1.3.13

The Artist : Sebuah Kesenyapan yang Memesona

Alasan apa yang biasanya membuat kawan-kawan menonton sebuah film di televisi? Jalan ceritanya, aktornya, soundtracknya, atau apa? Kalau saya pribadi bisa apa saja. Bahkan terkadang hanya karena kebetulan saja ada film yang tayang di televisi, saya berada di sana, kemudian tertarik dan menontonnya.

Seperti film ini sebagai contohnya... :)

Kawan menyukai film bis… eh senyap? Itu lho, film yang di dalamnya seluruh tokohnya tidak bersuara. Tidak? Yakin? Bagaimana dengan Mr. Bean? Film yang sepanjang pemutarannya tidak pernah kita mendengar si pemilik wajah lucu itu berbicara jelas kecuali gumam-gumam entah-apanya. Namun anehnya sepanjang waktu kita selalu memahami apa yang terjadi, bahkan tertawa terbahak nyaris di setiap detiknya. Eh, Mr. Bean terkategori film senyap, kan ya?


The Artist. Saya tergoda menyaksikannya gara-gara di keterangan tertulis sebagai salah satu pemenang Oscar. Andai tidak ada iming-iming Oscar, mungkin, mungkin lho ya, saya akan buru-buru mematikan saja televisi itu dan beranjak tidur. Bagaimana tidak, The Artist ini mengambil setting waktu sekitar tahun 1920-an, lengkap dengan tampilan gambarnya yang a la televisi jadul, no colour. Dan, yap, nggak ada suara selain alunan melodi sebagai latar belakang saja! Bayangkan!


Tapi saya bertahan. Gara-gara satu kata itu, Oscar. Kok bisa film 'gejebo' seperti ini meraih Oscar? Sepuluh menit pertama, saya berusaha konsentrasi memelototi para aktris berakting meski sebenarnya dengan berbekal sedikit synopsis yang saya baca setidaknya saya tahulah film ini intinya apa. Lucu sebenarnya, karena film bis… eh senyap ini sengaja dibuat untuk menggambarkan seperti apa kira-kira yang terjadi pada saat peralihan dari film senyap ke film full-sound. Jadi ini film senyap yang dibuat untuk menceritakan film senyap. Senyap kuadrat, if you know what I mean… ;p

Tersebutlah tokoh utamanya, George Valentin, seorang actor paling terkenal di tahun 1920-an, rajanya film saat itu. Saking laris film-filmnya, film senyap tentu saja, George diceritakan kaya raya, punya rumah mewah, istri cantik, seorang ajudan tua yang setia, dan seekor anjing kecil yang super duper lucu dan pintar, yang kalau saya ceritakan bisa jadi satu tulisan tersendiri kayaknya haha.

Sebagai pengantar konflik, pada satu kesempatan, di sebuah acara jumpa fans, di mana situasinya sangat ramai, para penggemar (yang tentu saja hampir seluruhnya wanita) dan wartawan mengelilinginya, terjadilah sebuah insiden kecil. Salah satu gadis, ketika mengambil buku tanda tangannya yang terjatuh, tanpa sengaja terdorong kerumunan dan terpental di dekat sang actor pujaan. Suasana menjadi hening, padahal dari tadi juga filmya tak bersuara :D, semua mata tertuju pada sang gadis dan sang actor, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan rupanya, George menganggap kejadian tersebut lucu. Ia tertawa geli, yang kemudian diikuti seluruh penggemar dan para pemburu berita yang ada di sana. Hingga akhirnya mereka pun malah menyuruh si gadis untuk berpose bersama George. Jeprat jepret, para wartawan sibuk mengabadikan momen langka tersebut. Si gadis tentunya kesenangan, mengambil kesempatan tersebut untuk narsis abis bersama sang idola. Hingga akhirnya para juru foto meneriakkan kepada sang gadis untuk mengecup George. Dan lalu, cup!, blitz, tercetaklah foto George dicium cewek pada surat kabar keesokan harinya dengan headline berjudul “WHO’S THAT GIRL?”


Ya, who’s that girl? Yang membuat istri George di rumah misuh-misuh namun George tak terlalu mengambil pusing karena baginya pada saat itu si gadis memang hanyalah fans yang beruntung. Tanpa diduga, si gadis “who’s that girl” yang bernama Peppy Miller, rupanya mengikuti audisi untuk pemeran figuran dalam film terbaru George. Yes, she got it, sebagai penari tepatnya, dengan scene pertamanya adalah sekejap berdansa dengan George. Sampai di sini pasti bisa ditebak, ada sinyal-sinyal asmara di antara mereka. Tapi tak perlu khawatir, nggak ada kisah affair kok dalam film ini hehehe.

Waktu terus berjalan, beberapa tahun berlalu, George masih bersinar sebagai bintang dan sementara itu Peppy pun karirnya semakin menanjak berkat dukungan George. Hingga akhirnya tibalah saat titik balik itu, produser George tak ingin lagi memproduksi film-film senyap. Mengikuti perkembangan teknologi, mulai saat itu ia ingin menciptakan film yang berbicara. Dan George tak bisa menerima, baginya film adalah senyap, hingga akhirnya ia memilih keluar dari PH tempatnya bernaung selama ini.

Jadi untuk tetap eksis George memutuskan untuk membuat film sendiri. Ia bertindak sebagai produser, sutradara sekaligus actor pada saat yang bersamaan. Hingga tiba saatnya launching film produksinya, yang sialnya rupanya bertepatan pula dengan pemutaran perdana film bersuara yang dibintangi oleh Peppy. Kontras. Teater tempat film George diputar sepi penonton, berbanding terbalik dengan film Peppy yang pengunjungnya membludak. Idola baru telah lahir, atau lebih tepatnya sebuah era baru industri perfilman mulai bangkit.

Gara-gara keegoisannya yang tak bisa menerima perkembangan zaman, akhirnya George bangkrut. Hartanya habis dan sang istri pergi meninggalkannya. Tinggal ajudannya, Clifton, dan anjingnya yang super duper lucu sajalah yang tetap setia menemani George di rumah barunya yang sederhana. Bahkan saking setianya, Clifton, meski sudah tidak digaji setahun namun tetap saja ia selalu melayani George seperti saat di masa jayanya. Hingga akhirnya George menyadari situasi tersebut dan memecatnya. Yang membuat haru, bahkan meski telah dipecat, Clifton tetap saja setia menunggui George di jalanan depan rumah untuk berjaga-jaga siapa tahu ia masih dibutuhkan untuk mengantarnya kemana-mana. So, touchy…

Lalu selanjutnya bagaimana? Well, sepertinya sebaiknya kalian tonton sendiri sajalah filmnya. Karena kalau harus saya ceritakan sepertinya akan jadi semakin panjang review ini. Yang pasti, meski senyap film ini memesona. Saya pernah nonton film gara-gara kupikir bagus karena memenangi Oscar (lupa judulnya) namun toh ternyata mengecewakan. Namun tidak dengan The Artist ini. Dalam kesenyapannya film ini sungguh menawan. Ceritanya unik, plotnya keren, karakternya kuat, dan endingnya wow, memuaskan (setidaknya versi saya, yaitu meski saya yakin happy ending namun tetap saja saya diliputi kecemasan benarkah akan happy ending? Bikin geregetan, begitu ketemu ending kita benar-benar ketawa puas gitu loh :D)! Dan juga satu hal yang membuat saya appreciate, film ini nggak ada adegan fisiknya, Cuma sekali doang pas George dikecup Peppy, itu pun cuma di pipi. Jadi modal kebagusannya benar-benar acting para pemerannya, apalagi mengingat ini film senyap, Saudara-saudara!

Dan yang cukup konyol, tadinya saya kira Oscar yang dimenangi film ini adalah Oscar tahun 2013 ini, eehh rupanya saya salah, karena pas gugling ternyata film ini produksi tahun 2011 hehehe…

Note : Review film ini juga dimuat di blog komunitas menulis saya Be A Writer. Kunjungi deh, dijamin ilmu bermanfaat banyak bertebaran di sana :)

15 komentar:

  1. aku kurang menikmati kalau film gak ada suaranya

    BalasHapus
    Balasan
    1. ada musiknya mba lidya :) kayak2 mr. bean gitu cuma ini versi romance hehe

      Hapus
    2. enak banget donk kalo jadi artisnya, tanpa dialog.
      eh tapi malah jadi sulit sih kalo mewujudkan komuikasi lewat anggota tubuh

      Hapus
  2. 2011 ya, tapi aku juga baru tahu ini :)

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Balasan
    1. hehehe ... mari mba ... semoga betah :)

      Hapus
  5. kayaknya filmya rame nih :)

    BalasHapus
  6. walaupun sunyi namun tetep bagus >.<
    suka sama acting pemainnya :D

    BalasHapus
  7. aku kok enggak pernah tau ya pilm ini, ya baru hari ini taunya... coba nanti aku cari

    BalasHapus
  8. jadi penasaran. kok gak di tampilin trailernya sekalian sob..?

    BalasHapus
  9. aku kurang asik pilem kebanyakan dialog
    maunya ngomong dikit tapi banyak berantem
    cape baca teksnya...

    BalasHapus