12.11.12

Fabel : Pik-Can si Kepik Pesolek


Fabel ini pernah dimuat di harian Fajar, Makassar, tanggal 4 November 2012. Yang saya posting di blog ini adalah versi aslinya. Please enjoy ^__^



Pik-Can si Kepik Pesolek
Oleh : Niki Rissa

Pik-Can, si kepik cantik yang senang bersolek mematut-matut diri di depan cermin. Ia baru saja menggosok ketujuh totol di punggungnya sampai mengilap. Sekarang ia sedang mengagumi kemolekannya sendiri.
“Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, dan tujuh,” katanya sembari menghitung seluruh totol hitam di punggung oranye terang-nya.
Setelah merasa puas Pik-Can mengembangkan sayap belakangnya dan terbang ke dekat jendela kamarnya yang terbuka. Ia melongok ke luar.
“Hei, Pik-Can! Sini bantu kami membersihkan got-got berlumpur ini!” teriak Pik-Bun si kepik tambun.
“Iya, sini kamu! Jangan malas, lho. Sebentar lagi hujan pertama di musim penghujan akan segera tiba. Kalau kita tidak membersihkan got-got ini bisa-bisa nanti kita kebanjiran,” tutur Pik-Jak si kepik bijaksana.
“Ah, nggak akan lah. Lagipula aku baru saja menggosok totol-totolku. Kalau aku ikut membersihkan got nanti mereka kotor lagi kena lumpur. Hiiyy, jijik!” ujar Pik-Can sambil bergidik.
“Huuu….,” beberapa kepik lain yang sedang sama-sama bekerja bakti ikut meneriaki Pik-Can.
Pik-Can tidak peduli. Ia terbang keluar jendela lalu mengitari teras rumahnya. Bukannya ikut membantu kawan-kawannya membersihkan got, kali ini ia malah sibuk mengamati aneka tanaman bunga yang dipeliharanya di taman. Ada bunga mawar putih kesukaannya, melati, anyelir dan anggrek bulan. Pik-Can bermain berayun-ayun di kelopak bunga yang sedang bermekaran. Ia sangat menyayangi semua bunga di dalam tamannya itu.
Dari kejauhan Pik-Bun, Pik-Jak, dan kepik-kepik lain geleng-geleng kepala melihat tingkah Pik-Can. Mereka tak percaya Pik-Can tidak mau ikut bekerja bakti membersihkan got di depan rumah masing-masing.
Hingga akhirnya hari berubah menjadi sore. Awan-awan gelap berarak di langit. Para kepik yang sedang bekerja bakti bergegas bubar untuk berlindung di rumah masing-masing.
Glar! Petir menyambar meninggalkan jejak kilat di langit. Rupanya hujan akan turun sore ini. Dan benar saja, tak lama kemudian tetes air besar-besar tercurah dari langit. Seluruh warga kepik tidak ada lagi yang berani keluar rumah. Mereka hanya mengintip dari balik jendela dan bersyukur tadi sudah membersihkan got di depan rumah masing-masing.
Keesokan paginya…
“Aaarrrgghhhh!!!” Terdengar teriakan histeris dari arah rumah Pik-Can.
Pik-Bun, Pik-Jak, dan beberapa kepik lain yang mendengar suara itu bergegas mendatangi rumah Pik-Can.
“Ada apa, Pik-Can?” tanya Pik-Bun bingung.
“Kenapa kamu berteriak?” sambung Pik-Jak.
“Itu! Masa kalian nggak lihat?” tunjuk Pik-Can ke arah bunga-bunga di tamannya. Wajahnya memancarkan kesedihan.
“Mawar putihku, anggrek bulanku, hu .. hu .. hu .. semua jadi rusak terendam lumpur,” tangis Pik-Can.
“Kamu sih, kemarin diajak bersih-bersih nggak mau. Jadinya gini deh, halamanmu terendam lumpur,” ujar Pik-Jak.
Pik-Can menatap kawan-kawannya. Ada sorot penyesalan di sana.

4.11.12

I Love You, Kiddo!


Salah satu momen emas dari keseluruhan rangkaian tugas pengasuhan anak dari pagi hingga malam, bagi saya pribadi, adalah ketika menatap anak yang tengah lelap tertidur. Wajah yang begitu polos tanpa dosa, dengan bibir mungilnya yang terkadang tiba-tiba mengecap-ngecap atau bahkan tersenyum, seringkali lebih dari cukup untuk mengundang air mata haru meleleh di pipi. Dalam sekejap lenyap sudah segala penat dan lelah selama mengikuti ritme kehidupan mereka yang terkadang super dinamis seharian. Bahkan perasaan marah dan kesal yang terkadang mengendap gara-gara ‘kenakalan’ mereka pun spontan menguap saat menatap wajah damainya. Begitu ajaibnya momen tersebut saya rasakan, semoga semua orang tua di dunia ini berkesempatan mengalaminya.

Banyak hal seringkali tiba-tiba berkelebat dalam pikiran saya ketika menatap anak-anak yang sedang terlelap. Hal-hal semacam, apakah saya akan mampu mengantar mereka menuju masa depan yang gemilang? Mendampingi mereka untuk menggapai segala cita terbaiknya? Mengarahkan mereka untuk selalu menuju jalan yang benar dan penuh manfaat bagi seluruh umat, dunia dan akhirat? Mampukah saya? Sementara saya pribadi bukanlah seorang manusia yang sempurna, bukan pula seorang yang menguasai ilmu-ilmu parenting dan sejenisnya. Bahkan justru saya merasa sebagai orang tua masih banyak melakukan kesalahan dan dosa. Masih sering tersalah dalam melakukan tugas-tugas pengasuhan, masih harus banyak belajar.

Terkadang hanya desah napas berat saja menjadi jawabannya. Terlepas dari segala kekurangan saya sebagai orang tua, bagaimana pun amanah itu nyata dan dilimpahkan pada saya. Jadi meskipun saya merasa masih banyak memiliki kekurangan menjadi orang tua,  saya tetap harus melakukannya. Meski dalam pelaksanaannya, mengasuh anak itu akhirnya tampak seperti learning by doing, namun bagi anak-anak saya akan tetap memberikan segala yang terbaik yang saya bisa. Dan pada akhirnya kepada Tuhan-lah saya berpasrah. Karena di atas segalanya hanya kekuatan doalah yang saya punya. Doa terbaik yang bisa saya panjatkan padaNya, sebuah harap akan limpahan kasih sayangNya dan juga perisai bagi anak-anak agar selalu terlindung dari segala sifat buruk manusia bahkan termasuk dari segala keburukan saya.


Anakku, semoga saja kalian merasa bahagia memilikiku sebagai ibu sebahagia diriku memiliki kalian sebagai belahan jiwaku…


(Artikel ini diikutsertakan dalam ajang #FFF Cincin Emas dan Persaudaraan Blogger Nusantara oleh Mbak Mubarika Darmayanti.)

3.11.12

Surat Cinta untuk Masjid Terapung Makassar

Keberadaan ikon khas bagi sebuah kota, tak dapat dimungkiri, sangatlah penting. Demikian pula halnya bagi kota yang terkenal dengan julukan Anging Mammiri, Makassar. Pantai Losari, kalau boleh hanya menyebut satu, nyaris dipastikan ikon inilah yang akan disebut ketika kita mendeskripsikan wisata kota di Makassar. Mewakili semua kriteria paling dicari oleh para pelancong, terutama yang berasal dari luar Sulawesi Selatan, alamnya, kulinernya, dan gaulnya. Ke Makassar tak akan lengkap jika belum menginjak pantai Losari. Pasti!

‘Mendompleng’ ketenaran pantai Losari, maksud saya letaknya yang sama-sama berada di kawasan teluk Makassar, kini terciptalah sebuah ikon baru bernama Masjid Amirul Mukminin atau yang lebih dikenal dengan masjid terapung. Tentunya tidak sungguh-sungguh terapung ala perahu, hanya letaknya di atas laut makanya dikatakan terapung. Andaikan masjid ini tidak terapung, saya yakin keberadaannya tidak akan ‘semenarik’ ini. Ketika pengunjung melewatinya paling hanya akan berkata, “Oh masjid baru”, alih-alih “Wow, masjid terapung!” Begitu.

Memukaunya setiap lekuk arsitektur masjid terapung ini bukan berarti menyurutkan secercah rasa prihatin saya mengenai beberapa hal yang terkait dengan masjid ini. Ada dua hal yang berhasil menggelitik nurani saya, dalam arti andai dua hal itu bisa dieliminir tentu ikon baru kota Makassar ini akan semakin sempurna pesonanya.

Tata Tertib Pengunjung

Satu hal yang membuat saya mengembus napas agak berat setiap mengunjungi masjid ini adalah banyaknya muda-mudi berpasang-pasangan yang entah mereka sudah menikah atau belum, berduaan menikmati sunset di sana. Entahlah, mungkin perasaan saya saja ataukah memang ada yang kurang patut dari kenyataan itu. Ini masjid, Dik. Rumah Tuhan.

Sebagai orang awam saya berharap esok lusa ada kebijakan khusus mengenai tata tertib pengunjung khusus terkait hal tersebut. Mengingat salah satu daya tarik masjid ini memang terletak di sana. Pada romantisme suasana sunsetnya yang … subhanallah. Bahkan saya berani mengusulkan, jika memungkinkan, bagi para pasangan yang sedang merencanakan pernikahan, ucapkanlah ijab kabulmu di masjid terapung ini, setelah waktu asar menjelang magrib. Duh, pasti manis sekali!

Kembali ke soal tata tertib pengunjung tadi, saya yakin pihak penanggung jawab masjid terapung ini, melalui para takmir, pasti sanggup melakukannya. Wong sandal saja bisa ditertibkan ketika melewati batas suci apalagi manusia yang memiliki nurani. Pasti bisa! Toh hal tersebut demi menjaga kehormatan masjid itu sendiri, bukan?

Masjid Terapung vs Sampah Terapung

Bukan proses perampungan areal masjid yang belum 100% yang mengganggu saya ketika mengunjungi masjid terapung beberapa waktu lalu. Tumpukan pasir, kerakal dan bebatuan yang terserak masih jauh lebih indah dibandingkan satu hal yang cukup mengusik ini. Sampah! Ya, sampah yang mengapung di sekitar perairan di bawah masjid. Miris melihatnya. Bukan salah masjid sehingga sampah-sampah itu melayang-layang di  atas air. Selain karena masjid ini masih baru, para pengunjung masjid pun tak ada yang makan-makan sehingga harus menyampah. Justru sampah-sampah tersebut seolah menjadi prasasti betapa tidak sanggupnya kita selama ini untuk menahan diri agar tidak membuang sampah sembarangan, ke laut.

Jika sudah seperti ini lalu bagaimana? Yang jelas sekadar saling menuduh tidak akan pernah membawa kepada solusi. Justru jauh lebih baik jika sesekali dilakukan semacam gerakan jaring sampah agar setidaknya pemandangan yang mengganggu itu bisa segera dienyahkan. Dengan menggandeng komunitas-komunitas lokal kemudian mempromosikannya melalui media sosial, seperti tren saat ini, sedikit banyak akan menghasilkan efek positif.

Sayang sekali bukan jika seluruh citra yang hendak dibangun atas sebuah ikon baru kota ini menjadi tercemar gara-gara sampah-sampah yang keberadaannya seolah menyaingi julukan sang masjid, sama-sama terapung?

foto : dok. pribadi

(Tulisan ini pernah saya kirim ke salah satu media lokal di Makassar sekitar 2 bulan lalu, tapi sepertinya tidak cukup menarik untuk dimuat atau semacamnya hehehe)