahuan akan diadakannya sebuah pameran pengepakan makanan dan minuman ini, Makassar Inter Food, All Pack & All Print Expo 2012. Saya yang jauh di dalam hati memiliki ambisi untuk berkecimpung di dunia bisnis, dengan segala konsep dan rencana yang belum juga terealisasi, salah satunya di bidang kuliner, tentu menganggap ini sebagai sebuah tawaran menarik. Wah, saya harus datang nih! Siapa tahu saya bakalan dapat info berharga seputar packaging barang dagangan yang cantik dan menarik berikut tempat pemesanan yang available di kota ini. Begitu kira-kira yang terpikir di benak saya.

Maka akhirnya memilih hari terakhir pameran, 30 September 2012, saya pun mengunjungi event yang diselenggarakan oleh Krista Exhibition tersebut. Bertempat di Celebes Convention Center, Tanjung Bunga Makassar, pameran itu dihelat. Saya ke sana tepat tengah hari ditemani oleh suami. Setelah memarkir motor, dengan langkah pasti saya menuju pintu masuk area pameran. Tepat di pintu masuk saya disambut oleh beberapa petugas jaga berseragam hitam yang mempersilakan saya untuk mengisi form registrasi terlebih dahulu. Agak kaget juga sih, oh ternyata harus mendaftar segala toh, batin saya. Lebih kaget lagi ketika saya melihat daftar isian yang tertera dalam formulir. Selain biodata umum, ada juga bagian formulir yang meminta isian mengenai profil perusahaan pengunjung. Waduh, saat itu rasanya level kepercayaan diri saya merosot hingga ke lantai deh. Perusahaan opo? Perusahaan mbahmu? Ingin rasanya saya garuk-garuk tembok hahaha.

Tapi the show must go on. Setelah memunguti rasa percaya diri yang berserakan di lantai, saya pun mengisi formulir cukup di bagian yang memungkinkan untuk saya isi, termasuk menuliskan risablogedia.blogspot.com, alamat blog tercintaku yang sebenarnya nggak ada bau-bau bisnisnya sama sekali, di bagian isian website, ha ha ha, dan mengosongkan bagian yang memang tidak memungkinkan untuk saya isi, seperti nama perusahaan, jumlah karyawan dan bla bla bla sejenisnya. Setelah menyerahkan ke petugas registrasi, membayar sebesar Rp. 10,000, dan menerima sebotol air mineral serta name tag, maka here I am … dengan langkah tak yakin memasuki arena pameran.

begitu masuk saya disambut mesin-mesin raksasa semacam ini nih!

Sumpah, saya lagi-lagi kaget begitu melewati pintu depan. Suasananya ramai sekali dan berantakan dan jauh dari yang saya bayangkan. Sebenarnya sudah beberapa kali saya mengunjungi pameran di gedung Triple C ini, namun baru kali ini saya menghadiri pameran yang seperti ini. Kesan pertama langsung membuat saya paham mengapa di form registrasi tadi mereka meminta data-data perusahaan. Lha wong rupanya para peserta pameran itu adalah semacam penyedia mesin-mesin berskala besar gitu, apa ya istilahnya, vendor ya? Hanya kali ini khusus di bidang printing, packing dan food. Begitulah.

Berserakan di lantai, menjadi alas bagi para pengunjung, hasil-hasil cetakan dari printer-printer raksasa itu. Contoh-contoh baliho iklan, foto, kampanye calon wakil rakyat, bahkan peta Indonesia bertebaran di mana-mana, dengan warna-warna semarak, diinjak-injak. Saya merasa cukup tidak nyaman, terus terang saja, ketika pertama kali melintasi lorong-lorong antar stand itu. Karena saya pikir, waduh ini apa nggak rusak iklan-iklannya orang saya injak-injak begini? Tapi berhubung di sekitar saya sepertinya cuek saja, maka ya saya pun akhirnya terbiasa juga berjalan di atas lembaran-lembaran baliho itu. Dan gara-gara menyaksikan itu semua jualah akhirnya kurang lebih saya tahu dari mana baliho-baliho raksasa yang bertebaran di jalan-jalan raya itu berasal. Pantas saja besar-besar, lha wong mesin cetaknya saja segede gaban!

tuh diinjek-injek hehehe

Meninggalkan segenap hingar-bingar mesin-mesin cetak itu, seraya dalam hati menyadari bahwa sepertinya saya tidak akan menemukan apa yang sesungguhnya saya cari melalui pameran ini, saya pun berjalan menyusuri sayap lain dari gedung Triple C ini. Sampai akhirnya tibalah saya di bagian stand Inter Food dan All Pack Makassar Expo (bagian yang berisi mesin-mesin percetakan tadi rupanya berjudul All Print Makassar Expo). Meski tetap saja, seluruh pameran itu rupanya menyasar pengusaha-pengusaha menengah ke atas, namun setidaknya di bagian makanan dan pengepakan ini saya sedikit merasa nyaman. Alhamdulillah, mengunjungi satu stand ke stand yang lain di sana benar-benar membuka wawasan saya. Lihat! Ini lho baru namanya bisnis… Seumur ini kamu belum memulai apa-apa padahal di luar sana orang lain sudah berkembang pesat bukan kepalang. Lantas mau jadi apa kamu? Lagi dan lagi saya menampar diri saya berulang-ulang. Dalam makna konotasi tentunya.

Beraneka brosur saya kumpulkan, dengan harapan suatu hari nanti akan berguna. Beberapa penjaga stand saya ajak bercakap-cakap berharap mendapat beberapa tambahan ilmu, sembari dalam hati sungguh berharap, please jangan tanya apa usaha saya atau perusahaan saya bergerak di bidang apa, yang sayangnya tidak pernah terkabul -_-“ pasti selalu ditanyakan, hiks. Bahkan ketika saya menyatroni stand MUI dan menanyakan sedikit ini dan itu mengenai prosedur sertifikasi halal, saya pun ditanyakan hal yang sama. Hihihi, tak apalah, anggap saja semua itu adalah doa sekaligus cambuk bagi saya untuk segera berkarya. Ayooo, kapan dong kapaaan???!!! Teriak saya pada mesin printer yang membisu.

Ada satu stand yang sangat menarik dari Inter Food Makassar ini, yaitu keberadaan semacam podium tempat diselenggarakannya demo masak. Dan yang paling menyenangkan lagi, saya berkesempatan untuk mengikuti salah satu demo yang kebetulan baru saja akan dimulai ketika saya tiba di sana. Apalagi yang hendak didemokan ketika itu adalah kue yang sedang ngetop belakangan ini. Yap! The Rainbow Cake. Yihaaa…. Senang bukan main rasanya bisa menyaksikan secara langsung seorang chef, Cesar namanya, memeragakan proses pembuatan kue paling terkenal sejagad itu. Semakin lengkap kesenangan yang saya rasakan karena pada demo itu hadir pula seorang Mr. Yudi Harijono, managing director Couture Cake,  memeragakan langsung salah satu resep pudding. Bukan resepnya yang paling menarik perhatian dari seorang Mr. Yudi ini, namun prestasi dan keterampilannyalah yang berhasil membuat saya membelalakkan mata. Orangnya sih santai, ramah, lucu, bersahaja, tapi siapa sangka beliau ini pernah mendekorasi kue seharga 3,4 milyar. Ulangi, yap, tiga koma empat milyar. Wo ho ho, kebayang nggak sih kue macam apa seharga milyar-milyar begitu?

antusiasme peserta

chef Cesar dan juga Mr. Yudi

Tentang kue itu. tak usah berkomentar mubazir dan sebagai-bagainya, saya sendiri rasanya geregetan ingin membahasnya dalam satu postingan khusus hehe, silakan dalam hati saja. Yang jelas faktanya memang ada seseorang di luar sana ‘tega’ memakan kue seharga sedemikian. Fiuuffhhh. Yang menjadi pertanyaan saya, itu orang uangnya sebanyak apa, rumahnya seharga berapa ya, lha kuenya tiga milyar begitu? Benar-benar seperti dongeng hehehehe.

ada kids cornernya juga lho!

Jadi ya begitulah … sekelumit oleh-oleh dari Makassar Inter Food, All Pack & All Print Expo 2012, yang pada akhirnya saya simpulkan benar-benar sangat berkesan bagi saya ini. Banyak ilmu diperoleh, banyak wawasan semakin terbuka, Alhamdulillah. Tinggal satu hal yang kurang. Action. Actionnya mana???

See you next year :D

4.10.12

123 Listrik : Antara Kenyataan dan Harapan

PROLOG

Gombalisme dunia pacaran selalu menarik untuk dibahas. Sepasang muda-mudi saling jatuh hati lalu memadu kasih dalam tali pacaran. Duh! Serasa dunia ini milik berdua, dipenuhi oleh bunga-bunga asmara. Cinta, cinta, cinta, itu saja yang mengisi benak mereka. Coba saja, andai tagihan listrik dimasukkan sebagai menu wajib dalam dunia pacaran, kira-kira masihkah pemikiran seperti itu tetap sama?


LISTRIK, LISTRIK, SEMUA LISTRIK

Listrik sebagai salah satu kebutuhan manusia yang paling krusial rasanya kini tak mungkin lagi dieliminir keberadaannya dalam kehidupan. Untuk pintar perlu listrik, untuk sehat perlu listrik, untuk cantik perlu listrik, untuk senang-senang perlu listrik, bahkan untuk kenyang pun perlu listrik. Listrik, listrik, semua listrik.

Cukup menggelitik sebenarnya tatkala kita meluangkan waktu sejenak untuk sedikit merunut ke belakang, betapa beberapa dekade sebelum ini ketergantungan akan listrik tidaklah segenting saat ini. Dan nyatanya kehidupan manusia kala itu juga baik-baik saja. Namun bandingkanlah dengan kehidupan sekarang. Jangankan sehari, setengah hari atau satu jam saja tanpa listrik, cukup untuk membuat tensi darah melonjak, jantung lebih kencang berdetak, kepala pening dan hati menggalau. Jika alasannya urgen, semisal untuk lalu lintas udara atau ruang gawat darurat, semua kita tentu mafhum bahwa sedetik saja tanpa listrik berarti nyawa taruhannya. Namun terkadang untuk alasan sepele, ketiadaan listrik seolah kiamat dunia saja padahal masalahnya hanya tak bisa meng-update status sosial media atau mungkin tak bisa memasak nasi!

Bukan berarti saya bermaksud mengajak kita semua untuk mundur ke zaman dahulu, tentu saja itu bukan solusi. Namun satu hal yang senantiasa tebersit dalam pikiran saya adalah bagaimana seharusnya kita memandang semua ini, tentang listrik dan dinamikanya dalam kehidupan kita, secara tepat dan proporsional?

1 2 3 : AKU dan PLN

Sebagai seorang penjaga gawang rumah tangga, saya sudah cukup kenyang menelan asam garam kelistrikan ini. Saya tidak sedang melebih-lebihkan pernyataan, karena memang yang saya alami seperti itu. Predikat saya sebagai seorang istri yang sudah berlangsung sekitar satu dasawarsa, membawa saya berpindah-pindah domisili : Bali, Jayapura, dan Makassar. Nah, ketiga kota inilah yang banyak mengayakan pengalaman saya bersama listrik.

Saya cukup beruntung pernah beberapa tahun tinggal di Jayapura, sejak 2004 - 2008. Selain kota itu memiliki bentang alam yang memesona, kondisi listrik di sana juga cukup luar biasa. Mati listrik beberapa kali sehari adalah sesuatu yang lumrah terjadi di sana. Ala bisa karena biasa, mau mengeluh juga tiada berguna. Toh mau mengeluh pada siapa karena memang seperti itulah adanya. Hingga akhirnya demi mengurangi dampak akibat mati listrik yang tak kenal waktu, meski bagi saya sesungguhnya yang paling banyak terkena dampak ‘hanya’lah terusiknya lini kenyamanan pribadi, kami pun menyiapkan perangkat sumber listrik cadangan berupa aki dan inverter. Sehingga setiap kali listrik dari PLN off, inverter mengambil alih. Lumayan, meski hanya sekadar menyalakan kipas angin, televisi dan sebuah bola lampu. Benar-benar sebuah pengalaman tak terlupakan, dan sangat mengayakan. Namun seperti yang sudah saya katakan hal itu justru membuat saya merasa beruntung. Beruntung sehingga ketika saya pindah dari sana saya bisa lebih mudah bersyukur. Beruntung juga karena dengan pengalaman itu saya bisa menceritakannya sekarang sembari nyengir-nyengir kuda.

Pengalaman lain lagi saya dapatkan ketika berdomisili di Makassar tepatnya setelah kepindahan saya dari Jayapura. Pernah pada suatu musim kemarau, terjadi suatu hal yang menurut saya agak tak lazim untuk terjadi pada kota besar semetropolitan Makassar. Makassar yang disebut-sebut sebagai gerbang utama Indonesia timur sekaligus pusat bisnis, investasi, dan banyak bla bla bla lainnya, pada kenyataannya listriknya sering on off. Berjam-jam pula. Memang kala itu sedang musim kemarau, akan tetapi haruskah hal itu layak dijadikan alasan? Sedangkan pada zaman dahulu di sebuah negeri di mana nabi Yusuf berada, paceklik berturut-turut selama 7 tahun pun bisa mereka tanggulangi.

Namun Alhamdulillah musim kemarau tahun itu rupanya menjadi pengalaman buruk terakhir saya tentang listrik di Makassar. Karena setelahnya bahkan hingga kini, sepertinya PLN telah menemukan solusi dalam mengatasi masalah krisis listriknya bahkan di musim kemarau sekalipun. Terbukti hingga Oktober ini meski hujan belum pernah benar-benar turun, namun listrik tak lagi on off seperti kala itu. Sekali-sekali padam tentu wajar. Namanya error tak mungkin tidak pernah terjadi, bukan? Yang penting selama ikan dalam kulkas tidak sempat mencair, it’s okelah…

pada suatu mati listrik di Makassar...

Tak seperti kedua kota tadi, satu hal yang cukup mengesankan adalah pengalaman saya dan listrik selama berdomisili di Denpasar. Rasa-rasanya saya tidak pernah mengalami kenangan buruk tentang listrik selama bermukim di kota yang terletak di sebuah daratan berjuluk Pulau Dewata itu. Entah, apa karena saya hanya sebentar saja menetap di sana, tak sampai satu tahun, atau karena ada faktor lain. Saya sendiri tak mengerti.

3.10.12

Resensi First Novel "Mima dan Putri Jenna"




Judul Buku      : Mima dan Putri Jenna
ISBN               : 978-979-084-659-3
Penulis            : Fita Chakra
Penerbit           : Tiga Ananda (creative imprint of Tiga Serangkai)
Terbit               : Mei 2012
Isi                     : 64 halaman





Mengusung ide bahwa cantik itu adalah soal inner beauty, alih-alih sekadar kulit putih dan rambut lurus, menjadi inti dari kisah yang tertuang dalam buku First Novel “Mima dan Putri Jenna” ini. Dengan tokoh utama bernama Mima, seorang piatu yang tinggal bersama ayah dan tantenya.

Mima adalah seorang gadis cilik berumur 7 tahun yang menyukai wortel. Alur cerita mulai berkembang ketika seorang kawan sekelas Mima yang bernama Tara menyebarkan undangan pesta ulang tahun. Mima bersemangat menyambutnya, terutama karena ia belum pernah merasakan sesuatu yang bernama pesta ulang tahun. Dalam undangan tersebut ada semacam dress code dan juga sebuah ‘kompetisi’. Dress code-nya adalah mengenakan pakaian yang unik dan kompetisinya adalah para undangan diminta membawa makanan favoritnya untuk nanti dinilai oleh para tamu. Mima bingung. Pertama soal baju, baju apakah yang akan dikenakannya nanti? Sementara meminta pada ayahnya ia tak tega. Lalu kedua soal makanan favorit. Mima merasa malu karena makanan favoritnya adalah wortel, makanan yang secara umum sulit disukai oleh anak-anak.

Sementara itu siapakah Putri Jenna? Putri Jenna adalah seorang tokoh yang membuat novel ini menjadi berbau fantasi. Tersurat dengan kemunculannya yang ajaib, dari dalam buku harian almarhumah ibunda Mima. Fantasi, sesuatu yang ketika saya kecil dulu selalu membuat imajinasi saya melayang-layang tatkala membaca dongeng yang berisi tokoh-tokoh fantasi terutama yang putri-putrian semacam ini. Sebut saja dongeng tentang Putri Salju, Putri Tidur, dan Cinderella. Demikian pula dengan putri Jenna. Hanya saja bedanya, dalam novel ini penulis berusaha untuk merekonstruksi paradigma anak-anak sejak dini bahwa untuk menjadi putri syarat kecantikan hati adalah lebih utama ketimbang hal lainnya. Satu poin penting yang layak mendapat acungan jempol.

Selanjutnya yang terjadi tentu adalah petualangan unik antara Mima dan Putri Jenna dalam rangka memenuhi undangan ulang tahun Tara. Cara bertutur yang mengalir dan ringan yang digunakan penulis sesuai dengan peruntukan novel ini yaitu menyasar pembaca belia. Masalah dan penyelesaian yang tidak bertele-tele, kemudian penyisipan beberapa pengetahuan umum misalnya tentang kain batik (hal. 53) juga menjadi nilai tambah atas kisah ini, melengkapi pesan bahwa cantik bukan melulu soal fisik.
Syarat menjadi seorang putri
Hati yang cantik, senyum tulus, tidak dibuat-buat.
Tidak malu mengatakan apa yang disukai, meskipun orang lain tidak menyukainya.
(Mima dan Putri Jenna, hal. 63)


Tulisan ini diikutkan dalam lomba resensi 'Pesta Awug' oleh Forum Penulis Bacaan Anak