29.11.11

HAND-BAG jelek?

Peristiwa ini sudah dua kali terjadi pada saya. Membuat saya gemas, geregetan sehingga terpikir untuk menuliskannya. Tidak bermaksud untuk cari perkara, hanya sekedar berbagi pengalaman agar kita semua bisa instropeksi dan berbenah diri menjadi lebih baik lagi.
Peristiwa pertama :
(Oktober 2011) Saya sekeluarga berencana untuk ke toko buku G**m***a di Panakukkang Mall, Makassar. Saat itu bukan kali pertama kami kesana, boleh dibilang sudah langgananlah. Saya dan anak-anak ketika ada keperluan terkait urusan tulis menulis dan baca membaca, merasa paling nyaman ke toko tersebut untuk mencarinya. Sesampainya disana saya bergegas menuju bagian penitipan barang karena ada satu kantong belanjaan yang saya sendiri paham, harus dititip. Toh siapa juga yang mau keliling toko buku membawa-bawa tentengan. Sementara posisi hand-bag saya saat itu sengaja saya selempangkan diagonal melintang badan. Yang mana posisi itu adalah favorit saya ketika berbelanja apalagi keliling toko buku. Praktis. Bebas. Sementara itu anak-anak bersama ayahnya di bagian lain berjarak beberapa langkah dari saya.
Sambil menerima titipan saya, om penjaga barang meminta saya sekalian menitipkan hand-bag juga, yang sudah nongkrong dengan nyaman tadi. Dalam hati saya langsung kesal, tersinggung, merasa terlecehkan kredibilitas saya sebagai seorang yang dapat dipercaya. Tapi saya berusaha sabar tidak langsung emosi padanya.
“Lalu dompet saya, handphone saya bagaimana (saya lupa tidak sekalian menyebut kunci rumah dan beberapa kunci lain yang ada di dalam tas)?” tanya saya menantang dia.
“Dipegang saja,” katanya.
“Oh, harus begitu ya?” tanya saya benar-benar menahan emosi.
“Iya,” sahutnya keukeuh.
“Ya sudah, ngga’ jadi saja deh,” kata saya ketus. Lalu saya bergegas menghampiri anak-anak dan ayahnya untuk mengajak mereka pergi saja, batal ke toko buku tersebut. Saat itu mereka sedang di konter penerjemah bahasa elektronik yang posisinya tak jauh dari tempat penitipan barang. Mulailah emosi saya tumpahkan disitu, saya pun ngomel sendiri dengan suara agak keras dan bahasa tubuh dibuat sedikit berlebihan, sengaja supaya menjadi perhatian petugas toko. “Ayo mi deh kita balik saja, ga jadi masuk. Masa’ na suruh saya titip tas padahal orang lain masuk pake tas yang lebih besar dari punyaku boleh ji,” omelku dengan dialek setempat. Anak-anak yang paling protes, “Yaaaahh, kenapa ndak jadi, Ummi?” ungkap mereka kecewa. “Habis Ummi kesal, kalo memang aturannya semua tidak boleh bawa tas okelah saya terima, tapi ini kenapa cuma saya? Tuh lihat dimana-mana pada bawa tas, lebih besar lagi dari punyaku,” kata saya sambil menahan airmata. Kebayang saat itu pasti hidung saya jadi ungu dan mata saya berkaca-kaca. Karena memang begitulah kalau saya marah, biasanya tidak bisa bicara malah airmata yang tumpah hehehe.
Di satu sisi saya kesal di satu sisi saya tidak tega mengecewakan anak-anak. Akhirnya saya menghampiri petugas sekuriti yang menjaga gerbang toko buku memprotes kejadian barusan. Dan tanpa satu dua tiga beliau langsung mempersilakan saya masuk saja tak perlu titip hand-bag. Tapi berhubung bagaimanapun juga barang tentengan saya tetap harus dititipkan maka saya pun kembali ke om penjaga barang tadi.
“Ini saya titip. Bapak yang disana tadi bilang tas saya boleh dibawa,” kataku ketus.
“Oh iya, Bu soalnya kan Ibu sudah tanya disana, “katanya mulai ciut.
“Terus kenapa orang lain boleh-boleh saja masuk dengan tasnya?” tanya saya ingin tahu teorinya.
“Yang boleh bawa tas itu karena ada laptopnya, Bu,” terang si om penjaga barang entah serius entah ngawur!
Saya jadi geli mendengar penjelasan tersebut. Masih ada keinginan untuk mendebat dan meluapkan emosi, apalagi dengan posisi dan argumentasi saya yang bakalan cukup kuat pasti akan membuat saya menang. Tapi ya sudahlah. Kasihan nanti om penjaga barangnya J
Peristiwa kedua :
(November 2011) Siang itu saya dan anak-anak mengunjungi (lagi-lagi) toko buku tapi kali ini di M’tos. Ketika melewati pintu, penjaganya meminta hal yang sama, menitipkan hand-bag. Singkat cerita, akhirnya saya katakan pada anak-anak agar mereka masuk saja sendiri mencari keperluannya biar saya menunggu diluar. Melihat keputusan saya seperti itu, bapak penjaga itu pun akhirnya membolehkan saya dan hand-bag saya masuk.

Kedua peristiwa itu semakin membuat saya penasaran, sebenarnya bagaimana sih prosedur keamanan toko-toko besar dengan sistem pelayanan pegang dan pilih barang sendiri seperti kedua toko buku itu? Saya bisa berempati betapa repotnya mengawasi para pengunjung dengan segala karakteristik dan niat, yang datang kesana. Belum lagi kalau misalnya big boss tak mau tahu dengan segala bentuk kehilangan. Pastinya stressfull. Hanya saja dalam pikiran saya, soal keamanan ini seharusnya kan tidak boleh bertentangan dengan standar kenyamanan pengunjung ya? Apalagi hanya soal tas bawaan. Apa standarnya sehingga ada pengunjung yang harus menitipkannya sementara ada pula yang bebas melenggang? Apa dikiranya orang dengan wajah tertentu bakalan tak mampu bayar? Atau potensial nyolong? Huuuh, ini yang bikin saya selalu emosi ketika masuk pusat perbelanjaan lalu disuruh menitipkan hand-bag. Bahkan saya sampai mengira, apa dikiranya saya pelajar? Hahaha. Atau apa karena tas saya jelek? Hahahaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar