ATAP TANPA PLAFON
Aku
memicing memandang sosok dirimu yang sedang duduk di bangku deretan paling
depan, berhadapan dengan meja guru. Aji,
begitu kudengar semua orang di kelas ini memanggilmu. Seperti biasa kau sedang
asyik menggoreskan pena pada lembaran
buku tulismu.
“Apakah
gerangan yang kau tulis, Anak Muda? Tiap hari kau datang paling pagi di kelas
hanya untuk duduk dan membuat pena bututmu menari di atas halaman-halaman buku
lusuhmu itu. Sambil mulutmu komat-kamit, asyik sendiri,” gerutuku penasaran. Pandanganku
tak mampu menjangkau kecilnya tulisanmu di buku itu. Kontras dengan si bongsor
yang sedang menulisi, ah, lebih tepatnya mencoreti papan tulis hitam di depan
kelas dengan kapur tulis sisa kemarin yang berserakan di bawahnya.
“Ji,
Aji … lihat aku tulis namaku!” si bongsor memanggil namamu sembari tertawa-tawa
riang menuliskan namanya di papan hitam itu. KIJO. Bahkan dari ketinggian
tempatku berada aku bisa membacanya. Aku tak mengerti, sepertinya ada yang
berbeda dari anak lelaki bongsor itu karena tingkahnya tak sama dengan dirimu
atau anak lainnya penghuni kelas ini.
“Iya,
Jo. Jangan panggil-panggil terus, tho!
Aku sedang konsentrasi penuh. Nanti
saja kalau karyamu sudah selesai baru kau suruh aku melihat ke papan itu, ya?”
kau menjawab bahkan tanpa menoleh.
Aku
semakin penasaran. “Apa sih yang kau tulis, Anak Muda? Sampai-sampai kawanmu
pun tak kau acuhkan.”
Kualihkan
pandangan ke arah cakrawala. Hangat rasanya tubuh rentaku dipapar oleh sinar
mentari pagi yang kekuningan. Mengusir perlahan jejak dingin hujan sisa
semalam.
Bersamaan
dengan itu anak-anak penghuni kelas mulai berdatangan memenuhi ruangan. Suasana
menjadi ramai oleh celoteh riang di tiap sudut kelas. Beberapa dari mereka
kulihat asyik menikmati sinar mentari yang menerobos masuk melalui
celah-celahku. Elok dipandang, bagaikan dirancang khusus menjadi semacam sorot
lampu panggung pertunjukkan partikel-partikel debu.
“Jo!
Lekas bantu aku menghapus papan! Sebentar lagi bel berbunyi. Nanti Bu Guru
marah, dikira aku tidak piket pagi ini,” sebuah suara nyaring terdengar,
membuyarkan lamunanku. Rupanya Seruni, salah satu penghuni kelas. Seorang anak
perempuan bertubuh mungil yang paling sering mengangkat tangan dan menyambar habis
semua pertanyaan guru. Wajah ayunya merengut. Ia menarik lengan si bongsor yang
alih-alih langsung membersihkan papan rupanya malah kembali ke tempat duduk dan
terkesima memandangi hasil coretannya sendiri.
“Kok
kamu tahu kalau itu aku yang nulis?” Kijo tampak terperangah.
“Anak
TK juga pasti tahu kalau itu tulisanmu, Jo!” dengan kesal Seruni berusaha
menyeret lengan gempal Kijo.
Aku
terbahak melihat mereka. Tentu saja anak TK pun akan langsung tahu kalau
coretan di papan tulis itu adalah ulah Kijo. Lha wong, bunyi tulisannya adalah namanya sendiri yang diukir
memenuhi seluruh papan tulis!
“Sini
aku bantu,” rupanya kau sudah menghentikan kesibukan menulismu dan beranjak
mendekati Kijo untuk mengulurkan bantuan. “Bagus ya, Jo!” komentarmu sambil
nyengir melihat hasil karya Kijo.
Teng,
teng, teng. Terdengar lonceng sekolah berbunyi di kejauhan. Anak-anak bergegas
kembali ke tempat masing-masing menyisakan kau dan Kijo yang masih berusaha
memulihkan papan tulis ke warna asalnya semula. Rupanya tenaga si bongsor
menorehkan kapur tulis pagi ini benar-benar maksimal sehingga meskipun tulisan
namanya sudah terhapus namun sisa-sisa kapur membuat papan tulis itu nyaris
putih.
“Siaaappp
… Salam!” terdengar suara Bagas sang ketua kelas meneriakkan aba-aba siap
pertanda seorang guru sudah tinggal beberapa langkah dari pintu kelas.
“Assalamu
alaikum,” seperti kor anak-anak serempak berucap salam.
“Waalaikum
salam,” Bu Guru Muti, demikian anak-anak menyapanya, menjawab. Setiap kali Bu
Guru Muti masuk ke kelas setiap kali juga aku bertanya-tanya sendiri, mengapa
ia tak sama dengan guru-guru lainnya yang pernah masuk ke ruangan kelas ini,
yang di wajahnya mulai muncul kerut dan di rambutnya mulai tumbuh uban? Tak
seperti mereka, Bu Guru Muti orangnya masih muda, cantik dan berkerudung rapi.
Sayangnya aku tak bisa menanyakan alasannya kepada Bu Guru Muti.
Tentu
saja, aku hanyalah sebidang atap, tak berplafon, yang menaungi ruangan kelas
ini. Usiaku sudah cukup tua, super senior, seperti guru-guru selain Bu Guru
Muti yang kusebutkan ciri-cirinya tadi. Semenjak aku didirikan, seperti inilah
selalu keadaanku. Hanya bedanya dahulu diriku kokoh, dengan gagah menaungi
ruangan kelas ini dari terpaan hujan, kilat, panas yang menyengat bahkan angin
kencang. Sungguh berbeda dengan keadaanku sekarang, ringkih. Bahkan aku sendiri
tak yakin berapa lama lagi aku bisa bertahan melaksanakan tugasku.
“Anak-anak, tolong perhatiannya sebentar!” bu
guru Muti berkata memecahkan keheningan kelas. “Tadi Bapak Kepala Sekolah
menyampaikan kabar bahwa minggu depan akan ada kunjungan dari Pak Bupati ke
sekolah kita ini. Nah, katanya beliau hendak mengulurkan bantuan untuk
merenovasi sekolah kita ini.”
Sambil
berkata demikian Bu Guru Muti melayangkan pandangannya ke arahku. Diikuti oleh matamu
dan puluhan pasang mata kecil lain nan jernih. Aku terharu.
***
Siang
hari yang terik di sela-sela musim penghujan, seusai sekolah. Sudah tak ada kau,
Kijo, Seruni, Bagas, Bu Guru Muti dan anak-anak lainnya di bawah naunganku.
Kulirik gumpalan-gumpalan awan gelap yang bergelayut di ufuk barat. Pertanda
paling lambat nanti sore pasti akan turun hujan sangat lebat, seperti biasanya.
Sabar, aku berkata pada diriku sendiri. Ingat apa kata Bu Guru Muti tadi bahwa
akan ada bantuan untuk merenovasi sekolah ini.
Glar!
Petir menggelegar mengiringi sambaran kilat. Lalu tetesan air langit melimpah
tertumpah tepat ke sekujur tubuh ringkihku. Sejak sore hingga semalam suntuk.
Aku berusaha, sungguh berusaha sekuat tenaga menahan segala kepayahanku. Renovasi minggu depan… Renovasi minggu
depan… Renovasi minggu depan… Duh, Gusti! Aku masih ingin melihat Aji, aku
belum berhasil tahu apa yang selama ini ditulisnya dalam lembaran buku
lusuhnya. Juga Bu Guru Muti tentang alasannya mengapa ia mengajar di sini. Juga
Kijo, Seruni, Bagas dan yang lainnya.
***
“Oalah,
atapnya kok ambruk tho, Ji?” sayup-sayup
aku masih bisa mendengar Kijo bertanya padamu sambil menatap puing-puingku,
pagi-pagi sekali.
Kau
diam tepekur. Matamu menatapku nanar, berkaca-kaca.
“Bu
Guru, kita belajar dimana jadinya?” kali ini kudengar suara Seruni terisak
sambil memeluk Bu Guru Muti.
“Padahal minggu depan Pak Bupati akan datang
meninjau. Sayang ya atapnya sudah keburu ambruk,” semakin samar aku mendengar
seseorang berkata. Setelah itu gelap. Hening.
Cerpen ini dibuat dalam rangka belajar menulis dengan penggunaan POV 2. Jika kawan mempunyai kritik dan solusi atasnya, I'll be very appreciate it. Thanks before :)
Aku menikmati cerpen ini Mbak, soal kritik dan saran bukan ahliku :)
BalasHapusmakasih mba udah mau membaca dan menikmatinya
Hapusmungkin esok lusa kalau terpikir sesuatu, saya tetap menunggu kritikannya :)
mengamati mbak, coz belum bisa nulis cerpen :)
BalasHapusmakasih udah berkesempatan membacanya :)
HapusSudut pandang kedua..ini maksudnya tokoh aku mendeskripsikan tokoh dia [another tokoh] dalam cerpen ya Mbak?
BalasHapusiya, kurleb begitu mba rie :)
Hapusdalam hal ini saya menghidupkan tokoh benda hehehe
ini juga msh belajar ;p
mampir dulua ya udah malem nih gak kuat bacanya :)
BalasHapusgpp, mbak ... :)
Hapuswah.. pasti mba suka nulis cerpen nih.. :D nyimak ya.. :D
BalasHapussilakan, dengan senang hati :D
Hapusudah laammaa ga nulis cerpen... bagus mbak...
BalasHapusayoo mulai nulis lagi, mba :)
Hapuscerpennya panjang tp menarik,...
BalasHapusbersambung ya?..
ngga, mba ... atapnya kan udah tewas hehehe
Hapuscerpennya bagus, kalo aku boro-boro bisa bikin cerpen... heheee
BalasHapus:)
Hapusmbak risa ternyata pinter nulis cerpen ya, bagus cerpennya mbak....
BalasHapusmoso' to, mba? ;)
Hapusikut belajar tentang cara pemilihan sudut pandang dalam menulis. Terima kasih ilmunya, Mbak.
BalasHapuswaduh, saya juga msh belajar, abi sabila...
HapusBagiku orang2 yang membuat cerpen selalu hebat, karna sy tdk bisa membuat cerpen >___<
BalasHapusTerus tingkatkan mba :)
siiipp ^^
Hapuskeren Risaaa. tata bahasa bagus banget menurutku.
BalasHapuscuma di bagian ending kurang maksimal.
mungkin ditambahkan deskripsi kejadian hujan lebat semalam, ditambah personifikasi perasaan si atap dan kemudian ambruk, baru ditemukan kebesokan paginya oleh si anak2 dan hening.
overall, great job!
naah, this is what i need ...
Hapusmakasih mba untuk masukannya :)
jangan bosen mengupas fiksi saya ya hehe
Ini masih POV satu, kalo menurut saya.. :D
BalasHapusKalo POV dua itu ga ada tokoh akunya lagi, hehe. Kayak novel2 "pilih sendiri petualanganmu".
Maaf kalo sok tau. :3 hehe, semangat kak!
semangaatt :)
Hapuseh novel pilih sendiri petualanganmu itu yang mana? jadi penasaran..
Dulu waktu aku kecil ada tuh novel2 yang halamannya ngacak. Jadi kita dikasih dua pilihan gitu, bila A ke hal sekian, bila B ke hal sekian. Gitu2 deh. Akhir ceritanya juga beda2.
HapusAda yang karangan R.L Stine, terus ada lagi yang petualangan suku Inca ama tentang astronot2 gitu.
Semuanya pake sudut pandang kamu, seolah pembaca adalah tokoh utama dari cerita itu. :)