7.5.12

Belajar Menulis : Sudut Pandang Kedua


ATAP TANPA PLAFON

Aku memicing memandang sosok dirimu yang sedang duduk di bangku deretan paling depan, berhadapan dengan  meja guru. Aji, begitu kudengar semua orang di kelas ini memanggilmu. Seperti biasa kau sedang asyik menggoreskan pena pada  lembaran buku tulismu.
“Apakah gerangan yang kau tulis, Anak Muda? Tiap hari kau datang paling pagi di kelas hanya untuk duduk dan membuat pena bututmu menari di atas halaman-halaman buku lusuhmu itu. Sambil mulutmu komat-kamit, asyik sendiri,” gerutuku penasaran. Pandanganku tak mampu menjangkau kecilnya tulisanmu di buku itu. Kontras dengan si bongsor yang sedang menulisi, ah, lebih tepatnya mencoreti papan tulis hitam di depan kelas dengan kapur tulis sisa kemarin yang berserakan di bawahnya.
“Ji, Aji … lihat aku tulis namaku!” si bongsor memanggil namamu sembari tertawa-tawa riang menuliskan namanya di papan hitam itu. KIJO. Bahkan dari ketinggian tempatku berada aku bisa membacanya. Aku tak mengerti, sepertinya ada yang berbeda dari anak lelaki bongsor itu karena tingkahnya tak sama dengan dirimu atau anak lainnya penghuni kelas ini.
“Iya, Jo. Jangan panggil-panggil terus, tho! Aku sedang konsentrasi penuh. Nanti saja kalau karyamu sudah selesai baru kau suruh aku melihat ke papan itu, ya?” kau menjawab bahkan tanpa menoleh.
Aku semakin penasaran. “Apa sih yang kau tulis, Anak Muda? Sampai-sampai kawanmu pun tak kau acuhkan.”
Kualihkan pandangan ke arah cakrawala. Hangat rasanya tubuh rentaku dipapar oleh sinar mentari pagi yang kekuningan. Mengusir perlahan jejak dingin hujan sisa semalam.
Bersamaan dengan itu anak-anak penghuni kelas mulai berdatangan memenuhi ruangan. Suasana menjadi ramai oleh celoteh riang di tiap sudut kelas. Beberapa dari mereka kulihat asyik menikmati sinar mentari yang menerobos masuk melalui celah-celahku. Elok dipandang, bagaikan dirancang khusus menjadi semacam sorot lampu panggung pertunjukkan partikel-partikel debu.
“Jo! Lekas bantu aku menghapus papan! Sebentar lagi bel berbunyi. Nanti Bu Guru marah, dikira aku tidak piket pagi ini,” sebuah suara nyaring terdengar, membuyarkan lamunanku. Rupanya Seruni, salah satu penghuni kelas. Seorang anak perempuan bertubuh mungil yang paling sering mengangkat tangan dan menyambar habis semua pertanyaan guru. Wajah ayunya merengut. Ia menarik lengan si bongsor yang alih-alih langsung membersihkan papan rupanya malah kembali ke tempat duduk dan terkesima memandangi hasil coretannya sendiri.
“Kok kamu tahu kalau itu aku yang nulis?” Kijo tampak terperangah.
“Anak TK juga pasti tahu kalau itu tulisanmu, Jo!” dengan kesal Seruni berusaha menyeret lengan gempal Kijo.
Aku terbahak melihat mereka. Tentu saja anak TK pun akan langsung tahu kalau coretan di papan tulis itu adalah ulah Kijo. Lha wong, bunyi tulisannya adalah namanya sendiri yang diukir memenuhi seluruh papan tulis!
“Sini aku bantu,” rupanya kau sudah menghentikan kesibukan menulismu dan beranjak mendekati Kijo untuk mengulurkan bantuan. “Bagus ya, Jo!” komentarmu sambil nyengir melihat hasil karya Kijo.
Teng, teng, teng. Terdengar lonceng sekolah berbunyi di kejauhan. Anak-anak bergegas kembali ke tempat masing-masing menyisakan kau dan Kijo yang masih berusaha memulihkan papan tulis ke warna asalnya semula. Rupanya tenaga si bongsor menorehkan kapur tulis pagi ini benar-benar maksimal sehingga meskipun tulisan namanya sudah terhapus namun sisa-sisa kapur membuat papan tulis itu nyaris putih.
“Siaaappp … Salam!” terdengar suara Bagas sang ketua kelas meneriakkan aba-aba siap pertanda seorang guru sudah tinggal beberapa langkah dari pintu kelas.
“Assalamu alaikum,” seperti kor anak-anak serempak berucap salam.
“Waalaikum salam,” Bu Guru Muti, demikian anak-anak menyapanya, menjawab. Setiap kali Bu Guru Muti masuk ke kelas setiap kali juga aku bertanya-tanya sendiri, mengapa ia tak sama dengan guru-guru lainnya yang pernah masuk ke ruangan kelas ini, yang di wajahnya mulai muncul kerut dan di rambutnya mulai tumbuh uban? Tak seperti mereka, Bu Guru Muti orangnya masih muda, cantik dan berkerudung rapi. Sayangnya aku tak bisa menanyakan alasannya kepada Bu Guru Muti.
Tentu saja, aku hanyalah sebidang atap, tak berplafon, yang menaungi ruangan kelas ini. Usiaku sudah cukup tua, super senior, seperti guru-guru selain Bu Guru Muti yang kusebutkan ciri-cirinya tadi. Semenjak aku didirikan, seperti inilah selalu keadaanku. Hanya bedanya dahulu diriku kokoh, dengan gagah menaungi ruangan kelas ini dari terpaan hujan, kilat, panas yang menyengat bahkan angin kencang. Sungguh berbeda dengan keadaanku sekarang, ringkih. Bahkan aku sendiri tak yakin berapa lama lagi aku bisa bertahan melaksanakan tugasku.
 “Anak-anak, tolong perhatiannya sebentar!” bu guru Muti berkata memecahkan keheningan kelas. “Tadi Bapak Kepala Sekolah menyampaikan kabar bahwa minggu depan akan ada kunjungan dari Pak Bupati ke sekolah kita ini. Nah, katanya beliau hendak mengulurkan bantuan untuk merenovasi sekolah kita ini.”
Sambil berkata demikian Bu Guru Muti melayangkan pandangannya ke arahku. Diikuti oleh matamu dan puluhan pasang mata kecil lain nan jernih. Aku terharu.
***
Siang hari yang terik di sela-sela musim penghujan, seusai sekolah. Sudah tak ada kau, Kijo, Seruni, Bagas, Bu Guru Muti dan anak-anak lainnya di bawah naunganku. Kulirik gumpalan-gumpalan awan gelap yang bergelayut di ufuk barat. Pertanda paling lambat nanti sore pasti akan turun hujan sangat lebat, seperti biasanya. Sabar, aku berkata pada diriku sendiri. Ingat apa kata Bu Guru Muti tadi bahwa akan ada bantuan untuk merenovasi sekolah ini.
Glar! Petir menggelegar mengiringi sambaran kilat. Lalu tetesan air langit melimpah tertumpah tepat ke sekujur tubuh ringkihku. Sejak sore hingga semalam suntuk. Aku berusaha, sungguh berusaha sekuat tenaga menahan segala kepayahanku. Renovasi minggu depan… Renovasi minggu depan… Renovasi minggu depan… Duh, Gusti! Aku masih ingin melihat Aji, aku belum berhasil tahu apa yang selama ini ditulisnya dalam lembaran buku lusuhnya. Juga Bu Guru Muti tentang alasannya mengapa ia mengajar di sini. Juga Kijo, Seruni, Bagas dan yang lainnya.
***
“Oalah, atapnya kok ambruk tho, Ji?” sayup-sayup aku masih bisa mendengar Kijo bertanya padamu sambil menatap puing-puingku, pagi-pagi sekali.
Kau diam tepekur. Matamu menatapku nanar, berkaca-kaca.
“Bu Guru, kita belajar dimana jadinya?” kali ini kudengar suara Seruni terisak sambil memeluk Bu Guru Muti.
 “Padahal minggu depan Pak Bupati akan datang meninjau. Sayang ya atapnya sudah keburu ambruk,” semakin samar aku mendengar seseorang berkata. Setelah itu gelap. Hening.


Cerpen ini dibuat dalam rangka belajar menulis dengan penggunaan POV 2. Jika kawan mempunyai kritik dan solusi atasnya, I'll be very appreciate it. Thanks before :)

27 komentar:

  1. Aku menikmati cerpen ini Mbak, soal kritik dan saran bukan ahliku :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih mba udah mau membaca dan menikmatinya
      mungkin esok lusa kalau terpikir sesuatu, saya tetap menunggu kritikannya :)

      Hapus
  2. mengamati mbak, coz belum bisa nulis cerpen :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih udah berkesempatan membacanya :)

      Hapus
  3. Sudut pandang kedua..ini maksudnya tokoh aku mendeskripsikan tokoh dia [another tokoh] dalam cerpen ya Mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, kurleb begitu mba rie :)
      dalam hal ini saya menghidupkan tokoh benda hehehe
      ini juga msh belajar ;p

      Hapus
  4. mampir dulua ya udah malem nih gak kuat bacanya :)

    BalasHapus
  5. wah.. pasti mba suka nulis cerpen nih.. :D nyimak ya.. :D

    BalasHapus
  6. udah laammaa ga nulis cerpen... bagus mbak...

    BalasHapus
  7. cerpennya panjang tp menarik,...
    bersambung ya?..

    BalasHapus
    Balasan
    1. ngga, mba ... atapnya kan udah tewas hehehe

      Hapus
  8. cerpennya bagus, kalo aku boro-boro bisa bikin cerpen... heheee

    BalasHapus
  9. mbak risa ternyata pinter nulis cerpen ya, bagus cerpennya mbak....

    BalasHapus
  10. ikut belajar tentang cara pemilihan sudut pandang dalam menulis. Terima kasih ilmunya, Mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. waduh, saya juga msh belajar, abi sabila...

      Hapus
  11. Bagiku orang2 yang membuat cerpen selalu hebat, karna sy tdk bisa membuat cerpen >___<

    Terus tingkatkan mba :)

    BalasHapus
  12. keren Risaaa. tata bahasa bagus banget menurutku.
    cuma di bagian ending kurang maksimal.
    mungkin ditambahkan deskripsi kejadian hujan lebat semalam, ditambah personifikasi perasaan si atap dan kemudian ambruk, baru ditemukan kebesokan paginya oleh si anak2 dan hening.
    overall, great job!

    BalasHapus
    Balasan
    1. naah, this is what i need ...
      makasih mba untuk masukannya :)
      jangan bosen mengupas fiksi saya ya hehe

      Hapus
  13. Ini masih POV satu, kalo menurut saya.. :D
    Kalo POV dua itu ga ada tokoh akunya lagi, hehe. Kayak novel2 "pilih sendiri petualanganmu".
    Maaf kalo sok tau. :3 hehe, semangat kak!

    BalasHapus
    Balasan
    1. semangaatt :)
      eh novel pilih sendiri petualanganmu itu yang mana? jadi penasaran..

      Hapus
    2. Dulu waktu aku kecil ada tuh novel2 yang halamannya ngacak. Jadi kita dikasih dua pilihan gitu, bila A ke hal sekian, bila B ke hal sekian. Gitu2 deh. Akhir ceritanya juga beda2.
      Ada yang karangan R.L Stine, terus ada lagi yang petualangan suku Inca ama tentang astronot2 gitu.
      Semuanya pake sudut pandang kamu, seolah pembaca adalah tokoh utama dari cerita itu. :)

      Hapus