17.3.12

Ketika Airmata Jatuh di Hari Pertama Sekolah

            Pagi hari tanggal 7 July 2011. Saya bergegas menyiapkan anak saya untuk orientasi murid baru di TKIT Al-Ashri Makassar. Seragam, tas dan sepatu sudah siap, tinggal dikenakan. Pangeran kecil saya tampak gagah dalam balutan seragam putih hijaunya. Terharu rasanya saat memandanginya.
Jarak rumah dengan sekolah yang hanya sekitar 3 blok membuat saya memutuskan mengantarnya nyaris mepet dengan jadwal waktu masuk yang ditentukan sekolah. Setibanya di sana, para ibu guru menyambut dengan senyum paling manis, paling ramah, dan paling semangat pada semua murid barunya. Dirangkaikan dengan pengalungan name tag pada masing-masing anak.
Masih ada waktu sebelum anak-anak dikumpulkan, pikir saya. Masih ada kesempatan untuk mengambil gambarnya di momen pertamanya mengenyam bangku pendidikan formal setelah rumah. Setelah berfoto, saya menawarinya untuk bermain bersama kawan-kawannya di halaman sambil menunggu dipanggil masuk. Ia bergeming. Saya agak kaget, namun saya mengabaikan saja perasaan aneh yang tiba-tiba menyeruak dalam hati atas penolakannya itu.
Tak lama berselang Ibu guru memanggil para murid baru untuk berkumpul di halaman, dalam barisan. Saya benar-benar terhenyak, pangeran kecil saya tampak ragu bahkan matanya berkaca-kaca! Dan beberapa saat kemudian air mata dengan sukses mulai meleleh menghiasi pipinya setelah ia berada dalam barisan bersama teman-teman barunya.

pangeran kecil saya, berdiri di belakang gadis kecil berkerudung hitam, dengan wajah sendu kelabu.
***
Jujur saja, saya tidak menyangka hal itu yang akan terjadi. Saya benar-benar tidak siap. Mental
saya ketika itu adalah untuk menghadapi seorang anak yang akan bergembira ria merayakan hari pertamanya masuk sekolah. Tapi kenyataan justru sebaliknya. Dalam hati saya panik. Saya sungguh tidak punya referensi menghadapi anak yang menangis di hari pertama masuk sekolah. Apakah saya harus marah, kecewa, malu atau bagaimana mengatasinya?

Untunglah para guru dengan sigap segera mengisiki saya agar sementara mendampingi anak saya. Jangan jauh-jauh darinya, kalau perlu ikut masuk dulu ke ruangan kelas. Lagipula toh seminggu ke depan baru sekadar orientasi siswa baru saja. Sudah biasa terjadi reaksi seperti itu dari anak-anak, ujar mereka.

Saya lega sesaat. Lega? Ah, tidak juga. Cemas tepatnya. Seharian saya memikirkan hal itu. Mengapa bisa seperti itu? Mengapa tidak seperti kakaknya dulu? (Saya memperbandingkan kedua anak saya hanya dalam hati saja tidak pernah saya ungkapkan karena saya memahami bahwa tiap anak adalah unik. Tercetus pikiran seperti itu karena secara mental saat itu saya benar-benar tidak menyangka ketika akhirnya menyadari bahwa kedua anak saya benar-benar istimewa dengan cara mereka masing-masing)

Akhirnya demi mengusir galau di hati akibat kejadian pagi itu, juga demi agar saya tidak salah langkah mengatasinya saya browsing mencari informasi. Beberapa diagnosa dan solusi pun akhirnya saya temukan. Dari mulai sekadar masalah penyesuaian diri dengan lingkungan baru hingga diagnosa gejala sifat introvert dalam diri anak. Dengan solusi yang disarankan dari sekadar agar sabar melakukan pendampingan selama beberapa waktu hingga saran agar dibawa ke jasa konsultasi psikologis terdekat.

Saya mencoba untuk berpikir positif dan menganggap bahwa masalah anak saya hanyalah soal penyesuaian dengan lingkungan baru dan saya memutuskan untuk melakukan pendampingan saja hingga ia benar-benar bisa nyaman, baru perlahan akan saya lepaskan. Meskipun tidak dapat saya pungkiri bahwa batin saya setiap saat kebat-kebit khawatir ada masalah psikologis yang lebih serius.

Satu bulan pertama adalah masa paling berat yang harus kami lalui. Mulanya saya harus benar-benar berada dalam jangkauan penglihatannya selama ia berada dalam kelas. Jadi bayangkanlah, setengah harian saya ngetem di bawah jendela kelas menunggunya dalam bosan, sembari mengenang setumpuk cucian kotor yang berpesta pora merayakan ketiadaan saya di rumah untuk menceburkan mereka dalam mesin cuci. Ahhh…

Belum lagi tiap pulang sekolah saya tidak bisa menahan diri untuk memainkan peran saya sebagai motivator ulung pribadi (untuk tidak menyebut mengomel) anak saya. Rasanya sampai kering bibir ini mengulang-ulang hal yang sama tiap hari. Kalau diibaratkan pita kaset pasti sudah keriting saking seringnya diputar!

Satu bulan, dua bulan berlalu hingga hampir tengah semester, Alhamdulillah akhirnya anak saya mulai bisa nyaman menerima lingkungan sekolahnya. Yang tadinya saya harus selalu berada dalam jangkauan jarak pandangnya perlahan mulai meningkat beberapa meter jauhnya. Kemudian perlahan semakin menjauh dan menjauh hingga akhirnyaaa … ia pun sudah bisa saya lepas begitu turun dari boncengan motor saya setibanya di gerbang sekolah. Cukup dengan salim tanda berpisah dan ucapan selamat belajar, saya bisa langsung kembali ke rumah setelah mengantarnya. Lega.

Tulisan ini di-share dalam rangka mengikuti “GA GOLDEN MOMENT WITH YOUR CHILD” yang diadakan oleh penerbit byPASS www.penerbitbypass.com. 

4 komentar:

  1. diawal sekolah setiap anak beda ya mbak ada yg siap dan berani tapi ada juga yang menangis tapi lama-lama juga terbiasa

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak alhamdulillah anakku sekarang bener-bener udah enjoy sekolah :)

      Hapus
  2. Wah ... seru juga. Kirain anak perempuan saja yang begitu Icha. Anak laki juga ada ya ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalo di sekolah anakku malah para anak laki2nya yang cenderung bertingkah begini, kak :))

      Hapus