18.12.12

Cerpen : "Kisik Sanubari Kartini"


Kisik Sanubari Kartini

Oleh : Niki Rissa

Saffa tercenung di depan layar laptop yang bergeming menampilkan screensaver berupa foto seorang bocah kecil yang sedang tersenyum manis memamerkan deretan gigi-depan-hitam-nya yang tongos, keropos terkikis aneka permen dan coklat. Sepasang kuncir berpita biru terusi menghiasi sisi kiri dan kanan kepalanya, menjulang bak air mancur di taman. Pipinya tembam bersemu kemerahan, tersenyum lebar hingga matanya nyaris menyipit.
“Ahhh,” terdengar suara helaan napas yang panjang dari perempuan yang berumur sekitar awal 30-an itu. Saffa. Seorang manajer bergaji bulanan dua digit di sebuah perusahaan telekomunikasi bonafid. Baru tiga bulan ia menduduki jabatan itu setelah hampir sekitar 10 tahun bekerja di perusahaan tersebut. Pencapaian karir tertinggi baginya hingga saat ini.
Saffa masih tetap tercenung di depan layar. Adalah Aini, nama bocah kecil menggemaskan itu, putri semata wayangnya, yang kali ini aneka pose dan ekspresinya sedang ditampilkan secara dinamis oleh aplikasi screensaver, berganti-ganti.
Kembali Saffa menghela napas. Berat. Sedetik kemudian dering pesan dari smartphone-nya berbunyi.
SEGERA dimulai, Bu!
Singkat, padat, sedikit mengintimidasi. Sebuah pesan singkat dari salah satu senior manajernya yang mengingatkan bahwa rapat akan segera dimulai. Tanpa menunggu lama Saffa bergegas menutup layar laptop ---membuat gambar gadis kecil itu lenyap--- lalu memasukkannya ke dalam tas jinjing. Ia pun berlalu meninggalkan ruangannya.
***
“Bik! Aini sudah tidur?” Saffa setengah berteriak memanggil Bik Karsih, asisten rumah tangga merangkap pengasuh Aini. Ketika itu waktu telah menunjukkan pukul 10 malam dan Saffa baru saja tiba di rumah. Sepi. Seolah dengan tegas menjawab pertanyaannya barusan. Bik Karsih datang dengan tergopoh-gopoh dari kamar Aini.
“Nona sudah tidur, Bu. Setengah jam yang lalu. Tadinya dia ngeyel mau tunggu Ibu pulang dulu. Tapi akhirnya ketiduran tak kuat menahan kantuk. Mungkin juga gara-gara pengaruh obat, Bu. Soalnya badannya masih hangat tadi.” Bik Karsih menerangkan pada Saffa dengan raut wajah yang terlihat prihatin. Entah mengasihani siapa, Saffa, Aini atau keduanya?
Dengan langkah gontai Saffa berjalan menuju kamar Aini. Ia menghampiri tubuh mungil yang telah larut dalam buaian mimpi itu. Tampak tangan mungilnya memeluk boneka kelinci besar magenta kesayangannya. Wajahnya begitu manis, polos dan damai. Tanpa terasa butiran hangat merayap perlahan turun dari kedua pelupuk mata Saffa.
“Maafkan mama, Aini.” Saffa mengecup kening Aini. Hangat. Benar kata Bik Karsih, suhu badannya belum normal sebagai manifestasi imunitas tubuhnya melawan flu yang menyerangnya tiga hari ini. Aini bergerak mengubah posisi tidurnya, jari-jari mungilnya menggapai-gapai seperti mencari pegangan. Saffa menyodorkan telapak tangannya yang langsung digenggam erat oleh bocah cilik berumur lima tahun itu, dalam tidurnya.
Saffa tak tega melepaskan genggaman tangan mungil Aini. Seolah untuk menebus rasa bersalahnya Saffa kemudian beringsut dan duduk berlutut di tepi tempat tidur Aini agar jalinan jemari ibu dan anak itu tak perlu terberai.
Saffa sudah nyaris terlelap dalam posisi itu ketika ia dikagetkan oleh dering smartphone-nya. Perlahan ia melepaskan jalinan jemari Aini lalu berjingkat menuju tas jinjingnya. Rupanya panggilan dari Rayhan, suaminya.
“Halo,” Rayhan berkata dari ujung sinyal telepon. “Mama belum tidur?”
“Belum, Pa.” Suara Saffa terdegar sangat sendu.
“Kenapa, Ma? Aini baik-baik saja, kan?”
“Iya, panasnya sudah mulai normal, Pa.”
“Lalu kenapa suara Mama sepertinya sedih begitu?”
Saffa menghela napas. “Mama bingung, Pa. Kalau melihat Aini seperti ini rasanya…” Saffa menghentikan kalimatnya, kembali menghela napas, “Entahlah, Pa. Tiap hari hampir seumur hidupnya Mama sudah harus meninggalkannya pagi-pagi sekali agar tehindar kemacetan. Sementara ketika Mama pulang dia pasti sudah terlelap. Sulit untuk pulang cepat seperti sebelumnya mengingat tanggung jawab Mama sekarang ini.”
“Papa kan sudah menyarankan dari kemarin-kemarin. Resign saja, Ma. Demi Aini. Tidakkah Mama ingat perjuangan kita selama empat tahun untuk mendapatkannya? Mengapa justru setelah dia ada kita malah menyia-nyiakan kehadirannya?” Rayhan berhenti sejenak. Saffa tak mengeluarkan sepatah kata bantahan apapun. Batinnya mulai bergolak.
“Papa masih sanggup menopang nafkah keluarga kita, Ma. Bisnis Papa semakin berkembang, tak bisa lagi seperti dulu ditangani dari rumah saja sehingga bisa sering sambil menemani Aini, menggantikan kehadiranmu. Ini saja Papa tak bisa tinggalkan pekerjaan di luar kota untuk bisa segera bersama kalian di sana. Bila Mama resign sekalipun tak perlu khawatir akan kehilangan kesibukan. Kita akan bersama mengelola bisnis ini dengan bonus waktu yang lebih banyak bagi Aini.” Saffa masih bergeming. Raihan kembali terdiam sejenak untuk kemudian menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Papa sangat mengerti perasaanmu. Tapi cobalah taklukan egomu, Ma. Demi Aini!”
Percakapan itu pun berakhir. Saffa tenggelam dalam bimbang. Ego. Ia terngiang kata-kata suaminya barusan. Membuatnya mempertanyakan kembali apa sesungguhnya motivasi dirinya bekerja keras seperti saat ini? Sekadar demi memuaskan egonya saja kah? Bahwa seorang lulusan magister tanpa karir, hanya menjadi ibu rumah tangga, apa kata kawan-kawannya nanti? Mana semangat emansipasi yang selama masa kuliah selalu digembar-gemborkannya? Bahwa wanita pun memiliki hak yang sama dengan kaum lelaki dalam segala hal, bahkan menurutnya bisa lebih! Bahwa seorang Saffa bertekad akan membuktikannya. Dan hal itu telah tercapai kini karena kenyataannya diantara seluruh kawan seangkatannya ketika kuliah, Saffa adalah sebuah contoh kesuksesan, jenjang karir yang melesat yang berhasil ia buktikan seperti ikrarnya untuk bisa melebihi kaum lelaki. Entah sejak kapan tepatnya paradigma ini merasuki pikiran Saffa. Karena bahkan ketika ia menikahi Rayhan, salah satu syarat yang diajukan Saffa adalah jangan melarangnya untuk berkarir.
Namun segalanya menjadi berbeda ketika Aini hadir dalam kehidupannya. Keberadaannya membuat Saffa gamang dengan prinsip emansipasinya selama ini. Aini kecil sangat menggoncang naluri fitrahnya sebagai seorang wanita, seorang ibu.
Saffa mengerjap-ngerjapkan mata. Penerangan cahaya dalam ruangan ini tiba-tiba lindap. Ia memicing untuk memastikan bahwa matanya tak salah melihat. Lampu kristal yang menempel di dinding berubah menjadi sebuah teplok yang memendarkan cahaya meliuk-liuk mengikuti siulan angin. Lalu seorang wanita berkebaya tampak sedang duduk di belakang meja. Wajahnya sedikit menunduk menghadap selembar kertas yang ada di atas meja, sementara tangan kanannya asyik menggoreskan sebuah pena bulu angsa.
“Kkkau … siapa?” Saffa tergagap mengajukan tanya.
Wanita berkebaya itu menghentikan aktifitasnya lalu menoleh ke arah Saffa. Demi melihat wajahnya Saffa terperanjat bukan kepalang! Wanita ayu berwajah bundar itu, dengan sanggul menghiasi kepalanya, kebaya dan jarik membalut tubuhnya, wajahnya persis seperti seraut wajah pada lukisan yang sering menghiasi dinding-dinding sekolah. Pahlawan emansipasi! Kartini? Saffa menggelengkan kepalanya kuat-kuat, tak memercayai penglihatannya.
“Tidakkah kau mengenaliku, Saffa?” senyum yang selalu tampak menghiasi wajah ayunya tiba-tiba lenyap berganti raut kesedihan. Ia kemudian beranjak menuju ke arah Saffa. “Kau dan begitu banyak orang benar-benar salah mengartikan perjuanganku selama ini. kalian menjadikanku panutan, emansipasi, namun kebablasan. Persis seperti dirimu. Padahal bukan seperti itu yang kumaksudkan,” wanita ayu itu tampak menarik napas dalam-dalam. “Padahal aku hanya ingin diperbolehkan mengecap pendidikan seperti halnya kaum lelaki ketika itu. itu saja inti perjuanganku,” ia berkata lirih.
“Mama … mama … bangun, Ma!” sebuah suara mengagetkanku, menarikku keluar dari pusaran mimpi. Mimpi! Aku tersadar masih dalam posisiku duduk berlutut di samping tempat tidur Aini. Kulirik jam di dinding, pukul 05.30. Lalu kulihat seraut wajah sumringah di hadapanku, tersenyum lebar hingga matanya tampak nyaris menghilang. Aini-ku!
“Mama tidak siap-siap ke kantor?” kedua bola matanya menatapku lekat ketika Aini melontarkan pertanyaan itu.
Saffa bangkit lalu mengibas-ngibaskan kakinya yang agak keram. “Entahlah, Sayang. Mungkin Mama akan cuti saja mulai hari ini supaya bisa sering bersama Aini. Bagaimana menurutmu?”
Binar tampak menyala terang di kedua mata jernih Aini. “Asyiikkk … kalau begitu nanti Mama yang antar aku ke sekolah ya!” Aini menghambur ke dalam pelukan Saffa. “Sekarang ayo kita solat subuh dulu!”
Saffa terlonjak kaget menyadari dirinya belum menunaikan kewajiban Subuh. Lalu ia beranjak mengikuti langkah-langkah mungil Aini menuju kamar mandi. Senandung bahagia terdengar dari bibir mungil Aini mengiringi sebuah keputusan besar yang telah diambil Saffa pagi itu.



***Cerpen ini adalah cerpen kontributor dalam antologi "Kami (Tak Butuh) Kartini Indonesia". Diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jingga - 2012.

10 komentar:

  1. Salam kenal...
    Cerpennya bagus,mba...
    Banyak sekali org, wanita terutama yg salah mengartikan ttg emansipasi, dan cerpen ini salah satu nya yg bisa membuka mata kita ttg emansipasi.

    BalasHapus
  2. harus jelas ya emansipasi itu seperti apa

    BalasHapus
  3. Cerpen2 bagus seperti ini sebaiknya dikirim ke majalah/koran nduk. Lumayan kan dapat uang pulsa.
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju ama komandan, siap tau malah bisa dibukukan, hehehe :D

      Hapus
    2. ini udah dibukukan, tapi rame2, antologi hehehe

      Hapus
  4. skakmat buat para feminis yang bersenbunyi di balik emansipasi salh kaprah wanita masa kini. good job mba risa :)

    BalasHapus