30.7.12

Dinamika Era Digital dalam Persepsi Wanita


Perkembangan era digital telah dimulai sejak lama. Sejak terjadinya perubahan besar-besaran, sekitar tahun 1980, revolusi digital dari teknologi mekanik dan elektronik analog ke teknologi digital (sumber : Wikipedia). Perubahan revolusioner yang kemudian arahnya mengerucut kepada perkembangan teknologi informasi ini hingga sekarang masih terus berlangsung. Semakin pesat dan semakin melesat bak ngebutnya sebuah mobil balap F1 yang baru melewati start line di sirkuit. Barang siapa yang tidak menyesuaikan sudah tentu akan jauh ketinggalan.

Analog ---> Digital
(sumber gambar : wikipedia)
Pun demikian dengan kaum hawa. Apapun profesi yang disandingnya bila seorang wanita tak up-to-date dalam dunia digital maka sedikit banyak akan ketinggalan informasi. Sebagai seorang ibu rumahan, saya pribadi merasakan hal tersebut. Tanpa koneksi internet sehari saja misalnya rasanya ada yang kurang. Apalagi saya gemar menulis dan tengah terlibat aktif dalam sebuah grup kepenulisan. Bukan hanya itu, dengan adanya perkembangan teknologi digital yang bernama internet, begitu banyak kemudahan yang secara pribadi saya rasakan sendiri. Sebagai contoh, untuk memperdalam bekal mengenai tips parenting, internet tentu saja sangat membantu proses itu. Dengan hanya berbekal mesin pencari, nyaris semua informasi yang saya butuhkan tentang cara terbaik dalam hal pengasuhan anak bisa saya dapatkan tanpa perlu keluar sejengkal pun dari rumah.

Apalagi dengan adanya teknologi telekomunikasi yang juga semakin canggih dalam mengakomodir laju pertumbuhan era digital ini. Hadirnya ponsel-ponsel pintar, dengan aneka ragam bentuk, ukuran dan kegunaan. Semakin memudahkan kami, kaum wanita untuk semakin berkilau.


Namun bukan berarti dengan berkembangnya era digital lantas wanita harus kehilangan jati diri pribadinya. Ada tren baru di sana, ikut. Ada tren baru di sini, ikut. Bukankah sebuah kalimat bijak justru berkata, jika kita selalu mengikuti tren maka kita justru akan selalu tertinggal? Maka bagi saya apapun istilahnya dan dimana pun saya berada, saya akan selalu memilih untuk menjadi diri sendiri. Sehingga secanggih apapun perkembangan fashion, make-up, aksesoris,  dan sebagainya di belahan dunia lain, yang tentu akan dengan mudah saya akses sekarang ini melalui media digital, tak akan mengubah diri saya. Saya tetaplah saya. Insha Allah.

Teknologi, secanggih apapun, akan selalu memiliki dua sisi. Satu bersayap dan lainnya bertanduk. Positif dan negatif. Telah banyak kita mendengar berita-berita tak sedap sehubungan dengan pesatnya perkembangan era digital ini. Lahirnya jejaring sosial sedikit banyak mengambil peranan dalam pergeseran tatanan gaya hidup para wanita jaman sekarang. Pertemuan kembali dengan orang-orang dari masa lalu, tidak selalu berdampak baik. Terkadang alih-alih menyambung tali silaturahim, bagi sebagian orang adanya jejaring sosial justru berakibat buruk. Perselingkuhan hingga perceraian jamak kita dengar terjadi akibat terbukanya komunikasi di era digital dewasa ini. Bagaimana seharusnya kita menyikapinya? Tentu pada akhirnya berpulang pada diri sendiri. Karena sesungguhnya ada atau tidaknya jejaring sosial, pesat atau tidaknya perkembangan teknologi digital yang semakin memudahkan kehidupan, kesetiaan dan komitmen kepada pasangan selalu berpulang kepada pilihan masing-masing orang untuk menyikapinya.

Ketika segalanya kembali kepada filter masing-masing diri maka boleh dikata pada akhirnya tergantung kepada seberapa kuat kita membentengi diri kita dengan prinsip hidup yang baik. Apakah hanya gara-gara perkembangan era digital ini menjadikan nilai-nilai suci yang telah kita pegang teguh menjadi luntur? Tentu tidak. Jaman boleh berkembang, mencelat secepat yang ia bisa namun kaidah kebaikan tetap harus digenggam erat. Meski ianya terasa panas layaknya bara api.

Tulisan ini diikutsertakan dalam kontes Fastron Blogging Challenge.

29.7.12

Kisi-kisi : Andai Ujian Hidup itu Semudah Ujian Sekolah?


ini kisi-kisi dalam rangka game Ranking 1
di sekolah anak saya
Kawan perhatikan gambar di samping ini. Sudah baca kata pertama di bagian judulnya? Ya, kisi-kisi. Sekarang kalau saya tanya kapan terakhir kawan mendapat kisi-kisi? Ujian sekolah? Hey, kita sama dong! 

Kisi-kisi itu apa sih? Menurut salah satu KBBI versi online, ada beberapa arti dari kisi-kisi tersebut. Berikut saya tampilkan ya :


ki.si
[n] ki.si-ki.si n (1) kayu atau besi yg dipasang berdiri dan berjarak sehingga terdapat celah-celah (pd tingkap dsb); terali; jeruji; (2) jari-jari (roda); (3) celah; ganggang (pintu dsb)

Sepertinya dalam hubungannya dengan  gambar yang saya tampilkan di awal tadi, arti ketigalah yang diambil. Celah. Dan siapakah gerangan yang pertama kali mempopulerkan istilah tersebut untuk konteks sebuah ujian? Ada yang tahu?

Ketika saya di posisi sebagai seorang murid, yang namanya kisi-kisi sungguh sangatlah berarti ketika tiba masa ujian. Jika guru tengah menyampaikan kisi-kisi maka saya akan serius menyimak, mencatat hingga memfotocopy bahan-bahan yang MUNGKIN saja akan muncul dalam ujian nanti. Entah daya magis apa yang terkandung dalam sebuah kisi-kisi, yang jelas dengan adanya kisi-kisi di tangan, kepercayaan diri untuk menghadapi ujian tiba-tiba menaik. Itu saya, bagaimana dengan kawan?

Memang, saat ini saya sudah jauh dari yang namanya bangku sekolah, namun generasi penerus saya, para bocah, sangatlah dekat. Dan dari merekalah saya tahu bahwa rupanya yang namanya istilah kisi-kisi itu tak lekang oleh waktu. Hingga kini ternyata menjelang ujian tetap saja ada. Meski terkadang namanya berubah menjadi latihan pengayaan atau semacamnya. Tapi tetap saja intinya adalah ‘persiapan’ menuju ujian.

Menurut kawan, bagaimanakah sebenarnya keberadaan kisi-kisi ini? Baik atau tak baik? Perlu atau tak perlu? Sempat tebersit dalam benak saya, menempatkan diri sebagai orang luar maksudnya di luar sistem pendidikan, jika ada kisi-kisi lalu untuk apa ada ujian? Bukankah keberadaan si kisi-kisi ini justru akan merusak hakikat ujian itu sendiri? Terlebih lagi jika ia hanyalah kedok, maksud saya kebocoran yang disamarkan dalam istilah kisi-kisi. Bukankah ujian seharusnya murni ditujukan untuk menguji keseluruhan sistem pendidikan yang diterapkan selama ini, bukan semata menguji otak murid?

Sangat menarik apa yang dipaparkan oleh A. Fuadi dalam bukunya N5M, tentang ujian. Betapa para santri di Pondok Modern Gontor eh Pondok Madani, ketika menghadapi musim ujian, mereka benar-benar berkutat dengan seluruh buku pelajaran, berdiskusi dengan para ustadnya, belajar berkelompok-kelompok, dari pagi hingga pagi lagi, berhari-hari. Dengan keadaan seperti itu, meskipun misalnya gagal dalam ujian sekalipun bayangkan betapa banyaknya ilmu yang akan berhasil diserap oleh murid, mengingat betapa seriusnya mereka belajar dan melalap semua ilmu.

Saya tidak hendak menyatakan secara frontal dan prematur bahwa sebaiknya hentikan pemberian kisi-kisi itu, tidak selaras dengan tujuan pendidikan! Tidak. Pemikiran saya ini masih terlalu dangkal. Tidak melalui studi maupun riset-riset ilmiah. Sekadar bahan renungan saja. Toh, ketika saya hendak mengajukan komparasi, antara ujian sekolah dengan ujian hidup yang saya pikir terjadi pada setiap manusia tanpa kisi-kisi, sepertinya pemikiran saya kurang tepat. Saya baru ingat bahwa dalam kitab suci, bahkan Tuhan rupanya memberikan ‘kisi-kisi’ ujian hidup kok! Simak saja dalam beberapa ayat berikut :

“Allah tidak menguji seseorang melainkan sesuai kesanggupannya …” (Al-Baqarah, 286)

“Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan …” (Al-Anfal, 28)

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikan berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah, 155)

Nah. Tadinya saya pikir andai ujian hidup itu seenak ujian sekolah yang berkisi-kisi. Sehingga sebagai manusia tinggal siap-siap saja, toh ujian hidup ‘paling’ itu-itu juga, sesuai kisi-kisinya. Tapi sepertinya saya keliru. Ujian manusia dalam hidup ini ternyata memang sudah berkisi-kisi. Namun meski ternyata ujian hidup telah terkisi-kisi dengan jelas seperti itu pun terkadang saya sebagai manusia ketika diberi ujian, masih juga tetap menjerit padaNya, “Mengapa aku? Mengapa menurutMu aku sanggup menjalani ini?” dan semacam itu. Padahal kisi-kisinya sudah jelas. Jadi malu….

Hmmm.... Baiklah, manusia tak pernah lepas dari khilaf. Jika ada yang keliru atas pemikiran saya dalam postingan ini, mohon dimaafkan ya J

28.7.12

Terlambat Ikut Giveaway | Risablogedia

Jujur saja, ketika November 2011 lalu saya mulai ngeblog, sesungguhnya saya tidak terlalu paham mengapa saya harus ngeblog? Kalau mau disebut ikut-ikutan, mungkin. Yang jelas saya terpicu oleh seorang kakak seperguruan tinggi yaitu kanda Mugniar. Beliau ini sering ngetag postingan-postingan blognya di akun facebook. Pikir saya, wah keren juga ya mempublish link yang isinya punya kita sendiri. Maka akhirnya ngeblog-lah saya.

Awal mulanya saya memilih nama lengkap saya sebagai alamat blog, karena kebanyakan orang melakukannya, lagi-lagi ikut arus saja. Selang beberapa waktu kemudian saya berpikir, nama saya bukan nama yang unik, sejauh ini saya juga belum memiliki prestasi apapun yang membuat nama saya punya nilai tertentu, beken lah istilahnya, mengapa saya memilihnya sebagai identitas alamat blog? Pikir punya pikir, melalui pencarian pangsit semangkok (halah!), akhirnya saya memutuskan untuk mengubahnya. Pokoknya harus ganti, hanya hal tersebut yang terpikir saat itu. Tidak tahu saya bahwa ketika kita mengubah domain (eh bener ga sih istilahnya?) ternyata secara sistem tidak otomatis akan ikut berubah begitu saja namun ternyata butuh waktu penyelarasan alamat baru yang kita ganti tersebut. Nah, ini adalah kekonyolan pertama saya. Link lama tempat saya memposting tulisan menjadi tidak ditemukan padahal saya sudah terlanjur mempromosikannya di akun facebook saya. Nanti dunia maya akan kehilangan saya gimana? Seperti itulah kira-kira pikiran lebay bin mengada-ada saya ketika itu. Padahal saya ngeblog baru juga beberapa hari, mana ada yang kehilangan, wong blog saya dikenal saja tidak, hahaha.

Berbicara tentang nama blog yang akhirnya saya pilih, kawan tahu tak filosofi dibalik kata ---risablogedia--- itu? Pasti tidak kan? Mau tahu? Baiklah, mau tak mau biarlah saya ceritakan saja.
Ehhmm. Awalnya, saya mempunyai dua pilihan nama yaitu telur-ceblog dan risablogedia. Tapi akhirnya saya memutuskan untuk memakai ‘risablogedia’ saja. Risablogedia sebenarnya berasal dari dua gabungan kata yaitu risa dan ensiklopedia. Maksud saya nantinya blog ini akan saya isi dengan segala jenis tulisan saya, semacam ensiklopedia atas koleksi karya nonlisan saya. Begitu. Terlalu berlebihan ya? Biarlah … hehehe. Dan ternyata selain filosofi seperti itu kata risablogedia rupanya punya arti lain. Saya sendiri baru menyadarinya beberapa saat setelah melebur kedua kata itu. Kalau diucapkan dalam logat Jawa risablogedia kok kedengarannya seperti, risa blog e dia, risa blognya dia. Ya, begitulah kira-kira kisah pemaksaan arti nama risablogedia ini saya beberkan. Semoga menjadi kemakluman kawan akan kenarsisan saya ini --“

Berbicara soal nama blog, ada seorang kawan blog saya yaitu Akhmad Muhaimin Azzet yang mengusung kata amazzet menjadi identitas blognya. Saya berani menebak bahwa kata itu berasal dari kata amazing azzet. Tidak salah, memang menakjubkan sesuai arti namanya. Begitu bukan, Kang? Maaf atas kesoktahuan saya, tapi kalau memang seperti itu, bagus banget artinya, like it ^^.

Nah, berlanjut kepada kekonyolan saya yang lain di awal-awal ngeblog. Adalah masalah PR, page rank. Ketika saya berkunjung ke blog-blog lain, hampir sebagian besar pasti memajang indikator page rank di blognya. Ada yang 1/10, 2/10 dan lain-lain. Saya jadi panas. Wuihh, tulisan semacam itu dapatnya di mana, ya? Kok mereka bisa ada sedangkan saya tidak? Ya ampun, padahal usia blog saya baru beberapa hari nih ceritanya dengan jumlah statistik baru seratusan, itu pun sepertinya bukan karena blog saya dikunjungi orang tapi karena saya masih sering mengedit settingannya dan rupanya tiap klik yang saya lakukan terhitung! Kayak gitu kok sudah mikir page rank! Benar-benar konyol hehehe.

Akhirnya saya putuskan sebelum ngebet ingin begini ingin begitu, yang paling penting adalah saya harus banyak belajar dulu. Bukan hanya tentang cara meningkatkan pengunjung, namun yang lebih menyenangkan adalah mengenai cara menjalin persahabatan sesama blogger. Menemukan para blogger yang menakjubkan, saling bertukar cerita, opini bahkan ajang bagi-bagi hadiah. Yang mana hingga saat ini semuanya itu menjadi jauh lebih penting. Terlebih lagi, akhirnya, melalui semua proses tersebut, saya berani mengakui kembali akan kecintaan saya menyusun huruf-huruf menjadi kata, kata-kata menjadi kalimat untuk kemudian membaginya melalui media ini. Jadi saat ini ngeblog bukan lagi sekadar ikut-ikutan, namun saya siap menjadi diri sendiri bahkan ketika itu melalui tulisan. Amazing, isn’t it?

Note : tadinya tulisan ini dibuat untuk turut memeriahkan Giveaway Azzet tapi gara-gara saya salah melihat tanggal deadline akhirnya terlambat untuk didaftarkan. Daripada tulisan saya mubazir dan masuk recycle bin ya saya posting saja hehehe.

24.7.12

Memecah Dinding Hiatus : Ayo, kerjakan pe-ernya!

Hiaatttt……tusss! Saya bukan sedang memeragakan sebuah gerakan silat. Tapi sedang menyebut kevakuman saya dari aktifitas perbloggingan selama sekitar 18 hari sejak postingan terakhir. Kembali ke papan ketik ini membuat jemari saya sedikit kaku, krekk, dan jadi agak canggung untuk mengungkapkan pikiran melalui tulisan (lebay hehe). Well, berapa giveaway yang sudah saya lewatkan? Juga berapa banyak lomba? *sigh* Tapi ya sudahlah, usah disesali yang tak sanggup dikejar… Namun tetap saya sampaikan salam sukses kepada Kang Azzet, yang sebenarnya ingin sekali saya ikut berpartisipasi dalam perhelatannya, gimana, Kang sudah deadline, ya? Dan juga pada Pakdhe Cholik dengan Jambore Blog-nya yang spektakuler, yang juga tak sempat saya turut memeriahkannya. Semoga lain waktu bisa…

Nah, khusus untuk Mbak Sarijeruk (sampai sekarang saya bingung harus menyapa dirimu apa soalnya daku tak pernah tahu namamu) untuk yang satu ini saya tak bisa melewatkannya. Karena saya sudah berjanji untuk menyelesaikan pe-er yang dilimpahkannya pada saya. Meskipun tetap saja sebelumnya saya harus meminta maaf karena terlalu lama saya mengerjakan pe-er tersebut. Maaf, ya, Mbak. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali kan, katanya? J

Baiklah, untuk memecah dinding kehiatusan saya, dengan ini saya hendak menuntaskan tugas dari Mbak Sarijeruk untuk membongkar isi tas tangan saya. 5 hal yang ada di dalamnya, bukan begitu bunyi pe-ernya? Kan? Okey, berikut ini foto top 5 barang-barang yang paling sering ada dalam handbag saya. Tadaaa……


  1. Dompet, beserta seluruh isinya yaitu kartu identitas dan ATM tentu saja.
  2. Ponsel. Sebenarnya saya menggunakan dua ponsel, yang satu seperti tertera pada foto, sebuah nexian gsm yang layarnya sudah retak dan sebuah android cdma. Tapi si android tidak masuk dalam foto padahal dengan memanfaatkan dialah saya eksis di dumay --“. Kenapa bisa? Soalnya dengan kameranyalah saya mengambil gambar hehehe. Maaf, ya, Andro kamu tak jadi tenar…
  3. Saputangan atau lenso.
  4. Pencuci tangan berbentuk gel, yang praktis dan mudah dibawa kemana-mana. Tapi belakangan saya baru menyadari bahwa ada alcohol dalam kandungannya. Duh, gimana, dong?
  5. Dan yang terakhir, minyak telon. Untuk apa, atau lebih tepatnya untuk siapa? Untuk bocah cilik saya. Yang kemana-mana senangnya memakai minyak telon. Bisa gawat ketika bepergian dengannya dan saya lupa membawa si minyak telon itu. bisa ngambek dan bete dia sepanjang perjalanan.


Baiklah, cukup sekian bedah handbag saya. So simple saja, kan? Maklumlah, ibu-ibu … J

Nah, setelah dikerjakan pe-ernya, lalu diapakan lagi, mbak sarijeruk?

6.7.12

Pengalaman Tak Terlupakan di Bandara


“Kasih keluar pisaunya!” perintah seorang petugas kepada seorang ibu ketika ia melalui pintu detektor menuju ruang tunggu sebuah bandara di pulau Sulawesi. Nada suara petugas tesebut keras, tegas dan jelas. Tidak ada keramahan sedikit pun dalam intonasi suaranya yang cenderung menuduh tadi. Sang ibu kebingungan. Selain karena ia merasa tak memasukkan pisau dalam tas tentengannya (saking bingungnya sang ibu bahkan sempat terpikir mungkinkah para bocahnya memasukkan pisau tanpa sepengetahuannya di rumah? Atau mungkin ketika tadi ia meninggalkan tas itu kepada para bocah dan keluarga yang mengantar untuk check-in, seseorang menyisipkan pisau ke dalam tasnya?), ia cukup kesal dan sakit hati dengan sikap dan tuduhan sepihak sang petugas tersebut.

Seperti inikah prosedur standar pengamanan yang harus dilakukan manakala bawaan seseorang terdeteksi sesuatu yang mencurigakan di monitor mereka? Langsung dituduh membawa benda tertentu dan diperintah dengan ketus untuk mengeluarkan benda yang mereka maksud, sang ibu membatin dalam hati. Ia mengira meskipun soal keamanan dan itu sangatlah krusial, kalimat semisal : “Maaf, Bu. Tas Ibu terdeteksi membawa logam (atau apapun arti warna-warna yang tertera pada layar monitor alat detektor bandara itu). Apakah Ibu membawa benda serupa itu, pisau, gunting atau sejenisnya mungkin?” itulah yang akan ia dengar. Redaksinya lebih enak, bukan? Kecurigaan tersalurkan, praduga tak bersalah pun dapat.

Daripada seperti tadi? Membuat sang ibu nyaris menangis gara-gara saking inginnya meledak marah kepada sang petugas namun ia berusaha menahannya dan memilih bersikap rasional. Apalagi mengingat dirinya tengah ditempatkan di posisi tertuduh seperti itu, tentu tak ada siapapun yang akan membela selain kedua bocahnya yang sama tak mengerti mengapa mereka tertahan di pintu masuk ruang tunggu bandara tersebut. Padahal sebelumnya tak pernah ia mengalami hal serupa ini ketika hendak bepergian dengan pesawat udara. Bahkan karena kebetulan ia pernah terbang ke luar negeri justru yang ia khawatirkan adalah botol-botol air mineral yang ia bawa dalam tas tersebut. Karena seingatnya dalam penerbangan luar negeri seseorang tak boleh membawa liquid melebihi 100 ml. Sementara soal pisau, gunting atau benda tajam lainnya, ia tahu persis dalam aturan penerbangan mana pun tak boleh dibawa masuk ke kabin pesawat. Nah, sekarang ia malah diperlakukan seperti itu oleh sang petugas. Di hadapan kedua bocahnya pula!

***

Cerita tersebut di atas sungguh nyata terjadi. Sekadar sharing atas sebuah pengalaman saya. Menggelitik pikiran saya untuk melontarkan sebuah tanya, mengapa harus seperti itu?

Okey, saya paham, bandara adalah sebuah tempat umum yang selalu diramaikan oleh orang-orang dengan beraneka macam niat yang bukan semata sekadar naik pesawat udara (saya menyimpulkan ini berdasarkan beberapa kasus yang sering diberitakan di televisi) . Selain itu kita semua selalu khawatir dengan ‘teroris’. Kita semua juga khawatir dengan penyelundup barang terlarang. Pun kita semua tak menginginkan kecolongan atas sesuatu yang bisa dicegah sejak dini. Saya sangat paham betapa beratnya tugas yang diemban para petugas itu untuk memastikan keamanan selalu berada di level 100%. Namun sekali lagi, apakah caranya memang harus selalu seperti itu?

Jujur saja, ketika kejadian itu terjadi, andai saja sang petugas tetap bersikukuh dengan tuduhannya, saya sudah berniat hendak membongkar semua isi dalam  tas travel saya di hadapan petugas itu. Demi mendukung kesuksesannya menunaikan tugas mengamankan semua penumpang beserta barang bawaannya. Dan mungkin nantinya bisa dijadikan sebagai bahan masukan untuk mengupgrade peralatan deteksi tadi. Karena sumpah demi Tuhan yang jiwaku berada dalam genggamannya, saya tidak membawa apapun yang membahayakan tapi toh si detektor itu kok tega menjudge saya seperti itu? Berarti errornya di mana? Memang sih saya membawa logam dalam tas itu, jumlahnya selusin malah (dan itu sudah saya katakan pada mereka), tapi itu dalam bentuk mobil-mobilan mini koleksi anak saya. Itukah yang terdeteksi? Atau mungkin dua buah sendok dalam wadah bekal makan siang anak saya? Atau papan catur anak saya? Karena kan tidak mungkin botol-botol air mineral atau snack ringan yang saya bawa atau crayon dan buku gambar anak saya, apalagi sweater? Tapi dijudge membawa pisau??? Yang benar saja! Justru karena saya dituduh seperti itu malah hati saya yang serasa jleb! ditusuk pisau…

2.7.12

Komunikasi Tanpa Kata


Terkadang ada semacam komunikasi antar manusia yang terjadi tanpa perlu kata-kata. Sorot mata. Mimik wajah. Bahasa tubuh. Semua itu seringkali lebih mewakili dalam hal menyuarakan kata hati seseorang ketimbang kalimat-kalimat panjang tak bertepi. Satu sorot mata cinta. Satu mimik wajah sendu. Satu bahasa tubuh enggan. Seringnya lebih dari cukup untuk membahasakan keinginan kita. Bila kau bisa menangkapnya, tentu saja.

Karena terkadang seseorang yang selalu tersenyum bukan berarti di hatinya tak ada duka. Sama halnya seperti seseorang yang selalu gembira bukan berarti di jiwanya tak ada luka. Pun ketika seseorang tak pernah berkeluh bukan berarti hidupnya sempurna. Hanya orang-orang yang pandai membungkus rapi kesakitan kalbunya yang akan selalu mampu tertawa meski batinnya merintih. Dan hanya orang-orang yang benar-benar peka yang kan sanggup membacanya, sejelas ketika seseorang meneriakkan kata ‘aku cinta padamu’ melalui toa.

Kawan termasuk yang mana?