27.4.12

Tips Mewarnai : Dari Pemula untuk Pemula


Mewarnai adalah salah satu aktifitas yang sangat digemari oleh anak-anak usia TK. Selama ini saya mengira bahwa mewarnai yang baik itu adalah asal rapi dan tidak keluar garis. Seperti itu hingga ketika putra saya masuk TK. Di awal semester, sekolah mengadakan lomba mewarnai bagi ibu dan anak. Demi turut memeriahkan acara dan menyenangkan anak, saya pun berpartisipasi dalam lomba tersebut. Menurut saya ketika itu, hasil mewarnai saya sudah sangat bagus sekali. Eehhh tapi kok kalah! Usut punya usut, ternyata ibu-ibu lain karyanya memang jauuuhhh lebih bagus dari saya. Bagaimana tidak, mereka mewarnai dengan teknik! Saya baru tahu bahwa ternyata mewarnai pun ada tekniknya J

Nah, atas dasar itu saya bermaksud membuat tulisan ini, sekadar berbagi sedikit ilmu yang saya tahu mengenai teknik mewarnai bagi pemula. Karena setelah saya kalah di lomba mewarnai yang saya ceritakan tadi, saya browsing mengenai tips mewarnai bagi pemula namun sulit saya temukan artikel yang membahasnya secara gamblang dan sederhana. Pun ketika saya browsing contoh hasil mewarnai yang baik, saya juga kesulitan menemukannya. Makanya saya buat saja catatan ini, siapa tahu ada yang membutuhkannya.

Inti dari teknik mewarnai bagi pemula adalah terletak pada permainan gradasi warna. Jangan mengubah letak dan susunan pewarna misalnya crayon, yang berbaris rapi di dalam tempatnya, karena seperti itulah posisi gradasi warna yang benar (menurut Mr. Ikhsan, guru les mewarnai anak saya). Kecuali kamu sudah menghapal letak urutan gradasi warna tersebut tentunya.

susunan warna crayon dari sananya


Mari kita analisa dua gambar di atas. Bisa dipahami maksud saya mengenai gradasi, bukan? Kepala hewan yang diwarnai anak saya tidak hanya terdiri dari satu unsur warna tetapi dua, sesuai tingkatan gradasinya, warna terang dibingkai gradasi gelapnya. Demikian pula gambar rongga mulut dan sayap. Seperti itulah yang baik, masih menurut guru les mewarnai anak saya, lho. Kemudian untuk warna latar, pilihlah warna yang kesannya tidak meredupkan warna objek utamanya. Jangan sampai warna latar lebih ‘wah’ dari warna objek utama. Demikian, masih kata beliau. J

Gambar berikut ini akan mencontohkan gradasi warna yang semakin kompleks, yang ketika dipandang memang tampak semakin atraktif.



Jika dua gambar pertama menampilkan dua gradasi saja, dua gambar terakhir meningkat menjadi gradasi tiga warna. Badan ikan berwarna merah-oranye-kuning. Warna daun teratai : hijau tua-hijau muda-kuning (eh, tapi yang ini kok gradasinya lompat ya? Hmmm, art … sometimes it is unpredictable :D)

Nah, bagaimana? Mudah-mudahan bisa membantu kawan-kawan yang sedang mempunyai kasus sama dengan saya seperti di awal cerita. Bagi kawan-kawan yang sudah ahli mungkin berkenan mengoreksi atau menambahkan tips mewarnai bagi pemula ini.

25.4.12

Berbagi Pengalaman dan Tips Memilih Franchise (bag. 2) | Risablogedia


Setelah postingan terdahulu saya tentang tips memilih franchise yaitu menyesuaikan budget, menentukan jenis usaha serta menentukan lokasi dan pasar, sekarang markilan mari kita lanjut yaaa J

4. Memilih karyawan

Lepas 3 bulan pertama setelah outlet saya berjalan dengan sangat memuaskan, saya baru berkeinginan serius untuk mencari karyawan. Maklum, dalam hal mengelola usaha saya benar-benar baru belajar. Tadinya saya takut rugi, takut tak bisa membayar karyawan, takut modal tak bisa kembali dan lain-lain. Alhamdulillah, setelah 3 bulan pertama tersebut kepercayaan diri saya meningkat. Ternyata berbisnis itu begini toh, begitulah kira-kira pelajaran berharga yang berhasil saya petik. Terlebih lagi saya sudah hampir mencapai BEP. Modal saya hampir kembali! Benar-benar prestasi terbaik dalam hidup saya, sungguh J

Maka akhirnya bulan-bulan berikutnya saya pensiun menjadi bakul crepes. Ada karyawan yang menjalankan usaha saya. Tugas saya kini hanya mengawasi. Saya kira mengawasi itu adalah hal yang mudah, namun kenyataannya tidak seperti itu. Well, tergantung sifat dasar karyawan juga sih. Saya pernah mengalami beberapa kali gonta ganti karyawan dengan dinamika masalahnya. Paling banyak adalah karyawan yang tidak amanah. Yang suka diam-diam nilep uang jualan. Hikmah bagi saya yang sempat mengelola sendiri outlet adalah saya tahu persis mekanisme pengeluaran dan pemasukan tiap harinya. Jadi kalau ada selisih sedikit saja pasti ketahuan. Susah kalau mau ngeles he he he.

Buatlah aturan main yang tegas, enak bagi kita, enak juga bagi karyawan. Agar kita senang, karyawan juga tidak merasa terdholimi dan berpikir dia yang capek kerja kita yang terima uangnya.

Ah iya, apabila suatu waktu ada karyawan kita yang telah susah payah kita bina, kita ajari, tiba-tiba keluar ingin mandiri dan membuka outlet sendiri, jangan marah, berlapang hatilah, anggap saja amal jariyah. Okeyyy…

5. Ketika Usaha berjodoh dengan Rezeki

Ketika secara maksimal kita telah mengerahkan segala kemampuan dan usaha kita dalam rangka menjemput rezeki dan ternyata berjodoh alias penghasilan lancar, maka bersiap-siaplah menghadapi kemungkinan-kemungkinan berikut :
  • Uang sewa tempat semakin naik

Ini adalah salah satu resiko ketika usaha kita statusnya nebeng di tanah orang lain. Ketika bisnis berkembang biasanya induk semang akan menaikkan harga sewa. Tipikal … J Maka beruntunglah jika kamu memiliki tempat sendiri semisal ruko atau tempat strategis lainnya yang tidak perlu memikirkan harga sewa tempat.
  • Pesaing akan berdatangan

Ada ungkapan jika memang rezeki tidak akan lari kemana pun. Benar, tidak diragukan lagi! Tapi bukan berarti dalam sebuah rule of biz *deuuhh bahasanya!* lantas bisa berlaku seenaknya. Mentang-mentang bisnis sejenis franchise ini cukup murmer modalnya dan laris di kalangan anak sekolah maka akhirnya yang lain pun mendatangkan satu, dua, tiga bahkan empat outlet baru dalam kantin. Iklimnya menjadi super panas, tidak ideal lagi.
  • Melihat saat yang tepat : Ada mula ada akhir

Kombinasi antara naiknya harga sewa, pesaing bertambah sementara pasar segitu-segitu juga, maka pada akhirnya saya pun memilih goodbye saja. Cukuplah dua tahun menjadi sebuah pengalaman super berharga bagi saya. Terlebih lagi mumpung outlet saya masih ada nilai jualnya maka saya pun akhirnya melepasnya dengan harga nyaris mendekati harga beli semula. Meneruskannya kepada yang lebih muda, yang pernah saya bahas sedikit profilnya di sini J

(Hingga tulisan ini dibuat saya masih belum menemukan pengganti kegiatan bisnis saya. Justru sekarang saya malah senang menulis, sebuah aktifitas yang sangat menyita waktu namun tidak (belum) menghasilkan materi sebanyak waktu yang dihabiskan. Tapi secara batiniah, kepuasannya puolll :D. Fyi, saat ini saya tertarik menjajaki bisnis pendidikan, jadiii … jika di antara kawan-kawan ada yang punya pengalaman atau tips merintis jenis usaha tersebut sudilah kiranya berbagi kepada saya ^_^)

bye-bye gerobak ^_^
<fin>

24.4.12

Ki Hujan | Risablogedia


Aurum menapakkan selangkah kakinya di trotoar batu paving berlumut tipis. Pertama kalinya sejak sepuluh tahun yang lalu.
“Selamat datang kembali, wanita ayu berkerudung ungu!” suara syahdu Ki Hujan terdengar menyapa dari kejauhan. “Sekian lama aku tak melihatmu, masihkah kau mengingatku?”
Aurum mengedarkan pandangannya ke rerimbunan dedaunan yang saling tumpang tindih membentuk kanopi. Ia menghirup aroma udara pagi. Bias senyum terpampang di wajahnya. Kilas kenangan datang dan pergi memenuhi ruang pikirnya. Sepuluh tahun lalu hampir tiap pagi ia bergegas melintasi trotoar kampus ini. Melangkahkan kaki lebar-lebar membelah udara dingin yang berebutan menerpa pipi. Membuatnya bersemu merah, segar.
“Sssrrtttt …. Ssrrrttt … Sssrrttt …,” terdengar suara mesin pemotong beberapa jarak dari Aurum. Bau rumput segar yang tergilas bilah besi serentak menguar. Wangi. Aurum menajamkan penciumannya, menikmati aroma yang sangat disukainya sejak sepuluh tahun lalu. Yang seringkali dengan setia menemani derap langkahnya mengejar mata kuliah pertama.
“Duhai, wanita ayu berhati lembut. Tidakkah kau dengar nyanyianku menyambut?” Ki Hujan kembali menyapa tak putus asa.
Aurum masih melayangkan pandang ke arah kanopi alam. Mata hitamnya mencari-cari sesuatu.
“Ahh, kalian masih juga setia berdiri di tempat masing-masing. Memayungi semangat muda yang haus ilmu. Menaungi idealisme seantero civitas akademika di sini, menyejukkan. Tapi di manakah ia?” suara jernih Aurum terdengar mengalir.
Aurum berjalan semakin dalam mengikuti trotoar batu paving berlumut tipis di sepanjang pintu gerbang kampus. Lalu tiba-tiba ia memekik perlahan, “Aha! Kau di sana rupanya!”
Aurum sontak setengah berlari. Udara dingin pagi lembut membelai pipinya mengiringi langkah ringannya menuju sebuah titik. Lalu ia berhenti. Napasnya terengah namun di wajahnya terbit sebuah senyum lebar sembari berseru, “Ki Hujan!”
Danau Unhas, 22 April 2012


 Ki Hujan : (samanea saman) salah satu jenis pohon peneduh

23.4.12

Berbagi Pengalaman dan Tips Memilih Franchise (bag. 1) | Risablogedia


Selama dua tahun sejak 2009, saya pernah menjalankan sebuah usaha, menjadi franchisee. Berdasarkan pengalaman singkat tersebut saya ingin sedikit berbagi beberapa tips memilih franchise, siapa tahu di antara kawan-kawan ada yang sedang berniat menjadi franchisee. Mudah-mudahan ada manfaatnya. Disimak yaaa…

1. Menyesuaikan budget

Sesuaikan anggaran dengan target franchise incaranmu (jika tidak ingin melibatkan opsi berhutang ke dalam modal). Pada saat saya memutuskan ingin terjun dalam dunia usaha dengan menjadi franchisee, modal saya tinggal pas-pasan di tabungan. Kala itu boleh dikata saya benar-benar nekat nyemplung di dunia usaha dengan hanya berbekal keyakinan akan berhasil dan modal pas-pasan. Total dana yang saya keluarkan sekitar 8,5 juta dengan optimisme bahwa saya akan berhasil meraih BEP dalam waktu 3 bulan atau paling lambat 6 bulan. Wuiihh, mantapnya semangat saya J

2. Menentukan jenis usaha

Sebelum menentukan franchise mana yang akan kamu pilih, sebaiknya lakukanlah survey terlebih dahulu. Franchise mana yang kira-kira prospeknya bagus. Kemudian cari tahu sistem kerjasama kemitraannya seperti apa. Pemilik franchisenya amanah atau tidak. Testimoni mitra (jika sudah ada) seperti apa terhadap usaha tersebut. Jangan berlarut-larut, jangan lama-lama berpikir. Setelah cukup mendapat informasi, segeralah dieksekusi karena jikalau tidak maka oranglain yang akan beraksi.

Saya pribadi ketika itu memutuskan untuk memilih menjadi franchisee atas sebuah merek jajanan a la mal dengan harga terjangkau yaitu crepes. A’Crepes namanya. Yang saya lakukan sebelum memutuskan membeli sebuah outletnya adalah berkenalan dengan franchisor-nya, mengunjungi pusat produksinya dan mewawancarai beberapa mitranya. Selain tentu saja, mencoba sendiri produknya untuk menguji kualitasnya. Meskipun harganya terjangkau saya tidak ingin produk ini ‘mati rasa’. Setelah semuanya oke, barulah saya putuskan untuk menjadi salah satu mitra dari merek tersebut.

diversifikasi menu di tahun kedua perjalanan karir gerobakku :D

3. Menentukan Lokasi dan Pasar

Lokasi adalah salah satu aspek penting yang harus dipikirkan sedari mula. Apalagi franchise yang saya pilih ini bukan bisnis yang berbasis online tapi benar-benar full offline. Dari awal, pasar yang saya incar adalah para siswa di sekolah anak saya. Filosofinya sederhana, saya ingin sambil mengantar-jemput anak, saya bisa mengawasi outlet. Selain kebetulan lokasinya dekat pula dengan rumah. Maklumlah, pada dasarnya saya ini tipikal seorang ibu yang senang di rumah saja.

Target pasar saya, para siswa di sekolah ini, menurut saya cukup potensial. Mereka adalah murid-murid sekolah swasta yang hanya memiliki sebuah kantin kecil dengan variasi jajanan yang masih sangat sedikit ketika saya masuk ke sana. Bahkan saat pertama kali saya meminta izin untuk masuk ke kantin, ibu guru yang berwenang pun sepertinya kurang yakin dengan prospek outlet saya namun beliau berbaik hati mengijinkan saya untuk menggelar outlet di sana. Resiko tanggung sendiri, mungkin demikian kira-kira yang terbersit dalam hatinya. Dan alhamdulillah, feeling saya rupanya lumayan bagus … Pelanggan cilik saya benar-benar antusias menyambut kehadiran outlet saya. ‘Kebetulan’ sekitar 3 bulan pertama saya sendiri yang menjalankan usaha itu tanpa dibantu karyawan, makanya saya tahu persis kehebohan yang berhasil dipicu oleh outlet crepes saya di sekolah itu.

Jadi, tentukanlah lokasi dengan tepat sekaligus target pasar yang diincar sebelum memutuskan menjadi franchisee. Okeyyy … J

(bersambung)

21.4.12

"Terima kasih Pak Pos"


Tiba-tiba saja saya terkenang sebaris ungkapan ‘Terima kasih Pak Pos’ atau ‘Thank you Mr. Postman’ yang sering saya tuliskan pada bagian depan atau pun belakang sehelai amplop. Ketika itu sekitar awal tahun 90-an, saat saya sering berkomunikasi melalui surat dengan sahabat-sahabat saya. Kamu pernah mengalaminya? Apa kabar para Pak Pos sekarang? J

foto hasil gugling dengan kata kunci pak pos
(sumbernya banyak, ga ngerti mana pemilik aslinya)

17.4.12

Karakter Pribadi, Karakter Lingkungan, Lebih Kuat Mana Pengaruhnya?

Ilustrasi :
Pada suatu sore di TPA sebuah masjid, seorang ibu sedang menunggui putranya mengaji. Kebetulan pada saat  itu ada salah satu santri membawa bola dan memainkannya di dalam masjid. Sang ibu kesal melihat tingkah anak itu yang cukup mengganggu anak-anak lain, tapi beliau diam saja. Siapa sangka putra sang ibu ini rupanya juga tidak suka melihat tingkah kawannya ini. Jadi ketika selesai mengaji, sang putra menghampiri ibunya dan berkata, “Mami, kenapa si ‘dia’ (sebut saja begitu) main bola di masjid, kan tidak baik itu! Bodoh, *nj*ng!” tukasnya kesal. Bisa dibayangkan dong reaksi sang ibu, shock mendengar kata-kata anaknya! Segera beliau mengoreksi pilihan kata-kata sang anak sembari berulang kali beristighfar dan tak habis berpikir, di mana buah hatinya mendengar lalu meniru kata-kata seperti itu?
(ilustrasi barusan benar-benar terjadi, sekadar bahan renungan untuk kita semua)

Kawan pernah punya pengalaman seperti itu? Kecolongan. Sebagai orang tua kita sudah setengah mati berupaya membekali anak dengan pendidikan karakter pribadi yang baik. Memilihkan tempat tinggal yang baik, memilihkan sekolah yang baik, memilihkan aktifitas eskul yang baik, melarang nonton tivi, game dan semacamnya, menyeleksi dengan siapa mereka bergaul, tapi toh kecolongan juga, seperti yang terjadi pada kasus di atas.

Saya hanya ingin berbagi pemikiran, bahwa ternyata pengaruh karakter lingkungan terhadap diri kita efeknya lumayan besar. Karakter pribadi sebaik apa pun yang kita miliki, ketika berbenturan dengan karakter lingkungan, apalagi terus menerus mau tak mau akan terkontaminasi, terpengaruh, sadar atau tidak. Pernah dengar istilah politik WC? Ketika kita berada di luar sebuah WC yang bau, kita akan dengan lantang bersuara ‘WC itu bau, kotor, jangan masuk, dll, dsb’. Tapi begitu kita sekali saja melangkah masuk, lama-lama hidung kita akhirnya malah menyesuaikan, ternyata nyaman-nyaman saja berada di dalam. #Eh, kok jadi ngelantur! Tadi sedang membahas apa sih saya :D

Kita memberlakukan larangan menonton televisi di rumah, namun di sekolah teman-teman anak kita pembicaraannya selalu mengenai tayangan televisi, sinetron, boyband/girlband, dan macam-macamnya. Ya, sama saja akhirnya mereka pun jadi tahu hal-hal yang tadinya kita ingin agar mereka tak (perlu) terlalu tahu dulu. Saya pribadi tidak memberlakukan larangan menonton tivi di rumah. Namun saya berusaha meminimalisir efek buruk televisi dengan cara berlanggangan siaran tivi semacam jim jam dan natgeo, sehingga ketika televisi on, posisi chanel paling ya di situ-situ saja. Jika sesekali beralih ke televisi swasta nasional paling banter untuk siaran berita atau kartun saja atau seperti tempo hari kebetulan menemukan reality show bagus yang akhirnya saya buat reviewnya di sini.

So, alangkah kesalnya saya ketika kebetulan mantengin siaran tivi swasta nasional, saya mendapati sebuah tayangan yang kemungkinan bisa memengaruhi pendidikan karakter yang sudah saya usahakan bagi anak-anak. Adalah sebuah iklan produk susu bayi, N*tr*l*n. Saya menyaksikannya kemarin sore. Tadinya saya ingin berkomentar, ‘iihh bagus banget nih iklannya’, musiknya yang khas bergema mengiringi tampilan anak-anak kecil menggemaskan yang memerankan aneka profesi orang dewasa. Saya masih bersuka hati menyaksikan iklan itu hingga ketika adegannya memperlihatkan dua orang balita lucu saling kiss-kiss-an! Saya terhenyak, lho kok kayak salah satu adegan bella-vampire itu ya! Maksudnya apa? Relevansinya di mana? Akhirnya alih-alih senang saya malah kembali ilfil deh sama siaran-siaran tivi itu. Mudah-mudahan saja besok-besok adegan itu bakalan banyak yang protes sehingga tidak perlu ditampilkan lagi dalam iklan.

Maaf kalau pembahasan saya kali ini tak terkonsep dengan baik … ke sana kemari seperti kata mbak Ayu he he he. Tapi jika kawan mempunyai opini tersendiri untuk menjawab judul postingan saya... silakan dengan senang hati saya akan menyimaknya :)

14.4.12

MNCTV : Indonesia Beraksi (episode 13 April 2012) | Sebuah Review

Saya terharu menyaksikan sebuah tayangan di MNCTV. Judul programnya adalah ‘Indonesia Beraksi’. Dikawal oleh artis cilik Amel, tayangan berdurasi kurang lebih satu jam ini menghadirkan program yang bagus, mendidik, bermanfaat, dan ramah anak-anak. Oh iya dan satu lagi, tidak lebay … dan yang paling penting tidak menghadirkan ilustrasi-ilustrasi musik komedi konyol!

Mengusung tema saling tolong menolong, program ini berhasil menyentuh nurani saya sebagai pemirsa. Pada episode yang saya tonton, ceritanya adalah tentang sebuah sekolah yang sangat membutuhkan bantuan renovasi yaitu MI Manbaul Falah di daerah Bogor. Salah satu siswanya mengirimkan surat pencarian bantuan yang kemudian disambut oleh sebuah sekolah swasta yaitu SD Islam Al-Fajar Bekasi. Ananda Amel sebagai pengawal program ini, yang mewakili MI Manbaul Falah lalu melakukan presentase di depan para guru SD Islam Al-Fajar, menyajikan gambaran kondisi dari sekolah tersebut yang memang tampak sangat memprihatinkan. Lantainya tak berubin, atapnya tak berplafon, jendelanya bolong dan tentunya bocor jika hujan.

Kemudian yang membuat program ini menjadi sangat menarik adalah, ketika perwakilan dari MI dibawa mengunjungi SD Al-Fajar, lalu mereka bertemu dengan beberapa perwakilan siswa di sana. Kealamian anak-anak SD yang saling bertemu, bukan karena acting, saling bertukar cerita, itu yang sangat menarik bagi saya. Dan program ini berhasil dengan baik mengeksposnya. Saya suka itu! J

sumber gambar disini

Singkat cerita anak-anak SD Al-Fajar mengadakan semacam pertunjukan untuk menggalang dana dari pihak sekolah agar nanti dapat disumbangkan kepada MI Manbaul Falah. (Tadinya saya mengira akan dilakukan gerakan pengumpulan koin atau semacamnya he he he) Yaah, meskipun kita tahulah dari awal pihak yayasan SD Al-Fajar memang sudah berniat menyumbang meskipun anak-anak itu tak perlu repot mengadakan pertunjukan. Tapi ya justru disitulah letak unsur hiburannya, kan? Maka jadilah anak-anak dari SD Al-Fajar tampil membuat sebuah pentas seni di halaman sekolah mereka. Di mana di penghujung pentas itu mereka menyerahkan sumbangan kepada MI Manbaul Falah sebesar 100 juta rupiah. Salut untuk SDI Al-Fajar, Bekasi. Pastinya tidak semua sekolah swasta bersedia melakukan hal seperti itu ya …

Program inipun tak berhenti hingga di situ. Sebagai penutup program, para siswa dari SD Al-Fajar melakukan kunjungan balik ke MI Manbaul Falah untuk menyaksikan langsung perubahan kondisi sekolah yang sudah direnovasi. Dan woow, amazing! Ternyata dengan uang ‘hanya’ 100 juta rupiah sekolah itu benar-benar menjadi tampak baru dan bersinar. Sekolah anak saya saja kalah kinclong, man! Hmmm… membuat saya jadi berpikir, jika ‘hanya’ butuh dana sedikit untuk merenovasi sebuah sekolah menjadi bagus seperti itu, lantas mengapa masih juga ada sekolah-sekolah dengan kondisi memprihatinkan ya di negeri ini? Bukankah negeri ini (seharusnya) kaya raya? Kalau sekadar menyediakan seratus juta apa sih artinya… Iya, kan?

13.4.12

Putera(i) Daerah Mana?

Saya tidak pernah merasa bangga gara-gara menyandang predikat suku tertentu. Pun tidak pernah merasa fanatik atau beruntung karena terlahir dari lingkup suku tertentu. (Seperti pada kalimat pembuka sebuah postingan yang mengantarkan saya menjadi pemenangnya, bisa dilihat disini, saya menyatakan tak pernah terbayang bila tak terlahir di negeri ini, n e g e r i i n i, bukan suku ini lho ya! hehehe) Bahkan saya cenderung kesal ketika misalnya dalam sebuah formulir biodata ada bagian –suku–  yang harus diisi. Untuk apa sih? Begitu pikir saya.
sumber gambar dari sini

Sebelum saya lanjutkan saya ingin menegaskan bahwa tulisan ini tidak dibuat dalam rangka menyinggung ranah SARA. Justru ini secuil kontribusi saya dalam mendobrak pengkotak-kotakan identitas manusia yang tak perlu.

Saya pernah berada di sebuah situasi, sebuah forum semacam seminar, di mana sang pembicara adalah seorang penulis terkenal yang berasal dari sebuah daerah di Sumatra. Pada sesi tanya jawab seorang peserta menyatakan pemikirannya, yang salah satunya menyinggung soal suku. Beliau menyatakan harapannya agar suatu saat kelak akan ada juga seorang penulis hebat yang terlahir dari kota tempat dilangsungkannya acara (di suatu kota di Sulawesi). Hadirin riuh bertepuk tangan, termasuk saya. Saat itu saya bersemangat karena merasa, siapa tahu saya yang kelak meneruskan jejak langkah menjadi seorang penulis hebat yang dimaksud (aamiin he he he). Tapi lalu saya teringat esensi ‘kesukuan’ yang kental dalam pernyataan tersebut. Andaikan misalnya seumpama, katakanlah saya yang benar-benar menjadi seorang penulis hebat yang dimaksudkannya, berarti pernyataan seseorang tadi tetap akan terlontar, karena saya kan bukan asli berasal dari daerah tempat acara tersebut berlangsung. Nah, lho?

Juga terkadang dalam hal ketika seorang pejabat publik terpilih untuk memimpin sebuah lembaga berskala nasional, seringkali kita tanpa sadar mengelu-elukannya hanya gara-gara merasa sekampung. Betul, tidak? Tapi kenapa saya kok jarang merasa demikian ya? Bagi saya, yang namanya orang baik bisa berasal dari latar belakang mana pun sama halnya orang jahat juga bisa berasal dari latar belakang mana pun.

Apakah mungkin ini ada hubungannya dengan masa kecil saya? Maksud saya, sejak kecil saya ikut orangtua berpindah-pindah domisili. Menghabiskan masa balita di Magelang kemudian masa kanak-kanak di Bandung. Disusul oleh masa remaja di Ambon dan menginjak dewasa di Makassar. Sepertinya pindah-pindah domisili seperti itu membuat perasaan kesukuan saya benar-benar luntur. Tapi bila merujuk kembali pada sumber dari segala sumber hukum, memang seperti itu kan ya seharusnya? Tuhan menciptakan manusia berbangsa-bangsa, bersuku-suku, untuk saling mengenal … bukan saling berbangga. Karena satu-satunya penilaian manusia di hadapanNya hanyalah ketakwaan. Begitu, bukan?

Just another mind of mine J

10.4.12

'Bukan' Ayu Ting-ting

Ke mana .. ke mana .. ke mana ..
Kuharus mencari ke mana
Kekasih tercinta tak tahu rimbanya
Lama tak datang ke rumah
Di mana .. di mana .. di mana ..
Tinggalnya sekarang di mana
Ke sana kemari mencari alamat
*)

*) 
Saya bukan sedang menyanyikan atau mengajak kawan berdendang dengan lagu ini melainkan saya sedang belajar menulis sesuai aturan yang baik. Bahwa kata depan di dan ke penulisannya dipisah. Benar begitu, bukan?

Seperti dalam lirik lagu di atas, kata di mana, ke mana, dan ke sana seharusnya penulisannya seperti itu, ya kan? Kecuali kata kemari, sudah lazim dituliskan serangkai.

Jadi, ketika kita hendak menulis kata-kata tadi dalam bentuk berulang berarti jadinya seperti ini ya : ke mana-mana ; di mana-mana. Seperti itukah?

Please correct me if I’m wrong J


Note : Setelah tanya ke sana kemari ;p penulisan yang benar dari kata yang berulang adalah 'dimana-mana' dan kemana-mana' . Semoga bermanfaat ^^
Note (lagi) : Tapi ada satu lagi narsum dengan rujukan lebih lengkap yang menyatakan bahwa yang valid adalah 'di mana-mana' dan 'ke mana-mana'. Artinya apa? Artinya, yuk ah lebih giat lagi belajar ^___^

8.4.12

Bira Beach : Memburu Keindahan 200 km dari Makassar

Tergoda oleh unggahan foto beberapa orang sahabat melalui salah satu jejaring sosial ketika menikmati pantai Bira, Bulukumba – Sulsel, membuat saya dan keluarga pun akhirnya memutuskan mengisi liburan lebaran tahun lalu untuk menyaksikan dan membuktikan sendiri keindahan yang mereka publikasikan itu. Membayangkan jarak kurang lebih 200 km yang harus ditempuh dari kota Makassar, dengan kondisi jalanan yang menurut laporan mereka ketika itu, ada yang mulus dan ada pula yang masih dalam perbaikan, maka saya dan suami memutuskan untuk tidak mengajak siapa-siapa lagi dalam melakukan perjalanan kali ini, hanya kami berempat : saya, suami dan anak-anak. Bukan kenapa-kenapa namun dengan menggunakan mobil Terios maka empat orang penumpang tampaknya sudah sangat pas. Suami di belakang kemudi dan saya di sebelahnya bertindak sebagai semacam navigatornya. Sementara si sulung di kursi tengah dan si kecil di belakang, masing-masing berhak menguasai sederet kursi tersebut dengan tujuan agar selama perjalanan mereka bisa tidur sambil leluasa berbaring agar fisik tidak terlalu lelah. Saya tidak ingin liburan di pantai Bira nantinya berubah judul menjadi pegal-pegal hanya gara-gara kecapaian selama perjalanan.

Perjalanan menuju pantai Bira, Bulukumba, yang terletak sekitar 200 km dari kota Makassar itu, berarti kami akan melalui beberapa kota kabupaten sebelumnya. Di antaranya adalah Gowa, Takalar, Jeneponto dan Bantaeng. Seumur saya menetap di Makassar rute jalur atas terjauh yang pernah saya kunjungi adalah kabupaten Takalar. Maka dari itu saya cukup bersemangat dalam perjalanan kali ini, mengunjungi daerah-daerah yang benar-benar baru dan asing.

Melewati Takalar, kami disuguhi dengan pemandangan jajaran kebun semangka di hampir sepanjang sisi jalan utama. Kemudian memasuki kabupaten Jeneponto yang terkenal dengan daerah kering, dan ternyata memang benar-benar kering sampai-sampai saya sempat terpikirkan darimana penduduk lokal di sini memperoleh sumber air? Alih-alih lahan yang hijau justru tambak garam yang banyak menghiasi tepi jalur utama kendaraan. Sangat menarik.

Lepas dari Jeneponto, kami tiba di kabupaten Bantaeng. Ada satu hal mencolok yang segera tertangkap mata begitu tiba di kabupaten yang sejuk dan asri ini. Adalah rambu-rambu lalu lintas religius semacam ‘riba itu haram’ menyemarakkan tepian jalan protokol sepanjang kota kecil tersebut. Sangat khas dan menentramkan. Dan satu hal yang cukup mengagumkan yang saya saksikan ketika itu adalah Bantaeng merupakan satu-satunya kabupaten yang saya lewati yang paling sibuk membangun. Di beberapa titik sedang dilakukan perbaikan jalan dan jembatan, padahal secara umum jalanan di sana tidak ada masalah. Dan rupanya mereka sangat terstruktur melakukan pekerjaan itu, terbukti dengan pada setiap titik pembangunan ada dua orang petugas khusus yang disiapkan untuk mengatur lalu lintas melalui jembatan yang sedang direnovasi. Agar kendaraan bergantian lewat dan tidak perlu terjadi kemacetan. Jujur saja, saya benar-benar terpesona dan salut dengan kota yang satu ini.

Setelah kota Bantaeng, kini sampailah kami di Bulukumba, kabupaten tempat pantai Bira berada. Masih sekitar 40 km untuk menuju ke hamparan pasir putih yang sejak tadi sudah menari-nari di benak kami. Masih cukup jauh, namun dibandingkan dengan ratusan kilometer yang telah kami lalui rasanya itu bukan menjadi masalah. Mengabaikan jalan raya yang agak ‘keriting’, persis seperti yang digambarkan oleh sahabat-sahabat saya yang telah lebih dahulu mengunjungi pantai Bira, kami lebih memilih untuk fokus dengan bayangan keindahan panorama yang akan kami dapati di pantai Bira alih-alih memikirkan hal-hal selain itu.

Setelah berkendara selama kurang lebih lima jam, akhirnya sampailah kami di sana, pantai Bira yang terkenal itu. Salah satu primadona pariwisata Sulawesi Selatan yang namanya cukup tenar hingga ke mancanegara. Begitu tiba di sana kami pun langsung menuju ke Amatoa Resort yang memang telah kami pesan sebelumnya. Sebuah resort yang benar-benar tertata apik dengan letak yang sangat strategis, di atas tebing karang. Sang pemilik resort rupanya benar-benar totalitas menggarap tempat tetirah ini. Dengan target utama pengunjung wisatawan asing! Pantas saja standar yang ia berlakukan pun adalah standar internasional, kontras dengan penginapan-penginapan lain yang bertebaran di sekitarnya. Sebuah catatan yang sungguh menohok hati bagi saya pribadi.

tanjung bira tampak dari Amatoa Resort

idem

Setelah melepas penat sejenak di kamar, tanpa membuang waktu kami langsung bergegas berjalan kaki menuju pantai Bira. Saat itu hari telah sore, waktu yang sempurna untuk mengejar suasana mentari lindap di ufuk barat. Anak-anak semakin tak mampu lagi menyembunyikan semangat liburan mereka. Mereka menyusuri sepanjang jalanan berkarang sembari tak henti-hentinya berceloteh.
bintang pantai Bira

pasir putih itu... adalah tugas kita untuk menjaga selalu kebersihannya
Dan akhirnya, untuk pertama kalinya, saya menapakkan kaki di pasir putih sehalus tepung, The Bira Beach! Subhanallah, rupanya pantai ini memang sungguh indah. Pantas saja selalu menjadi buah bibir hingga mancanegara. Meski sinar mentari telah meredup condong ke barat namun tetap saja masih sanggup memantulkan putihnya hamparan pasir pantai nan luas ini, menyilaukan. Tanpa kacamata-matahari maka bersiaplah untuk selalu memicingkan mata.

sunset

ramai wisatawan mengisi senja yang cerah di Bira

ini bukan ritual pemujaan atau sejenisnya,
hanya para pemuda yang sedang berdendang bersama menikmati senja :)

well, sepertinya butuh banyak penataan yang lebih apik, ya?

salah satu sudut pandang lain dari Bira

Jika kesan pertama adalah tentang suasana senja di pantai Bira, maka menginjak hari berikutnya tema liburan adalah tentang pasir, pasir dan pasir. Sejak pagi-pagi sekali, kami berempat sudah meninggalkan kamar untuk segera menjejakkan kaki di atas hamparan pasir putih. Bermain ombak, membangun istana pasir, menumpulkan pecahan karang hingga foto-foto menjadi kesibukan kami hingga menjelang siang. Menghabiskan waktu di tempat seindah itu benar-benar membuat jarum jam terasa lebih cepat berputar. Tiba-tiba saja tengah hari menjelang dan kami sekeluarga harus segera berkemas untuk kembali pulang ke Makassar.

aneka souvenir khas yang bayak dicari pengunjung

last moment...
Aneka souvenir dan beberapa lembar pakaian basah teronggok di bagasi belakang mobil berbagi ruang bersama kami menapaki 200 kilometer kembali menuju ke Makassar. Tentunya dengan tambahan sejuta kenangan indah tentang Bira yang memenuhi folder memori kami berempat. Menanti untuk kembali ditapaki suatu hari nanti.


Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Konten Blog Bertema : "Strategi Pengembangan dan Promosi Wisata Sulawesi Selatan"

5.4.12

Ada Pelangi di Cakrawala Makassar

Selama  dua hari berturut-turut yaitu Ahad dan Senin lalu, 1 – 2 April 2012, setiap sore selepas Ashar hingga menjelang Maghrib, ada bias lengkung bumi berwarna-warni tampak di cakrawala Makassar. Pelangi. Yang konon katanya adalah jembatan para bidadari. Adalah hamparan permadani menuju kerajaan langit, dengan guci penuh terisi koin emas di ujungnya. Deskripsi yang fiktif, khayali, namun tetap membius imajinasi.

lokasi pengambilan foto : pantai Losari (1 April 2012) 
Lokasi pengambilan foto : depan Fort Rotterdam, genteng-genteng berwarna merah itu adalah atap dari benteng kuno tersebut (1 April 2012)
Lokasi pengambilan foto : depan Menara Bosowa, yang tadinya tujuan saya ke tempat ini adalah dalam rangka melengkapi foto untuk tulisan tentang skycrapper 
(1 April 2012)

Lokasi pengambilan foto : halaman belakang rumah (2 April 2012) 
Lokasi pengambilan foto : tepi danau kecil dekat rumah (2 April 2012)
Lokasi pengambilan foto : tepi danau kecil dekat rumah (2 April 2012)
Lokasi pengambilan foto : tepi danau kecil dekat rumah (2 April 2012)
Lokasi pengambilan foto : tepi danau kecil dekat rumah (2 April 2012)

Tapi tetap saja belum ada yang bisa mengalahkan kekaguman saya akan tampilan warna-warni alam dalam foto yang satu ini,

Foto pernah saya pajang di postingan ini

4.4.12

3 hal paling menarik dari seorang A. Fuadi


Saya berkesempatan bertemu dengannya di acara Kompasiana BlogShop & Roadshow N5M Makassar yang bertempat di Gedung Bank Indonesia, pada hari Sabtu, 31 Maret 2012 lalu. Ia menjadi salah satu pembicara yang dihadirkan di acara tersebut.  A. Fuadi, himself. Tak terkira semangat saya untuk mendengar penuturannya langsung mengenai proses penulisan novel Negeri 5 Menara. Saya bahkan menyengaja membawa buku N5M saya untuk ditandatangani olehnya di sana. Norak? Mungkin iya. Biarlah, he he he.

Baiklah, kali ini saya bukan hendak me-review novel beliau, tapi justru saya akan membeberkan kesan mendalam saya mengenai beliau dari pertemuan singkat sekitar 1,5 jam itu. So, tulisan ini akan saya juduli dengan : 3 hal paling menarik dari seorang A. Fuadi, versi saya tentunya ^_^

  • Smart

Dengan kacamata yang bertengger menghiasi wajahnya, siapapun tidak akan berani menampik kesan smart yang otomatis tertangkap begitu melihat penampilannya. Apalagi ditambah dengan penguasaannya akan bahasa Arab dan Inggris, persis seperti cerita dalam novelnya. Kemudian he is a journalist. Dia juga telah berkelana berkeliling dunia, mengenyam banyak ilmu formal maupun nonformal dari segenap penjurunya. Smart, tak terbantahkan …

menghipnotis hadirin dengan pemaparannya
  • Beautiful Mind

Membedah proses kreatifnya sebagai seorang penulis novel Negeri 5 Menara, saya benar-benar bisa menyaksikan keindahan pemikiran dari seorang A.Fuadi. Banyak makna filosofis yang ia bagikan kepada kami sekitar 200-an orang peserta yang memenuhi aula tempat acara tersebut berlangsung. Bagi saya pribadi sebagai seorang penulis very very amateur, lontaran prinsip-prinsipnya begitu dalam menghujam sanubari.

Diawali dengan kalimat bahwa “kata lebih hebat dari peluru”. Bayangkan, sebutir peluru hanya berperan ketika ditembakkan menembus kepala seseorang, mematikan. Tapi kata-kata seorang penulis bahkan lebih canggih daripada peluru karena tanpa perlu mematikan ianya dapat menembus kepala-kepala manusia. Dahsyat …!

Maka menulislah yang baik-baik, pesannya. Terlebih lagi, tulisan itu akan selalu hidup bahkan ketika si penulis telah berkalang tanah. Entah itu sekadar di akun jejaring social ataupun blog, buatlah tulisan yang baik. Karena tulisan tak akan pernah menua. Seperti halnya prinsip beliau ketika menulis novel N5M, beliau tak pernah berambisi, katakanlah, agar kisahnya difilmkan atau semacamnya. Niatnya hanya satu, membuat sebuah karya tulisan yang baik, yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Adapun hal-hal lain seperti menjadi best seller hingga difilmkan itu hanyalah efek samping. Begitu, katanya. Pokoknya bagi saya #jleb banget dah!

Kemudian ada satu kalimat lagi dari beliau yang menancap kuat dalam ingatan saya yaitu dalam sebuah paragraf selain untaian huruf, kata dan kalimat, sesungguhnya ada bahasa hati dari seorang penulis yang harus sampai kepada pembacanya. Duh, bagaimana dengan tulisan-tulisan singkat saya selama ini ya? -_-“

  • Kesetiaan

Saya menyimpulkan hal ini setelah memperhatikan baik-baik fotonya ketika ia menandatangani buku saya. Sedari awal saya memang sudah berniat, nanti ketika ada kesempatan untuk memintanya menandatangani buku saya, saya akan mengambil gambarnya tepat ketika penanya menggores lembar pertama buku N5M milikku. Soalnya saya tidak pede mau minta foto bareng, takut jadi fitnah #halah! He he he. Dan ketika saya perhatikan hasil jepretan saya, ada satu hal yang sangat menarik dari seorang A. Fuadi selain dua hal yang sudah saya beberkan di atas. Adalah cincin keperakan yang melingkar di jari manis kanannya. (jeda sejenak) Betapa saya sangat, apa ya istilahnya, terenyuh … ketika melihat seorang lelaki mengenakan cincin sebagai tanda ikatan. Dan saya yakin cincin itu pasti cincin ikatan seorang A.Fuadi terhadap belahan hatinya. Bentuknya yang polos dan terbuat dari entah apakah platina atau perak yang jelas bukan emas, cocok dengan kriteria sebentuk cincin pengikat. Saya bahkan tak akan heran jika ternyata dibaliknya ada sebuah nama terukir di sana! (Siapa tahu suatu ketika beliau sempat membaca tulisan saya ini dan mau mengkonfirmasi langsung ke saya, he he he *dreaming)

tampak jelas kan cincinnya :)

Baiklah, that’s it. Salam sukses selalu ^__^


2.4.12

Pencakar Langit Makassar (bag. 2 -- habis)

Setelah berjarak sekitar 2 bulan akhirnya saya berkesempatan untuk merampungkan sekuel dari postingan saya sebelumnya tentang gedung-gedung skycraper di Makassar (ada yang menantikan memangnya? -_-"). Dengan tema --foto berbicara-- inilah reportasenya. Please enjoy ...


Mega Tower Makassar. Lokasi : Tanjung Bunga

Mega Tower Makassar

Mega Tower Makassar

Wisma Kalla. Lokasi : Jl. Sudirman, Makassar

Wisma Kalla tampak samping

Menara Bosowa yang dilatarbelakangi lengkungan pelangi. Lokasi : depan Karebosi, Makassar

Menara Bosowa

Graha Pena. Lokasi : Jl. Perintis Kemerdekaan. Foto diambil dari flyover, tempat favorit para demonstran


Satu pertanyaan saya, kira-kira butuh waktu berapa lama lagi sebelum kota ini ikut-ikutan dikuasai oleh skycrapers?

1.4.12

Yang Unik dari Demo di Makassar

Lokasi : Jl. Perintis Kemerdekaan, Makassar

Apa yang sahabat pikirkan ketika melihat kedua foto yang saya tampilkan di atas? Pendemo bbm? Bukan, kurang tepat. Memang sih beberapa pemuda ini akan muncul ketika ada demo tapi mereka sebenarnya bukan bagian dari demonstran. Lalu siapakah mereka? Mengapa mereka memikul bilah kayu di tengah jalan seperti itu?
Lokasi : depan kampus UIM, Makassar

Bayangkan ketika sisa-sisa ‘api unggun ban’ yang ada di foto itu masih berada pada tahap awal proses terbakarnya. Teronggok di tengah jalan utama, dirubung oleh para -oknum- mahasiswa (maaf saya sebut oknum karena saya yakin bentuk default mahasiswa pengunjuk rasa bukanlah seperti itu). Dengan adanya aktifitas tersebut kondisi jalanan pasti MACET. Sedangkan ketika saya melaluinya saja, ketika para oknum itu sudah tak nampak, arus lalu lintas masih lumayan padat meskipun cukup lancar. Apalagi ketika mereka ada di sana dan api menyala berkobar-kobar.

Nah, hubungannya dengan para pemuda yang memikul bilah kayu di atas tadi adalah, tidak, bukan, mereka bukan preman ataupun provokator. Justru mereka adalah penawar jasa mengangkat motor. Mengangkat motor? Iya, mengangkat motor! Makanya mereka berjalan dalam grup-grup seperti itu. Ya bayangkan saja, lha wong job-desk nya mengangkat motor kok! Mana bisa dilakukan seorang diri? Apalagi jika dilakukan di tengah kemacetan yang tak menyisakan ruang gerak, bisa saya duga bilah-bilah kayu yang mereka bawa yang ditujukan sebagai landasan untuk memindahkan motor tidak akan banyak membantu.

“Macet disana, Pak!”
“Putar balik?”

Begitulah mereka menawarkan jasanya. Siapa tahu ada diantara pengendara motor yang ingin menghindari kemacetan dengan pindah ke jalur sebelah dengan cara yang cukup radikal, mengangkat motor melewati pembatas tengah jalan yang lumayan lebar itu. Saya tidak tau siapa yang pertama kali mempunyai ide seperti ini tapi cukup masuk akal mengingat ruas jalan sepanjang jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar ini memang memiliki pembatas tengah jalan yang sangat panjang dan jarang memiliki tempat berputar.  Jadi kalau terjadi macet ya tinggal pasrah saja, karena untuk menemukan tempat berputar ke jalur sebelah harus menempuh jarak yang cukup jauh, beberapa kilometer.

Berapa banyak motor yang mereka angkat ketika terjadi kemacetan seperti itu? Entahlah, saya tidak berkesempatan turun untuk mewawancarai mereka. Namun yang jelas saya sempat menyaksikan satu grup sedang beraksi di depan M’tos Makassar, mengangkat motor seorang bapak paruh baya untuk pindah jalur. Sayangnya ketika itu saya belum ngeh dengan profesi-dadakan tersebut makanya saya tak sempat mengabadikan gambarnya. Baru kemudian beberapa meter ke depan ketika begitu banyak pemuda dengan gaya yang sama berkeliaran di pembatas tengah jalanan, saya baru menyadari keberadaan para penawar jasa angkat motor ini.

Lokasi : Jl. Perintis Kemerdekaan, Makassar