29.12.11

Musim Langsat Tlah Tiba

"Daeng berapa langsatnya?"
"Sepuluh ribu 3 kilo!"
"Manis ji?"
"Iye, manis ji. Coba ma ki'!"
Kira-kira demikianlah dialog yang akan terjadi ketika kita menyambangi penjual buah langsat di sekitar kota Makassar.

Sekitar akhir tahun seperti ini seperti biasanya musim langsat mulai melanda kota Makassar. Perhatikan saja di tepi-tepi jalan di hampir sepanjang jalanan utama kota, mobil-mobil bak terbuka bahkan truk! siap sedia menggelar dagangannya, yaitu langsat. Kawan tahu kan apa itu langsat? Tidak tahu? Waduh, baiklah kalau begitu sejenak saya gambarkan apa itu langsat…

sepiring langsat sisa semalam
Nah, sudah tahu kan! Langsat, salah satu jenis buah yang bentuknya kecil, bulat oval. Warna kulit buahnya  krem kekuningan dan bergetah. Bergerombol seperti anggur. Daging buahnya berwarna bening dengan biji di masing-masing bulir(?)nya. Satu butir buah langsat bisa berisi sekitar empat sampai lima bulir daging buah. Rasanya? Biasanya manis segar tapi kadang ada juga yang kecut bahkan ada juga yang kecut sekali ,juga pahit, tergantung… pada amalnya he he he, kidding ^_*.
Jika deskripsi saya diatas sepertinya masih belum bisa membantu kawan mengenali buah langsat, coba bayangkan buah duku! Sudah? Nah, bisa dibilang buah duku itu persis penampakannya seperti buah langsat ini. Sama-sama kecil, bulat oval, kekuningan. Hanya daging buah duku agak kenyal, cenderung lebih manis, dan getahnya lebih sedikit. Itu saja.
Kalau duku identik dengan kota Palembang untuk menunjukkan kualitas seperti halnya jeruk dengan kota Pontianak, talas dengan kota Bogor, kalau langsat? Saya sendiri tak tahu, Makassar mungkin? Ada yang tahu pasti?
Nah, setelah berputar-putar sedikit dengan penjelasan diatas sebenarnya yang ingin saya soroti adalah cara sang penjual mematok harga. Jika kita perhatikan papan harga di lapak-lapak mobile (saya sebut mobile karena kebanyakan menggunakan mobil) di tepi jalan itu maka biasanya akan kita temui tulisan seperti ini : LANSAT Rp. 10,000 / 3 kilo. Murah meriah kan? Apa yang salah? Tidak ada sih, hanya saja setiap kali saya iseng menimbang ulang langsat-langsat itu di rumah dengan  timbangan tepung, seringnya beratnya tidak sesuai kesepakatan yang ditawarkan penjual. Sungguh, bukan soal sekke (pelit, red) atau uangnya, tapi bagaimana ya? Kecewa saja rasanya dan jadi teringat salah satu ayat dalam Al-Muthafiffin. Sempat terbersit pernyataan dalam hati, mengapa para penjual itu tidak menulis papan harga seperti ini saja : Langsat Rp.10,000 / kantong. Lebih aman kan? He he he…

2 komentar:

  1. Sebaiknya jujur memang lebih baik ya, RIsa...
    malah lebih baik Rp.10.000,- per kg, dibilang mahal, tapi memang benar sekilo, drpd mengelabui murah tp nggak jujur..
    biasanya pedagang2 yg jujur lebih langgeng dagangannya toh.. :-D

    BalasHapus
  2. iya mbak Lyliana Thia..
    makasi udah mampir ^_^

    BalasHapus