27.1.13

Prakarya Sederhana Boneka Tangan Kertas


Prakarya sederhana Boneka Tangan Kertas ini, inspirasinya berasal dari salah satu serial Barney. Bentuknya lucu, bahan-bahannya pun mudah diperoleh, tersedia di sekitar kita, re-use. Selain itu cara membuatnya juga gampang, anak usia SD pun pasti bisa.

Namun meski mudah dan sederhana, prakarya sederhana Boneka Tangan Kertas ini memiliki fungsi yang cukup krusial yaitu mendukung perkembangan otak kanan anak-anak. Kata orang, otak kanan berhubungan erat dengan kreativitas. Jadi, yuk ajak anak-anak kita untuk membuat prakarya sederhana Boneka Tangan Kertas ini di waktu luang mereka. Dijamin, anak-anak pasti suka!

Alat dan Bahan :
Kardus bekas dengan ukuran sesuai selera
Kertas sampul warna-warni
Lem
Gunting
Cutter


Cara membuat :
  • Siapkan kardus bekas. Bungkus dengan kertas sampul warna-warni. Pilih warna sesuai selera.  

  • Ambil cutter. Potong bagian tengah kardus bekas yang telah terbungkus (jika anak Anda belum bisa memotong menggunakan pisau, beri bantuan di bagian ini!). Sisakan satu sisi bagian bawah sehingga kardus terbelah dua. Nantinya kedua bagian kardus akan mewakili bagian kepala dan badan boneka.

  • Lipat kardus menjadi dua. Saatnya menghias! Serahkan pada anak-anak Anda. Buatlah potongan-potongan bulat, segitiga, atau apa saja tergantung kreativitas, dari sisa kertas sampul warna-warni.
Daaannnn .........

  • Tadaaa!!! Sebuah prakarya sederhana Boneka Tangan Kertas siap beraksi  ^_^
Perkenalkan : Pia, Oinky, dan Zebi
We are cheerpapers!
One, two, three, let's march to the tree
  • Siapkan semacam panggung, biarkan anak-anak beraksi dengan aneka cerita khayalannya. Selamat mencoba dan bergembira bersama anak-anak tercinta!
"Once upon a time ....."


25.1.13

1001 Macam Makna Jempol


Kawan, apa kau suka tebar jempol di facebook? Status ini, jempol. Status itu, jempol. Foto ini, jempol. Foto itu, jempol. Saya iya, hehe. Apakah setiap jempol berarti suka? Tidak juga. Tidak semua jempol saya bermakna suka. Makanya saya sebenarnya tidak mengerti kenapa ungkapan ‘like’ atau ‘menyukai’ tersebut diwakilkan pada lambang jempol. Karena menurut saya ada 1001 macam makna jempol. Bukan hanya sekadar suka.

Tak percaya? Coba perhatikan, dalam akun-akun yang berupa fanspage, yang tak jarang mengupload peristiwa-peristiwa memilukan, entah itu dalam bentuk foto maupun kisah, biasanya tetap saja menuai jempol. Apakah itu berarti si penjempol menyukai peristiwa pilu itu? Belum tentu, kan? Maka dalam hal ini jempol tentunya bukan indikator suka atau tidak suka.

Jempol!!!
(ambil gambar dari : faqieh.pun.bz)

1001 macam makna jempol, saya pribadi terkadang memberikan jempol untuk statement tertentu sebagai ungkapan bahwa saya telah membacanya. Melalui jempol saya ingin mewakilkan kalimat, “Hei, saya sudah membaca tulisanmu, ya!” Terutama ketika saya enggan berkomentar.

Atau sebaliknya, ketika saya menuliskan sesuatu, kemudian seseorang mengomentarinya. Terkadang saya menjempoli komentar tersebut, bukan indikator kesukaan, namun sebagai tanda ‘saya sudah membacanya’.

Berkenaan dengan 1001 macam makna jempol, ada satu hal yang cukup menggelitik, yaitu ketika ada kompetisi yang penilaiannya semata berdasarkan jumlah jempol yang berhasil dikumpulkan. Sampai-sampai hal semacam ini dilihat beberapa pihak tertentu sebagai peluang bisnis. Konon ada lho penyedia jasa jempol berbayar! Benar tidaknya entahlah, tanyakan saja pada semilir angin yang mengembuskannya.
Tapi mengenai lomba yang berbasis jempol, tidak berarti saya seratus persen antipati lho ya. Toh beberapa kali saya juga mengikuti lomba yang semacam itu. Meski saya kadang tetap saja geleng-geleng kepala ketika ada penyelenggara lomba yang memilih pemenang berdasar jempol saja. Apa yang mereka pikirkan? Tidakkah mereka tahu bahwa jempol bisa diperjualbelikan? :D.

Tapi kalau saya perhatikan dengan saksama, ketika sebuah lomba mencari pemenang berdasar jumlah jempol, biasanya sponsornya adalah sebuah produk baru. Yang mana produk tersebut butuh dikenal seluas-luasnya sehingga dibuatlah lomba jempol itu. Karena untuk menjaring jempol yang banyak, seseorang harus pandai urusan networking, kan? Menggalang dukungan sepanjang-kali-lebar-kali-tinggi-nya. Sehingga otomatis orang-orang jadi tahu produk yang  dipromosikan secara tak langsung.

Nah, kawan, seberapa sering kau menjadi donor jempol?

Jempol berarti suka. Jempol berarti setuju. Jempol berarti penanda sudah baca. Jempol berarti apresiasi. Jempol berarti dukunglah saya. Jempol berarti…… (berhubung judulnya ‘1001 macam makna jempol’, ada yang mau menambahkan supaya benar-benar jadi 1001 makna?)

18.1.13

Macet = Ciri Khas Kota Metropolitan?


Tulisan ini sudah pernah saya posting di kompasiana dengan judul Kemacetan itu Ibarat Penyakit, Lebih Baik Dicegah daripada Diobati. Ngga apa-apa kan ya kalau saya repost di blog ini? Tidak akan dimarahi oleh googlebot kan ya? *gaptek

Baiklah, selamat membaca .... :)

Setidaknya ada tiga buah mobil berplat --dasar putih tulisan merah-- yang berseliweran di kompleks tempat saya tinggal. Ya, mobil baru. Kursinya masih diselubungi plastik, bodinya bersih, dan catnya, ya tentu saja, mengilat, mentereng menyilaukan, cling! Nyaris tiap saat saya mendapati mobil-mobil berplat seperti itu. Maksud saya, tidak pernah misalnya dalam rentang waktu yang cukup panjang, saya tidak melihat mobil-mobil dengan plat seperti yang saya maksud tadi. Selalu adaa saja. Artinya apa? Artinya, secara umum bisa dimaknai sebagai : orang-orang tak henti-hentinya membeli mobil baru. Iya, kan?

Nah, ini hanya contoh kasus yang melibatkan sebuah kompleks tempat saya bermukim, di Makassar. Bagaimana dengan ratusan perumahan lainnya? Saya yakin hal yang sama pun kurang lebih pasti terjadi di kompleks-kompleks lain. Orang-orang terus saja membeli mobil baru. Di mana pun, kapan pun. Wajar sih, mengingat sejauh ini mobil pribadi memang merupakan transportasi ternyaman yang bisa dipilih (mengabaikan faktor lain semisal betapa mudahnya memperoleh kreditan kendaraan belakangan ini).

Lalu apa masalah saya dengan keputusan orang-orang membeli mobil baru? Tidak ada, sama sekali tidak ada. Saya justru turut bahagia dan berharap suatu saat kelak pun berkemampuan memiliki mobil berplat –dasar putih tulisan merah– seperti orang-orang itu.

Hanya saja sedikit tebersit kekhawatiran di benak saya, jika orang-orang terus membeli mobil baru, bagaimana nantinya dengan kemacetan yang bahkan sekarang pun sudah mulai sering dikeluhkan oleh warga Makassar? Sebandingkah kira-kira pertumbuhan infrastruktur semacam jalan raya, untuk mengantisipasi, MENCEGAH masalah kemacetan? Well, saya berpikir positif saja, bahwa para pemegang regulasi kota Makassar tentu memiliki kepedulian yang bahkan lebih tinggi dari saya (siapalah saya). Dan saya bahkan meyakini bahwa para pemegang regulasi tentunya pemikirannya lebih maju sepuluh langkah daripada saya dalam hal ihwal merencanakan pembangunan dan tata kota. Saya meyakini itu, sangat. Semoga.

Saya teringat sekitar sepuluh tahun lalu ketika jalanan utama kota Makassar seperti  Jl. Perintis, Jl. Pettarani, Jl. Alauddin, masih selebar sekitar empat mobil dijejer (mencakup kedua sisi jalan). Secara garis besar meski jalanan tidak terlalu lebar, lalu lintas lancar-lancar saja. Namun seiring berjalannya waktu, untuk ukuran sebuah fast-growing-city sebesar Makassar, pada akhirnya toh macet menjadi salah satu menu keseharian juga. Seolah ingin mempertegas kenyataan bahwa ciri khas kota metropolitan adalah macet (padahal haruskah?).

Ini adalah antrian menuju lampu merah di daerah Tello. Jika dibiarkan, salah-salah bisa jadi macet sungguhan.
(maaf, kamera hape saya kurang stabil kalau mengambil gambar sambil bergerak jadi gambarnya kurang jelas)

Sehingga diperlebarlah jalanan-jalanan utama kota menjadi nyaris dua kali lipatnya. Namun bagaimana hasilnya? Apakah memperlebar jalanan lantas secara otomatis menjadi solusi kemacetan? Coba  tanyakan saja pada warga Makassar, pasti jawabannya tidak. Tetap saja macet. Meski kalau boleh saya katakan, macetnya masih cukup ‘sopan’. Dibandingkan dengan Jakarta misalnya. Kemacetan di Makassar, terkadang terjadi karena kasuistik semata. Misalnya ada demo, jelas macet. Banjir, itu juga macet. Ada kecelakaan, wajarlah macet. Busy hour, di mana orang-orang serentak pergi-pulang rumah untuk bekerja maupun sekolah, biasanya padat merayap. Di potongan jalan, di mana orang-orang biasanya memutar kendaraan dan ada polisi cepek (eh seribu) di sana, berpotensi macet. Atau pada antrian lampu merah, salah sedikit jadinya macet. Begitulah. Eh, jadi kapan ngga macetnya?

Jadi, sekarang bagaimana? Solusinya apa? Apakah perlu dibuatkan aturan khusus terkait prosedur dan syarat kepemilikan kendaraan? Ataukah mau diperbanyak pertumbuhan jalan raya, lingkar tengah dan sejenisnya? Entahlah, terserah!

Gambar ini pernah saya tampilkan di artikel tentang banjir di makassar.
Nah yang tampak di sebelah kiri angkot itulah cikal jalan lingkar tengah yang saya maksud.

Yang jelas, tertitip tanya, mau dibawa ke mana kota molek yang strategis, ekonomis, dan manis ini? Apakah kemacetannya, yang saya ibaratkan seperti penyakit, hendak dicegahkah atau dibiarkan saja kronis? You tell me…

Sumber bacaan :

16.1.13

Senyummu Membuatku Menangis


Gigimu tanggal satu
Pipimu memar membiru
Denging meraja di kupingmu
Dan kau bilang ‘aku baik-baik saja, mbakyu’

Kutanya apa yang bisa kulakukan untukmu?
Kau bilang cukup doakan saja aku
Kutanya kalau saja ada yang bisa kuberi untukmu?
Ya, pintakan saja agar aku tak merapuh

Lalu bibirmu menyungging senyum
Dan aku menangis….

Dedicated to someone

11.1.13

Banjir Jalanan Makassar dalam Gambar


Hari itu hujan sedang mereda di Makassar. Untuk mengurangi rasa bosan para bocah yang sudah cukup lama terkurung di rumah, --padahal mereka sedang liburan--, akhirnya kuputuskan untuk membawa mereka keluar. Opsinya hanya satu yaitu jalan-jalan mencari tempat rekreasi yang kering dan anti banjir, ehmm …mall, hehehe.

Ketika menyebutkan tujuan kami pada om sopir taksi, serta merta beliau mengabarkan bahwa jalanan menuju mall tujuan kami saat itu sedang macet parah. Saya cukup tercengang. Yaelah, macet. Males banget sih. Tapi ya sudahlah, toh kami sudah melaju juga. Saya berharap semoga saja macetnya tidak semacet itu, kau tahu kan maksudku…

Ketika sampai di depan pintu I Universitas Hasanuddin, terbuktilah ucapan om sopir taksi tadi. Muacettt! Terpaksa saya menelan ludah. Kalau sudah macet di situ ya sudah, tinggal ikuti saja. Mau minta berputar juga tak bisa, karena jalanan di sekitar jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar ini, jarang sekali memiliki tempat berputar. Pembatas tengah jalanan nyaris tertutup semua di sepanjang jalan Perintis Kemerdekaan ini! Di sepanjang pintu I Unhas sampai pertigaan Tello hanya ada satu bukaan. Jadi kapan pun terjadi macet cuma bisa pasrah.

“Ini macetnya kenapa sih?” gumamku.

“Banjir, Bu, di depan sana,” sahut si om sopir taksi.

Banjir?

Yap. Banjir. Dan benar saja, di depan kampus STMIK Dipanegara Makassar, di jalur jalan raya menuju pusat kota, air meluber ke mana-mana, entah dari mana. Dan saya pun hanya bisa geleng-geleng kepala. Mau menyalahkan curah hujan yang meningkat belakangan ini? Mau menyalahkan sistem drainase? Mau menyalahkan pembangunan yang kurang memperhatikan tata lingkungan? Mau menyalahkan oknum yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan? Atau mungkin mau menyalahkan rumput yang bergoyang? Entahlah, you tell me!

Mengabaikan semua itu, berikut ini adalah hasil jeprat-jepret saya ketika mobil melintasi sungai eh jalan raya yang terendam air itu. Terakhir, mari sama-sama berharap semoga kondisi ini menjadikan kita manusia yang mau belajar dari pengalaman. Dan mari berharap semoga lepas dari musim hujan, jalan raya yang sempat terendam air itu tidak rusak!


Beberapa pengendara motor menyatakan pikir-pikir, terobos nggak yaa?

Sungguh! Ini bukan sungai.
Ini calon jalan alternatif yang entah kapan akan selesai pengerjaannya...

tampak belakang


Pete-pete mogok penumpang pun bubar!

Angkot yang di tengah jalan itu, menyerah, mogok juga...

Beda tipis sama Venesia ;p

Ga usah jauh-jauh ke Itali ;p

Tebak! Ini naik apa di mana? :D

Akhirnya, secercah harap di ujung sana... akhir dari banjir!
Mari jadi lebih baik! :)

9.1.13

Giveaway Senangnya Hatiku : Panen Mangga Tahun 2012


Dan jika kau menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kau takkan bisa menghitungnya…

Panen mangga tahun 2012 lalu benar-benar menyisakan kenangan manis di hati. Bayangkan saja, dua buah pohon mangga yang tumbuh di halaman depan dan belakang rumahku sama-sama berbuah. Bukan sekadar berbuah, mereka bahkan sepertinya bersaing! Keduanya seolah adu lebat, siapa yang terbanyak buahnya. Padahal sungguh, aku tidak mengadakan kompetisi atau menjanjikan piala apa pun pada mereka.

Jika tahun-tahun sebelumnya, pohon-pohon ini seakan tengah belajar berbuah. Ada, namun tidak banyak. Kalau pun lebat, kebanyakan gagal, berulat. Panen mangga tahun 2012 lalu, kedua pohon mangga ini sepertinya ingin menebus semua kegagalan yang pernah terjadi. Mereka sungguh jor-joran mempersembahkan buah-buah terbaik yang mereka punya!

salah satu sisi dari pohon mangga di halaman belakang

Selama beberapa bulan, kala buah-buah mangga itu telah meranum, rasanya tak habis-habis aku memanennya. Entah berapa kali kupetik buah-buah itu, rasanya tak terhitung kali. Dan yang lebih menakjubkan, berapa jumlah buah yang berhasil kupetik setiap kali panen? Apa kau bisa menebaknya?

Ayo, bantu hitung!

Secara hitung-hitungan kasarnya, katakanlah setidaknya 50 buah mangga dalam satu kali panen. Sementara untuk satu pohon saja, setidaknya lima kali aku mengunduh (hei, mengunduh di sini bukan dalam konteks bahasa seperti mendownload lho ya :D) buahnya. Lima kali 50 buah sama dengan 250 buah mangga. Itu baru satu pohon. Sedangkan panen mangga tahun 2012 lalu melibatkan dua pohon mangga. Fantastis! Masya Allah!

Dan yang menyenangkan, para tetangga, orang tua, adik, adik ipar, mertua, bahkan beberapa kawan fesbuk, dengan domisili dari barat hingga ke timur Indonesia, bisa turut merasakan manisnya panen mangga tahun lalu itu. Dan yang lebih menyenangkan lagi, buah mangga dalam panen kala itu, sungguh sangat prima rasanya. Buahnya telah menua dan bahkan sebagian masak di pohon, oranye warna daging buahnya, manis rasanya, berair, juicy, dan yummy teksturnya, mmmhhhhh!!!

Ketika sudah meranum,
saking beratnya sampai-sampai buahnya menyentuh tanah

Sekarang musim panen mangga telah usai. Baru terasa betapa besar arti keberadaaan kedua pohon mangga beserta seluruh buah yang telah dihasilkannya tahun lalu. Karena kini ketika aku menyambangi pedagang mangga di pinggir jalan, betapa kagetnya saat mereka mematok harga untuk sekilo mangga. Dua puluh ribu per kilo, yang berarti 4 atau maksimal 5 buah mangga di dalamnya. Dengan kualitas mangga yang dipaksa dewasa, eh, matang, entah dengan karbit atau apa. Yang jelas rasanya tak seprima ketika kau memanennya dari kebunmu sendiri. Ya, tentu saja. Ahhhh …......

Tulisan ini diikutsertakan dalam Giveaway Senangnya Hatiku.