“@KicauanRisa belum ber-SH hukumnya syubhat (samar) menurut fatwa MUI. Oleh karenanya harus diperiksa sampai jelas status hukum kehalalannya.” (balasan dari @halalcorner atas twit saya beberapa hari lalu)
Jeleder! Rasanya seperti tersambar petir di siang bolong (ups lebay deh). Tapi sungguh rasanya saya jadi bagaimanaaa gitu yah membaca balasan twit tadi. Soalnya saya jadi ingat, saya kadang makan di warung nasi padang, beli sarapan nasi kuning di pinggir jalan, beli segala macam roti mulai dari yang tawar sampai aneka rasa di mana saja, jajan bakso, makan mie titi, lumpia, jalangkote, belum lagi kalau jalan di mal pengen nyoba donat merk inilah, seafood ala itulah, dkk, dll, dsb yang tak mungkin saya sebutkan satu persatu soalnya membuat air liur saya banjir dan perut keroncongan -_-“ (pssst, saya lagi in love sama emoticon yang satu itu hehehe). Yang mana semua yang saya sebutkan tadi hampir seluruhnya belum tentu ber-SH (sertifikat halal, red). Hanya berdasarkan kepercayaan saja, bahwa tak mungkin mereka tega mengkhianati saya dengan memasukkan unsur-unsur tak halal pada produk mereka. Nah lho … gimana dong??? Sedangkan menurut fatwa MUI hal itu termasuk perkara samar? Aihh… jadi saya makan apa dong?
Saking geregetannya saya lantas mencoba mencari beberapa informasi mengenai apa dan bagaimana sih faktanya soal SH ini? Dari beberapa situs yang berhasil saya cerna informasinya, diantaranya adalah : http://www.detikfood.com/read/2011/11/22/135036/1772895/1089/prosedur-sertifikasi-halal-air-kemasan
http://www.detikfood.com/read/2011/10/04/141622/1736573/901/langkah-sertifikasi-halal-untuk-katering
saya menyimpulkan untuk sementara bahwa SH adalah tanggung jawab MUI sebagai lembaga nirlaba yang berhak menerbitkannya. Agar suatu produk memperoleh SH maka ada prosedur yang harus ditempuh dan ada BIAYA yang harus dikeluarkan untuk kepentingan itu.
Hmmm … Saya membayangkan, memposisikan diri saya sebagai pedagang nasi campur di sebuah kios kecil. Apakah saya akan berminat untuk mendaftarkan produk saya untuk mendapatkan SH? Mana sempat!!! Sudah begitu harus bayar lagi. Ya ampuun …
Okey, memang pihak pemegang lisensi halal ini menjelaskan bahwa biaya yang diminta adalah semata-mata dalam rangka membiayai seluruh proses hingga SH ini terbit, misalnya untuk biaya audit dan laboratorium bukan untuk kepentingan kelompok apalagi pribadi. Hanya saja, dalam pikiran saya yang naïf ini, bukankah ini seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, yak? Saya (lagi-lagi) membayangkan dalam rangka menjamin rasa aman dan ketenangan warga negaranya atas kehalalan suatu produk maka pemerintahlah yang seharusnya proaktif terjun langsung ke lapangan menginspeksi segala jenis produk yang membutuhkan SH. (Bukankah mereka memang tugasnya seperti itu, menjamin keamanan dan ketentraman hidup warga negaranya? Termasuk soal SH juga dong, kan? Atau tidak begitu?) Jadi gambaran realnya adalah akan ada petugas-petugas SH bertebaran dimana-mana mengambil sampel kemudian mengujinya dan pada akhirnya produk yang diuji tinggal diberi stempel, halal or not? Gratis, sebagai bentuk pelayanan untuk rakyat. Wooow, keren ya kalau bisa seperti itu…
Bayangkan! Betapa damai dan tenteramnya hati ini bila saja khayalan saya itu bisa terwujud. Tak perlu lagi perasaan risau menghantui tatkala saya ingin menjajal sebuah produk makanan ataupun minuman bahkan bedak, lipstick, hand body lotion, krim muka, obat-obatan, sabun, sampo, odol …… ealahhh kok jadi panjang tah daftarnya?!!
#bila ada kesalahan dalam pemikiran saya pada tulisan ini maka hal itu semata adalah kedhoifan saya sebagai seorang manusia. Cmiiw.
Mau Baca Opini-opini Risa yang lain?
huaaaah ribet banget kalau gorengan si abang keliling juga harus bayar kalo daftar SH -___- tapi aku baru tau lho mbak, kalo MUI yang nentuin SH. makasi infonyaaa (O.O)
BalasHapusiya kesimpulan sementara jika harus saklek menuruti penjelasan yang saya dapat diawal tulisan ya gitu deh. tapi masa seperti itu sih? ngga juga lah, ngga bisa dipukul rata gitu..
Hapuskadang memang membat bingung juga, karena kita punya makanan tradisional yang tidak memikirkan masalah ini
BalasHapusblogwalking malemmalem
yup disitulah letak inkonsistensinya dari masalah ini..
Hapusharus dikaji lebih mendalam lagi soal ini
nah kalau misalnya nikah siri dalam artian tak perlu KUA gmn...??? kan ada tu beberapa orang nikah tanpa KUA. dulu juga gak ada KUA sah-sah aja...
BalasHapusiya begitulah ...
Hapusmakanya perlu pengkajian lebih mendalam lagi...
wah biaya utk bikin label SH ini pasti mahal yach...makanya hanya pengusaha besar aja yg sanggup bikin...kalo pedagang tradisional mana kuaatt nanggung biayanya ehhehe.......
BalasHapussedangkan pengusaha besar aja kadang ga urus, mba..
Hapus:)
Kalau cuma jualan nasi kucing apa harus di daftarkan di SH dulu... Wkwkwk
BalasHapusha ha ha ... itulah!
HapusSalam kenal risa.....kalo saya, kalo kadang risau atau ragu-ragu ya mending nggak di konsumsi deh...tapi kalo terpaksa di makan...ya...bismillah aja deh...Alloh Maha tahu....hehe
BalasHapussalam kenal kembali :)
Hapusiya, mami zidane ... begitulah kira-kira ;p
Kalau ragu2 sebaiknya tak usah dimakan.
BalasHapusKan masih banyak makanan yang halal daripada haram nduk
Salam hangat dari Surabaya
njih, pakdhe ..
Hapusmasalahnya godaannya berat untuk icip-icip produk-produk baru
he he he
salam hangat kembali dari makassar :)
wah, bahaya neh!^-^
BalasHapusapanya coba???
Hapus;p
besok kalo aku diajak makan2 di rumah yakin aku gak bakal nanyain SH kok Sa...hahaaa...jadi kapan diajak makan2 nie...:D
BalasHapusbtw... gimana udah nyoba nambah tab berandanya lom...masuk pe posting ---> edit laman... jadi deh...
insha alloh bulan mei deh, Mi :))
Hapusbelum nyoba nih.. tunggu ya tak coba dulu he he
betul sekali mbak..
BalasHapustapi masalahnya, ga semua orang suka jika tiba2 MUI dateng mriksa kehalalan produknya.
itulah mungkin yang jadi salah satu kendalanya
wah kalo ada yang ngga suka digituin mesti dipertanyakan kali yah kenapa ;p
BalasHapus