30.12.12

SuperSpeedy dan Alien Gagarin



SuperSpeedy dan Alien Gagarin
Oleh : Marisa Agustina

Kapten Zeen mengedarkan pandangannya ke sebuah kota yang terhampar di bawah kakinya. Retina matanya memindai pemandangan indah dari ketinggian tempatnya berpijak. Sebuah menara yang terbingkai kaca tebal di sekelilingnya, menara pengawas TelkomCity. Samudera bertemu daratan, pepohonan yang menghijau, camar-camar yang terbang menyambar ombak.
“Ini adalah pekan terakhirku bertugas di sini,” gumam Kapten Zeen pada diri sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam seakan ingin menyesap semua keindahan di hadapannya. “Kuharap aku bisa menyelesaikan tugasku dengan baik dan sempurna.”
Ketika tengah asyik mengamati seantero kota, tiba-tiba tatapan matanya menumbuk sebuah objek yang tak biasa. Kapten Zeen tercekat, ia mematung di tempatnya berdiri. Mata Kapten Zeen seperti melekat di teropong, membeku di sana, seolah tak percaya dengan apa yang kini tengah dilihatnya. Bergumpal-gumpal awan kelabu berarak di kejauhan. Awan-awan kumulus yang sangat tebal, gelap, kian dekat turun ke bumi. Sangat tak biasa. Terlebih lagi saat ini adalah bulan Mei, bukan musim penghujan.
Kapten Zeen mengalihkan pandangan dari balik teropongnya. Bahkan kini dengan mata telanjang pun awan-awan itu tampak sangat jelas terlihat. Ketinggiannya tinggal beberapa ratus meter saja dari permukaan bumi, tepat di atas tanah lapang di samping gedung Telkom Indonesia. Gedung yang merupakan pusat komando, tempatnya bertugas ini.
Secara refleks jemari Kapten Zeen menggenggam erat remote alarm yang selalu tersimpan di sakunya. Alarm yang diperuntukkan hanya dalam keadaan sangat genting saja. Alarm yang jika ditekan akan mengaktifkan sistem perlindungan otomatis bagi warga TelkomCity. Sinyal alarm akan langsung beresonansi dengan sinyal dari jaringan Indonesia Wifi, sehingga kapan pun ia diaktifkan, rumah-rumah warga, gedung sekolah bahkan rumah sakit akan menjadi seolah tak tampak. Selain itu alarm tersebut dengan sendirinya akan memberi peringatan keadaan darurat kepada warga kota dengan cara mengambil alih frekuensi siaran televisi yang tersambung melalui antena Telkom Vision.
Sejujurnya Kapten Zeen masih meragu, haruskah ia menekan alarm darurat itu hanya gara-gara keberadaan awan yang aneh? Nalurinya sebagai kepala keamanan TelkomCity benar-benar terusik. Apalagi ia menyadari betapa besar tanggung jawab yang dipikulnya untuk menjamin keamanan TelkomCity, terkhusus aset paling berharga yang dimiliki kota rahasia itu.
Ya, TelkomCity adalah sebuah kota rahasia. Kota yang keberadaannya bahkan disembunyikan dari peta. Satu-satunya portal masuk adalah dari pulau garam Madura. Kota ini sesungguhnya merupakan bagian dari wilayah negeri Indonesia. Namun karena begitu besar sumber daya yang ditemukan di sana maka keberadaannya pun dirahasiakan. Hanya orang-orang tertentu saja yang boleh mengetahuinya, apalagi gerbang masuknya. Dan Kapten Zeen adalah salah satu yang terpilih.
TelkomCity dipimpin oleh seorang walikota yang bernama Ambersy, seorang walikota perempuan yang sangat cerdas, tangguh, dan cantik jelita. Sang walikota inilah yang menentukan siapa yang layak memimpin keamanan TelkomCity dalam kurun waktu tertentu. Kapten Zeen masih ingat ketika pertama kali bertemu dengan walikota Ambersy, sekitar dua tahun silam.
“Zeen! Blek!” seru panglima Mayern, pimpinan Kapten Zeen. Kala itu mereka tengah berlatih di markas. “Ada yang ingin menemui kalian.”
Dan di sanalah ia, mengenakan setelan blazer coklat tua, berdiri di samping panglima Mayern. Rambutnya yang bergelombang tergerai, bergerak lembut seirama angin yang bertiup. Matanya bercahaya membiaskan ketegasan. Tiada senyum mengembang di wajahnya namun keanggunannya tetap terpancar. Kapten Zeen menatap sekilas perempuan yang berdiri di sebelah panglima itu. Entah kenapa tiba-tiba seperti ada debar yang tak biasa berdetak di jantungnya.
“Perkenalkan, ini walikota TelkomCity, Madam Ambersy,” ujar panglima Mayern menyebutkan nama sang walikota. “Secara khusus ia meminta kalian untuk menjadi pengawal keamanan di kotanya.”
 Tentu saja Kapten Zeen dan Blek tak menolak permintaan sang walikota. Itu adalah sebuah kehormatan bagi prajurit seperti mereka. Berbagai ujian harus dilalui sebelum walikota menentukan siapa yang berhak menjadi pemimpin. Uji kecerdasan, uji ketangkasan, uji strategi, adalah beberapa di antaranya. Dan akhirnya setelah keseluruhan ujian berhasil ditempuh tibalah saatnya walikota Ambersy mengumumkan keputusannya.
“Selamat, Zeen. Kaulah yang lebih layak memegang jabatan sebagai pimpinan keamanan TelkomCity,” kata walikota Ambers.
“Dan kau, Blek, menjadi asistennya. Kalian berdua bertugas langsung di bawah komandoku. Siap?!” lanjut walikota Ambersy. Blek tampak sedikit menyeringai mendengar keputusan tersebut.

***

Kapten Zeen masih menggenggam erat alarm di tangannya. Dari kejauhan, sekilas Kapten Zeen melayangkan pandang menatap aset paling penting TelkomCity yang menjadi target utama untuk dilindungi oleh dirinya dan pasukannya. Berbentuk seperti bukit yang sisi-sisinya terpahat melingkar menjadi semacam anak tangga. Namun bila bukit umumnya menjulang ke atas, bukit istimewa ini justru masuk ke dalam tanah seperti jurang. Di dasar jurang itulah tempat aset utama TelkomCity berada. Kristal-kristal bening yang menyimpan cadangan energi sangat besar! Saking besarnya hingga negeri tempat Telkom Indonesia mengabdi pun menjadi sebuah negeri yang sangat disegani oleh semua makhluk. Entah itu makhluk bumi maupun yang berasal dari luar bumi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa keberadaan TelkomCity senantiasa menjadi incaran para penjahat yang ingin mengambil alih aset penting tersebut. Bayangkan saja! Dengan pasokan energi yang begitu dahsyat, seseorang akan sanggup menguasai dan menaklukkan dunia! Maka untuk keperluan itulah pasukan keamanan yang dikepalai oleh Kapten Zeen sengaja dibentuk. Untuk melindungi aset yang penting tersebut.
GLAARR!!! Kilat aneh merah menyala membahana memenuhi angkasa. Kapten Zeen bahkan terhentak dan jatuh terduduk di puncak menara pengawas tempatnya berada. Awan-awan yang tadi bergerumbul kini terpecah-pecah. Dan dari dalamnya tampaklah lima pesawat asing tengah bersiap mendarat. Kali ini tanpa ragu lagi Kapten Zeen menekan alarm yang sedari tadi tergenggam erat di telapak tangannya.
Bunyi sirine memekakkan telinga memenuhi menara pengawas dan seluruh gedung pusat komando tempat Kapten Zeen bertugas. Dengan langkah-langkah panjang Kapten Zeen berlari menuruni tangga menuju ruangan kendali. Hiruk pikuk suasana di sana. Ditambah lagi dering telepon layanan publik yang berbunyi bersahutan dari jaringan Telkom Flexi yang tersambung ke ruangan itu. Rupanya banyak warga TelkomCity yang ingin menanyakan langsung apa yang sesungguhnya terjadi.
“Apa yang terjadi, Kapten Zeen?” tanya Andro, salah satu anak buahnya.
“Aku juga belum yakin. Apa tidak ada yang melihat  awan-awan aneh tadi di radar?” ujar Kapten Zeen sedikit gusar.
“Tidak, Kapten. Radar semuanya aman dari tadi,” jawab Flexx si penanggung jawab perangkat radar.
“Hmmm .. aneh. Dari tadi aku melihatnya di menara, sampai kilat tadi berbunyi barulah tampak pesawat-pesawat itu. Sinyalan! Kita tertipu! Penyusup berhasil menembus pertahanan udara kita! Bagaimana bisa?! Apa rumor tentang pengkhianat itu benar adanya?” Kapten Zeen merutuk dengan berang.
“Aktifkan perlindungan otomatis!” perintah Kapten Zeen dengan segera.
“Siap, Kapten!” dengan tangkas Andro mengerjakan perintah sang kapten.
“Ada apa ini?” tiba-tiba suara seorang wanita terdengar sangat marah. “Kapten, apa yang terjadi? Sebaiknya kau mulai memberikan penjelasan padaku sekarang juga!” Rupanya walikota Ambersy telah tiba di markas komando begitu mendengar alarm tanda bahaya.
“Oh, sinyalan!” gumam Kapten Zeen pelan. Ia sangat kesal pada dirinya sendiri karena merasa kecolongan dengan pesawat-pesawat asing tadi. “Maaf, Madam. Sepertinya kita punya penyusup.”
“Bagaimana bisa? Apa saja kerjamu dari tadi?” walikota Ambersy berseru galak pada Kapten Zeen.
“Maaf, Madam. Entah kenapa mereka bisa menyusup, saya benar-benar tidak mengerti karena….” Belum lagi Kapten Zeen menyelesaikan penjelasannya tiba-tiba di monitor utama ruang kendali tampak sesosok makhluk asing. Musuh mengambil alih sinyal radar!
“Huahaha! Salam Gagari-gagarian!” terdengar tawa terbahak-bahak penuh percaya diri dari makhluk asing berkepala kotak dengan dua buah sungut di atasnya. Rupanya para penyusup itu berasal dari planet Gagarin! Kapten Zeen mengetahuinya karena ia pernah membaca legenda mengenai mereka dari salah satu buku yang tersedia di rak QBaca milik perpustakaan virtual pusat komando. Alien dari planet Gagarin konon memiliki sapaan yang khas seperti tadi.
“Dasar kalian makhluk bumi! Gampang sekali dimanfaatkan! Huahahaha!” si alien masih tertawa-tawa di layar radar.
“Apa maksudmu gampang sekali dimanfaatkan? Integritas kami tak diragukan di sini!” tukas walikota Ambersy meradang. Sebenarnya bersama Kapten Zeen, walikota Ambersy pun mensinyalir adanya dugaan pengkhianatan di antara para pasukan keamanan kota. Intuisinya berkata ini adalah saat yang tepat untuk membongkar semuanya, mengingat keamanan TelkomCity bisa ditembus dengan begitu mudahnya kali ini.
“Hahahaha! Kau tanya saja pada abdi setiamu, Mr. BlekBlek di pojok sana. Huahahaha,” si alien tertawa sinis sambil menunjuk Blek di pojok ruangan. Yang ditunjuk mengerut ketakutan.
“Jadi benar rupanya selentingan itu! Kau rupanya pengkhianat itu, Blek!” Kapten Zeen berkata dengan geram sambil matanya melotot ke arah sang asisten. Andro buru-buru menahan tubuh Kapten Zeen yang nyaris saja menerjang Blek. Sejak walikota Ambersy menetapkan bahwa Kapten Zeen-lah yang berhak menjadi kepala keamananan TelkomCity, sebenarnya Blek tidak bisa menerima. Rupanya karena kedengkian tersebut Blek malah membocorkan rahasia dan menjual informasi kepada musuh.
Walikota Ambersy memberi tanda kepada Kapten Zeen agar tetap tenang dan kembali menghadapi si alien.
“Sekarang serahkan kunci menuju Kristal-kristal energi itu atau …..!” ancam si alien.
“Atau apa kau makhluk tak punya etika!” tantang Kapten Zeen.
“Atau akan kuhancurkan kota ini. Hiahahahaha!” tawa makhluk itu berderai seiring lenyapnya ia dari layar monitor. Radar utama kembali normal. Dan kali ini di layar menampilkan salah satu pesawat asing tadi mengeluarkan semacam laser yang kemudian ditembakkan dan menghantam salah satu sisi gedung Telkom Indonesia. Para pekerja yang berada di dalamnya berhamburan dengan panik.


“Hhhhh … dasar alien tak tahu malu!” teriak walikota Ambersy geram.
“Kapten Zeen, sekarang saatnya! Kuserahkan keselamatan kota ini padamu!” Sambil mengucapkan itu walikota Ambersy melepaskan anting-anting kanannya. Ia lalu mencopot sesuatu dari anting tersebut. Rupanya sebutir Kristal energy! Dan kini kristal itu berpendar menyinari ruangan. Kapten Zeen menerima Kristal itu dengan sepenuh hati. Ia tahu persis apa yang harus dilakukannya kini.
“Andro, Flexx, cepat kalian bersiap. Saatnya beraksi!” teriak Kapten Zeen. “Aku tak ingin masa tugasku harus diakhiri dengan kegagalan. Aku harus bisa melindungi bukit Kristal energi meski nyawaku taruhannya!”
“Siap, Kapten!” Dengan sigap Andro dan Flexx mengikuti langkah Kapten Zeen. Sementara itu Blek si pengkhianat diringkus oleh pasukan penjaga keamanan yang lain untuk dimintai pertanggungjawabannya.
Dalam perjalanan menuju tanah lapang tempat para alien itu mendaratkan pesawatnya, Kapten Zeen memasang sebutir Kristal energi yang diberikan oleh walikota Ambersy ke sabuknya. Dalam sekejap tubuh Kapten Zeen bercahaya.
“Kekuatan SuperSpeedy!!!!!” serunya dengan lantang. Gelombang-gelombang biru elektromagnetik serta-merta berloncatan dari gadget yang melingkari pergelangan tangan SuperSpeedy.


            “Andro! Flexx! Cepat jabat tanganku!” perintah Kapten Zeen. Keduanya langsung menyalami sang kapten. Dengan satu hentak jabat tangan, tubuh keduanya ikut berpendar meski tak secemerlang sang SuperSpeedy. Rupanya seperti itulah efek Kristal energi yang menjadi aset TelkomCity. Kristal yang berukuran kecil seperti yang digunakan Kapten Zeen saja sanggup menghasilkan energi super seperti itu. Pantaslah satu bukit Kristal energi menjadi incaran semua makhluk alam semesta.
            Tanpa menunda waktu lagi, ketiga pahlawan itu langsung terjun menuju medan pertempuran. Para alien dari planet Gagarin telah siap menghadang mereka. Sementara itu berkat infrastruktur yang canggih dan mutakhir, --kolaborasi antara Indonesia Wifi, kamera-kamera dari sistem Speedy Monitoring dan sinyal antenna Telkom Vision--, para warga TelkomCity bisa menyaksikan jalannya pertempuran secara langsung melalui televisi maupun streaming UseeTV. Sebagian mengintip dengan cemas dari balik gorden rumah masing-masing. Semua orang berdoa untuk keselamatan Kapten Zeen sang SuperSpeedy, juga Andro dan Flexx.
“Seraaanggg!!!” SuperSpeedy memberi komando untuk memulai pertempuran. Dahsyat nian kekuatan yang dipancarkan oleh Kristal energi itu. Segala yang dilakukan SuperSpeedy menjadi luar biasa cepat. Ketika ia berlari kecepatan Telkom Speedynya menjadi luar biasa lajunya. Pun ketika dia melontarkan senjata andalan dari Konten Speedy, tenaganya menjadi luar biasa bertambah. Demikian pula dengan kamera pengintai musuh Speedy Monitoring, jangkauan pengawasannya menjadi semakin meluas.
Andro dan Flexx tak ketinggalan ikut mengerahkan kekuatan ke arah pasukan musuh. Andro memanggil fitur boomerang tiga dimensi dari Konten Speedy, sementara Flexx memunculkan fitur tombak. Keduanya lalu menyerang para alien dengan penuh semangat.


Di tengah pertempuran, diam-diam dua pesawat alien menyasar bukit tempat Kristal energi berada. Untungnya kamera pengintai Speedy Monitoring milik SuperSpeedy telah meluas jangkauannya. Dengan mudah SuperSpeedy mengetahuinya sehingga kedua pesawat alien tersebut gagal mencuri Kristal-kristal energi.
Pertempuran terus berlangsung. Suasana semakin mencekam. Hingga akhirnya para alien dari planet Gagarin itu mulai kocar-kacir. Mereka benar-benar tak menyangka kekuatan dari SuperSpeedy dan kawan-kawannya. Menyadari keadaan itu si pemimpin alien yang tadi dengan penuh percaya diri muncul di layar radar ruang kendali, mulai gugup. Apalagi SuperSpeedy sudah bersiap mengeluarkan jurus pamungkasnya, TelkomFlash. Kekuatan TelkomFlash ini sangat ditakuti oleh musuh karena ketika cahayanya diarahkan pada sebuah objek maka objek tersebut akan tersedot dan terperangkap menjadi salah satu fitur Konten Speedy.
Cahaya putih keluar dari layar gadget di pergelangan tangan SuperSpeedy. Kekuatan TelkomFlash aktif. SuperSpeedy mengarahkan sinar pada gerombolan alien Gagarin.
“Ampun, ampun, SuperSpeedy! Kami menyerah! Jangan penjarakan kami!” ujar si kepala alien memohon.
“Mana bisa?!! Kalian sudah mengusik ketentraman TelkomCity maka kalian harus rasakan akibatnya!” kata SuperSpeedy tanpa ampun.
“Kekuatan TelkomFlash!!!” SuperSpeedy berteriak lantang. Dalam sekejap sinar putih menyapu para alien Gagarin beserta seluruh pesawatnya. Mereka tersedot masuk ke dalam gadget SuperSpeedy dan berubah menjadi aplikasi baru dalam Konten Speedy yang bernama AlienZone.
            Mengetahui bahwa jagoan mereka, sang SuperSpeedy, telah memenangi pertempuran, seluruh warga TelkomCity pun bersorak sorai. Mereka berhamburan keluar dari rumah-rumah dan gedung-gedung untuk menyambut pahlawan mereka. Demikian pula walikota Ambersy yang mengamati dari puncak menara komando mengacungkan jempol tangannya sambil tersenyum bahagia. Dan SuperSpeedy sangat lega hatinya karena berhasil menuntaskan seluruh misi dalam rentang masa tugasnya dengan sempurna untuk menjaga TelkomCity. Sungguh hari itu telah terselamatkan berkat SuperSpeedy.

***
Panggung megah telah berdiri di alun-alun utama TelkomCity. Rumbai-rumbai merah, putih, dan biru tampak ramai menghias pentas. Tak ketinggalan umbul-umbul aneka warna menyemarakkan seluruh lapangan. Sementara itu sayup-sayup alunan musik menelusup ruang dengar para warga yang memenuhi taman kota tersebut. Kaki-kaki tanpa sadar ikut bergoyang, dan mulut ikut berdendang menandakan betapa merdunya melodi yang memenuhi udara. Pandai benar sang operator musik yang bertugas dalam memilih lagu dari songlist Melon Indonesia untuk mengisi waktu jeda sebelum walikota Ambersy naik ke panggung. Sementara itu dari beberapa sudut kerumunan warga, sesekali terdengar gelak tawa. Apalagi penyebabnya kalau bukan rasa geli mereka menyaksikan ulang momen ketika SuperSpeedy menyedot para alien Gagarin pada pertempuran lalu. Sudah tiga hari ini topik tersebut menjadi favorit warga dalam siaran UseeTV.
Hari ini adalah hari yang sangat istimewa. Selain karena penghargaan akan diberikan kepada SuperSpeedy, Andro, dan Flexx atas jasanya menyelamatkan TelkomCity, hari ini juga adalah hari terakhir Kapten Zeen menjabat sebagai kepala keamanan kota. Suasana hati warga kota menjadi campur aduk, antara bangga memiliki SuperSpeedy sehebat Kapten Zeen namun juga sedih karena tak lama lagi ia harus meninggalkan mereka.
Tak lama berselang akhirnya tampillah ketiga pahlawan TelkomCity di atas panggung. Riuh rendah suara warga TelkomCity mengelu-elukan Kapten Zeen, sang SuperSpeedy. Bahkan ketika walikota Ambersy mengalungkan medali penghargaan padanya, secara spontan warga mulai meneriakkan kata-kata, “We want Zeen, we want Zeen!” Berulang-ulang hingga suara tersebut mendengung di udara bak nyanyian lebah raksasa.
Kapten Zeen tercekat menyaksikan apresiasi warga akan dirinya. Matanya serasa memanas. Bersamaan dengan itu walikota Ambersy dengan lembut menatap sang kapten seraya berkata, “Kau dengar sendiri, kan, kapten? Warga menginginkanmu tetap di sini,” ujarnya. “Demikian pula denganku,” lanjutnya, kali ini walikota Ambersy berbisik. Debar aneh yang dirasakan kapten Zeen ketika pertama kali bertemu walikota Ambersy pun tiba-tiba kembali berdetak di jantungnya. 
“Tinggallah, kapten. TelkomCity membutuhkanmu, the world in your hand,” pinta walikota Ambersy.

*TAMAT*

28.12.12

[Review Film] : IN TIME


Pertama kalinya saya nonton film keluaran tahun 2011 ini, durasinya sudah nyaris di pertengahan. Biasanya meski tidak dari awal, sebuah film mudah-mudah dan asyik-asyik saja untuk diikuti. Tapi tidak dengan ‘In Time’ ini. Saya bingung. Untungnya keesokan harinya film tersebut diputar lagi. Dan nontonlah saya dari awal. Lalu saya terpana. Wuaahhh! Secara orisinalitas ide, film ini patut diacungi jempol. Atau setidaknya demikianlah menurut saya yang referensi tontonannya tidak seberapa. Entahlah jika sebelum-sebelumnya ternyata sudah ada film yang idenya serupa dengan ‘In Time’ ini.

Pernah denger, kan, kalimat ‘Time is Money’? Nah, andai kisah film ini hanya boleh dipremiskan dalam tiga kata ya kalimat itulah yang menurut saya paling tepat merepresentasikannya. Waktu adalah uang. Dalam makna denotasi.

dapet gambar dari : http://godfilmandmen.blogspot.com/2012/03/reactions-to-watching-in-time.html

Jadi ceritanya di masa depan, perubahan fisik manusia akan terhenti pada usia 25 tahun. Mereka tak akan menua. Namun mulai usia tersebut semacam jam digital yang terpasang permanen di balik kulit setiap orang akan diaktifkan. Efeknya, jatah waktu (hidup) seseorang hanya tinggal seperti yang tertera di lengannya itu! Hingga ketika penunjukkan waktunya 00:00:00 ya sudah, time is up! Mati! Maka di sinilah tema besar dari film ‘In Time’ ini. Perjuangan para manusia yang berusia 25 tahun itu demi waktu. Tak ada yang ingin waktunya berhenti dan menunjukkan angka nol. Semua ingin hidup selamanya.

Maka waktu pun menjadi segalanya. Waktu menjadi prioritas utama yang dikejar oleh semua orang. Bahkan waktu pun menjadi alat transaksi. Time is money. Mereka naik bis bayarnya pakai waktu. Mereka membeli kopi bayarnya pakai waktu. Mereka bekerja dengan digaji waktu. Ada manusia-manusia jahat yang kerjanya mencuri waktu. Iya, mencuri waktu dalam arti sebenarnya. Menyedot waktu yang ada pada seseorang hingga nol agar miliknya sendiri bertambah. Bahkan aktivitas bank pun orientasinya adalah waktu, simpan pinjam waktu! Well, saya benar-benar melongo menikmati film ini. Idenya gila tapi dipikir-pikir ya masuk akal juga, edan tenanan hehehe.

Lalu dimana konfliknya? Adalah seorang pemuda bernama Will Salas yang hidup di wilayah kelas rendah, populasi miskin waktu. Dia dikisahkan bekerja sebagai seorang buruh yang harus pontang-panting demi kelangsungan denyut waktu di lengannya. Selain itu juga demi menyokong waktu sang ibu. Satu hal yang juga lucu di sini adalah, meski namanya ibu dan anak, namun dari segi fisik mereka setara, sama-sama menawan. Kan ceritanya perubahan fisiknya berhenti pada usia 25 tahun, ingat? Jadi yang namanya ayah, ibu, anak, kakek, nenek, fisiknya semua muda. Begitu. Nah karena ceritanya Will dan ibunya ini bernasib miskin waktu, maka mereka benar-benar harus saling support. Apalagi sang ibu yang waktunya hanya tinggal beberapa jam saja. Nah, tentang Will dan ibunya ini ada adegan yang sungguh sangat mengharukan lho! Apakah itu? Tonton sendiri aja ya…

Kembali ke soal konflik utama. Pada satu kesempatan, Will Salas menerima rezeki nomplok dari seseorang yang berasal dari wilayah kelas atas, populasi kaya waktu. Si waktuwan (karena hartanya berupa waktu hihi) ini ceritanya bosan hidup dalam keabadian yang tiada habisnya. Ironis ya, ketika dia memiliki keabadian ternyata yang dirindukannya justru ketidakabadian itu sendiri. Jadi singkat cerita dia menghibahkan seluruh waktunya yang berjumlah ratusan tahun kepada Will. Dia hanya menyisakan beberapa menit terakhir saja untuk menikmati pagi sebelum akhirnya mati.
Maka yang tadinya Will Salas ini adalah pemuda kere waktu, sekarang dia naik kelas menjadi seorang waktuwan yang kaya raya. Dan karena muak dengan perbedaan status sosial dan pembagian wilayah antara si kaya dan si miskin waktu, meneroboslah si Will ini ke Zona Greenwich. Niatnya sih untuk membuat perubahan, agar nantinya orang-orang di wilayah di mana dia berasal pun bisa menikmati waktu senyaman seperti di Zona Greenwich.

Nah, alih-alih hidup senang di wilayah kaya waktu itu, Will malah jadi buronan Timekeeper gara-gara hibah waktu yang pernah diterimanya itu. Selain itu Will bertemu dengan seorang gadis cantik jelita anak pengusaha kaya. Pengusaha yang memiliki kerajaan bisnis waktu, yang harta waktunya diincar oleh Will. Lalu Will Salas dan Sylvia Weis, nama gadis itu, bisa ditebak, saling jatuh cinta. Konflik pun semakin meruncing. Perbedaan status sosial, jadi buronan, diincar perampok waktu,  berjuang demi keadilan waktu kehidupan bagi seluruh manusia …

Well, mengingat ide uniknya (dan orisinil?) tadi soal waktu, film ini layaklah ditonton. Membuat sesuatu yang jelas-jelas nggak masuk akal menjadi terasa acceptable dan enjoyable hehe. 

Eh, dan belakangan saya baru tahu bahwa ternyata si pemeran Will Salas itu rupanya Justin Timberlake. Oalah… ini tho rupanya yang bernama Justin Timberlake! :D

Pssst, mudah-mudahan review ini tidak membingungkan :D

21.12.12

Awan Berbentuk Tulisan Allah

Harus kuakui aku sangat senang memandangimu
Tidak malu-malu
Tidak curi-curi
Justru terang-terangan dan kucari-cari
Karena dalam satu dan beberapa kesempatan
Seolah ada sesuatu yang ingin kau sampaikan
Dan akan kutunggu hingga saatnya tiba
Agar kau nyatakan pesan itu padaku...


21/12/2012 - makassar

21/12/2012 - makassar

21/12/2012 - makassar

15/10/2011 - makassar

Saya senang mendongak ke langit dan memandangi awan-awan, kamu?

20.12.12

Hari Ini Hari Kamis, Besok Hari Apa?

Hari ini hari Kamis, besok hari apa? Hari kiamat! Hehe .. Aneh juga ya jika ada pertanyaan lalu jawabannya seperti itu. Tapi bagi yang membuat rumor demikian mungkin ya memang seperti itu jawabannya, ya? Hmmmm …. Tetap saja bagi saya pribadi kedengarannya sungguh aneh sih J benar-benar aneh hehehe.

Maafkan atas postingan tak bermutu saya kali ini, daripada nggak posting. Yang jelas besok adalah hari Jumat, 21-12-2012. Buat kaum muslim jangan lupa kewajiban solat Jumatnya yaaa. Perkara kapan kiamat, saya meyakini itu adalah rahasia Tuhan, secara mutlak! Bahkan sependek pemahaman saya, sebagai manusia, tiada agama samawi mana pun yang mengetahui kapan waktunya. Benar-benar hanya Tuhan yang tahu.

So, hari ini hari Kamis, besok hari apa? ;p
Peaceeee ......  ^_^

18.12.12

Cerpen : "Kisik Sanubari Kartini"


Kisik Sanubari Kartini

Oleh : Niki Rissa

Saffa tercenung di depan layar laptop yang bergeming menampilkan screensaver berupa foto seorang bocah kecil yang sedang tersenyum manis memamerkan deretan gigi-depan-hitam-nya yang tongos, keropos terkikis aneka permen dan coklat. Sepasang kuncir berpita biru terusi menghiasi sisi kiri dan kanan kepalanya, menjulang bak air mancur di taman. Pipinya tembam bersemu kemerahan, tersenyum lebar hingga matanya nyaris menyipit.
“Ahhh,” terdengar suara helaan napas yang panjang dari perempuan yang berumur sekitar awal 30-an itu. Saffa. Seorang manajer bergaji bulanan dua digit di sebuah perusahaan telekomunikasi bonafid. Baru tiga bulan ia menduduki jabatan itu setelah hampir sekitar 10 tahun bekerja di perusahaan tersebut. Pencapaian karir tertinggi baginya hingga saat ini.
Saffa masih tetap tercenung di depan layar. Adalah Aini, nama bocah kecil menggemaskan itu, putri semata wayangnya, yang kali ini aneka pose dan ekspresinya sedang ditampilkan secara dinamis oleh aplikasi screensaver, berganti-ganti.
Kembali Saffa menghela napas. Berat. Sedetik kemudian dering pesan dari smartphone-nya berbunyi.
SEGERA dimulai, Bu!
Singkat, padat, sedikit mengintimidasi. Sebuah pesan singkat dari salah satu senior manajernya yang mengingatkan bahwa rapat akan segera dimulai. Tanpa menunggu lama Saffa bergegas menutup layar laptop ---membuat gambar gadis kecil itu lenyap--- lalu memasukkannya ke dalam tas jinjing. Ia pun berlalu meninggalkan ruangannya.
***
“Bik! Aini sudah tidur?” Saffa setengah berteriak memanggil Bik Karsih, asisten rumah tangga merangkap pengasuh Aini. Ketika itu waktu telah menunjukkan pukul 10 malam dan Saffa baru saja tiba di rumah. Sepi. Seolah dengan tegas menjawab pertanyaannya barusan. Bik Karsih datang dengan tergopoh-gopoh dari kamar Aini.
“Nona sudah tidur, Bu. Setengah jam yang lalu. Tadinya dia ngeyel mau tunggu Ibu pulang dulu. Tapi akhirnya ketiduran tak kuat menahan kantuk. Mungkin juga gara-gara pengaruh obat, Bu. Soalnya badannya masih hangat tadi.” Bik Karsih menerangkan pada Saffa dengan raut wajah yang terlihat prihatin. Entah mengasihani siapa, Saffa, Aini atau keduanya?
Dengan langkah gontai Saffa berjalan menuju kamar Aini. Ia menghampiri tubuh mungil yang telah larut dalam buaian mimpi itu. Tampak tangan mungilnya memeluk boneka kelinci besar magenta kesayangannya. Wajahnya begitu manis, polos dan damai. Tanpa terasa butiran hangat merayap perlahan turun dari kedua pelupuk mata Saffa.
“Maafkan mama, Aini.” Saffa mengecup kening Aini. Hangat. Benar kata Bik Karsih, suhu badannya belum normal sebagai manifestasi imunitas tubuhnya melawan flu yang menyerangnya tiga hari ini. Aini bergerak mengubah posisi tidurnya, jari-jari mungilnya menggapai-gapai seperti mencari pegangan. Saffa menyodorkan telapak tangannya yang langsung digenggam erat oleh bocah cilik berumur lima tahun itu, dalam tidurnya.
Saffa tak tega melepaskan genggaman tangan mungil Aini. Seolah untuk menebus rasa bersalahnya Saffa kemudian beringsut dan duduk berlutut di tepi tempat tidur Aini agar jalinan jemari ibu dan anak itu tak perlu terberai.
Saffa sudah nyaris terlelap dalam posisi itu ketika ia dikagetkan oleh dering smartphone-nya. Perlahan ia melepaskan jalinan jemari Aini lalu berjingkat menuju tas jinjingnya. Rupanya panggilan dari Rayhan, suaminya.
“Halo,” Rayhan berkata dari ujung sinyal telepon. “Mama belum tidur?”
“Belum, Pa.” Suara Saffa terdegar sangat sendu.
“Kenapa, Ma? Aini baik-baik saja, kan?”
“Iya, panasnya sudah mulai normal, Pa.”
“Lalu kenapa suara Mama sepertinya sedih begitu?”
Saffa menghela napas. “Mama bingung, Pa. Kalau melihat Aini seperti ini rasanya…” Saffa menghentikan kalimatnya, kembali menghela napas, “Entahlah, Pa. Tiap hari hampir seumur hidupnya Mama sudah harus meninggalkannya pagi-pagi sekali agar tehindar kemacetan. Sementara ketika Mama pulang dia pasti sudah terlelap. Sulit untuk pulang cepat seperti sebelumnya mengingat tanggung jawab Mama sekarang ini.”
“Papa kan sudah menyarankan dari kemarin-kemarin. Resign saja, Ma. Demi Aini. Tidakkah Mama ingat perjuangan kita selama empat tahun untuk mendapatkannya? Mengapa justru setelah dia ada kita malah menyia-nyiakan kehadirannya?” Rayhan berhenti sejenak. Saffa tak mengeluarkan sepatah kata bantahan apapun. Batinnya mulai bergolak.
“Papa masih sanggup menopang nafkah keluarga kita, Ma. Bisnis Papa semakin berkembang, tak bisa lagi seperti dulu ditangani dari rumah saja sehingga bisa sering sambil menemani Aini, menggantikan kehadiranmu. Ini saja Papa tak bisa tinggalkan pekerjaan di luar kota untuk bisa segera bersama kalian di sana. Bila Mama resign sekalipun tak perlu khawatir akan kehilangan kesibukan. Kita akan bersama mengelola bisnis ini dengan bonus waktu yang lebih banyak bagi Aini.” Saffa masih bergeming. Raihan kembali terdiam sejenak untuk kemudian menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Papa sangat mengerti perasaanmu. Tapi cobalah taklukan egomu, Ma. Demi Aini!”
Percakapan itu pun berakhir. Saffa tenggelam dalam bimbang. Ego. Ia terngiang kata-kata suaminya barusan. Membuatnya mempertanyakan kembali apa sesungguhnya motivasi dirinya bekerja keras seperti saat ini? Sekadar demi memuaskan egonya saja kah? Bahwa seorang lulusan magister tanpa karir, hanya menjadi ibu rumah tangga, apa kata kawan-kawannya nanti? Mana semangat emansipasi yang selama masa kuliah selalu digembar-gemborkannya? Bahwa wanita pun memiliki hak yang sama dengan kaum lelaki dalam segala hal, bahkan menurutnya bisa lebih! Bahwa seorang Saffa bertekad akan membuktikannya. Dan hal itu telah tercapai kini karena kenyataannya diantara seluruh kawan seangkatannya ketika kuliah, Saffa adalah sebuah contoh kesuksesan, jenjang karir yang melesat yang berhasil ia buktikan seperti ikrarnya untuk bisa melebihi kaum lelaki. Entah sejak kapan tepatnya paradigma ini merasuki pikiran Saffa. Karena bahkan ketika ia menikahi Rayhan, salah satu syarat yang diajukan Saffa adalah jangan melarangnya untuk berkarir.
Namun segalanya menjadi berbeda ketika Aini hadir dalam kehidupannya. Keberadaannya membuat Saffa gamang dengan prinsip emansipasinya selama ini. Aini kecil sangat menggoncang naluri fitrahnya sebagai seorang wanita, seorang ibu.
Saffa mengerjap-ngerjapkan mata. Penerangan cahaya dalam ruangan ini tiba-tiba lindap. Ia memicing untuk memastikan bahwa matanya tak salah melihat. Lampu kristal yang menempel di dinding berubah menjadi sebuah teplok yang memendarkan cahaya meliuk-liuk mengikuti siulan angin. Lalu seorang wanita berkebaya tampak sedang duduk di belakang meja. Wajahnya sedikit menunduk menghadap selembar kertas yang ada di atas meja, sementara tangan kanannya asyik menggoreskan sebuah pena bulu angsa.
“Kkkau … siapa?” Saffa tergagap mengajukan tanya.
Wanita berkebaya itu menghentikan aktifitasnya lalu menoleh ke arah Saffa. Demi melihat wajahnya Saffa terperanjat bukan kepalang! Wanita ayu berwajah bundar itu, dengan sanggul menghiasi kepalanya, kebaya dan jarik membalut tubuhnya, wajahnya persis seperti seraut wajah pada lukisan yang sering menghiasi dinding-dinding sekolah. Pahlawan emansipasi! Kartini? Saffa menggelengkan kepalanya kuat-kuat, tak memercayai penglihatannya.
“Tidakkah kau mengenaliku, Saffa?” senyum yang selalu tampak menghiasi wajah ayunya tiba-tiba lenyap berganti raut kesedihan. Ia kemudian beranjak menuju ke arah Saffa. “Kau dan begitu banyak orang benar-benar salah mengartikan perjuanganku selama ini. kalian menjadikanku panutan, emansipasi, namun kebablasan. Persis seperti dirimu. Padahal bukan seperti itu yang kumaksudkan,” wanita ayu itu tampak menarik napas dalam-dalam. “Padahal aku hanya ingin diperbolehkan mengecap pendidikan seperti halnya kaum lelaki ketika itu. itu saja inti perjuanganku,” ia berkata lirih.
“Mama … mama … bangun, Ma!” sebuah suara mengagetkanku, menarikku keluar dari pusaran mimpi. Mimpi! Aku tersadar masih dalam posisiku duduk berlutut di samping tempat tidur Aini. Kulirik jam di dinding, pukul 05.30. Lalu kulihat seraut wajah sumringah di hadapanku, tersenyum lebar hingga matanya tampak nyaris menghilang. Aini-ku!
“Mama tidak siap-siap ke kantor?” kedua bola matanya menatapku lekat ketika Aini melontarkan pertanyaan itu.
Saffa bangkit lalu mengibas-ngibaskan kakinya yang agak keram. “Entahlah, Sayang. Mungkin Mama akan cuti saja mulai hari ini supaya bisa sering bersama Aini. Bagaimana menurutmu?”
Binar tampak menyala terang di kedua mata jernih Aini. “Asyiikkk … kalau begitu nanti Mama yang antar aku ke sekolah ya!” Aini menghambur ke dalam pelukan Saffa. “Sekarang ayo kita solat subuh dulu!”
Saffa terlonjak kaget menyadari dirinya belum menunaikan kewajiban Subuh. Lalu ia beranjak mengikuti langkah-langkah mungil Aini menuju kamar mandi. Senandung bahagia terdengar dari bibir mungil Aini mengiringi sebuah keputusan besar yang telah diambil Saffa pagi itu.



***Cerpen ini adalah cerpen kontributor dalam antologi "Kami (Tak Butuh) Kartini Indonesia". Diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jingga - 2012.

8.12.12

OSN Pertamina : Ajang Unjuk Prestasi Anak Negeri

OSN Pertamina atau Olimpiade Sains Nasional Pertamina merupakan sebuah kompetisi bagi para mahasiswa di bidang sains yang diselenggarakan oleh PT Pertamina yang bekerja sama dengan Universitas Indonesia. Di tengah seliweran berita yang terkadang membuat telinga terasa pekak, demo anarkis, kerusuhan bahkan tawuran, ajang ini menjadi semacam oase yang menyejukkan. Mendengar bahwa para generasi penerus bangsa saling adu prestasi, baku hantam pemikiran untuk dipersembahkan sebagai kontribusi terbaiknya sungguh menjadi secercah harapan bagi masa depan bangsa ini. Rupanya masih ada asa di sana.


Menilik secara objektif kompetisi ini, bagi pihak yang memprakarsai tentunya terselip harapan besar di balik program Olimpiade Sains Nasional yang ditujukan bagi para mahasiswa dengan latar belakang sains ini, selain sekadar sebagai tanggung jawab moral dalam hal ini PT Pertamina (Persero) terhadap masyarakat sebagai bagian dari program CSR perusahaan. Harapan agar lahir saintis-saintis muda yang memahami betul disiplin ilmu yang mereka tekuni sehingga pada akhirnya akan menghasilkan penemuan-penemuan baru dalam bidang ini.

Sementara bagi pihak peserta, kiranya ajang ini akan menjadi wadah pembuktian intelektualitas mereka di antara sesama civitas akademika di seluruh Indonesia. Terlebih lagi memasuki tahun kelima pelaksanaan kompetisi ini pesertanya telah mencapai 19.000 orang. Selain gengsi tentu juga menjadi investasi pribadi bagi masa depan mereka. Bukan semata soal hadiah yang diperebutkan yang mencapai besaran 2,8 Milyar, ada hal lain lagi yang tentunya lebih menggiurkan terutama bagi para pemenang. PT Pertamina menyebut akan memberikan privilege kepada para pemenang ketika kelak mereka ingin berkarir di perusahaan tersebut. Di zaman sekarang penghargaan khusus seperti ini tentu menjadi sesuatu yang sangat berarti. Bahwa prestasi anak negeri sudah selayaknya diberi tempat istimewa terutama di dalam negeri sendiri. Sehingga  tak perlu terjadi putra-putri terbaik bangsa  ‘membelot’ dengan membawa otak brilian mereka ke luar negeri hanya gara-gara di luar sana lebih menghargai kerja cerdasnya,

Salah satu kategori yang dikompetisikan dalam Olimpiade Sains Nasional Pertamina yang telah diselenggarakan sejak 5 tahun lalu ini adalah di bidang science project. Sebuah terobosan yang cukup cerdik mengingat hasil pemikiran para pesertanya tentu sangat aplikatif untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh saja, karya dari sang pemenang, Grandprix Thomryes yang berjudul “Aplikasi Zeolit Alam Indonesia dan Na-Zeolit Alam Indonesia sebagai Katalis Rengkah Polietlena menjadi Fraksi Minyak Bumi”. Selain sangat sinkron dengan jargon ‘Mencetak Generasi Sobat Bumi Berprestasi’ yang diusung PT Pertamina sebagai tema OSN tahun 2012 yang diselenggarakan dalam rangka memperingati miladnya yang ke-55, dalam kehidupan sehari-hari aplikasi semacam ini memang sudah sangat dibutuhkan. Di antara melimpahnya limbah plastik dewasa ini, mengingat rasa-rasanya hampir seluruh aspek kehidupan kita dirajai oleh plastik, semoga saja proyek ini benar-benar dapat direalisasikan segera. Pun hasil karya para peserta yang tidak menjadi juara, tentunya bukan berarti buruk. Menang atau tidak ini hanya soal kompetisi sehingga harus dipilih juaranya. Namun sebuah mahakarya tentu baru benar-benar berguna jika telah ditindaklanjuti. Dan yang terpenting adalah untuk membuktikan bahwa para generasi muda Indonesia pun mampu menghasilkan kontribusi positif bagi umat manusia.

Semoga di masa mendatang Olimpiade Sains Nasional Pertamina ini akan semakin berkembang bahkan merambah hingga ke bidang ilmu yang lain dengan cakupan tingkatan peserta yang lebih luas lagi.