18.12.11

Kisah SMP : Dari barat hingga timur Indonesia

Menguntai kembali manik-manik kenangan saya ketika SMP, banyak yang telah terlupa dalam ingatan tentang rentang waktu 3 tahun itu tapi bukan berarti tak ada lagi memori yang tersisa. Bila manik-maniknya tak cukup diuntai menjadi kalung jadi gelang pun cukup. Sama-sama indah bukan?
Menghabiskan dua tahun pertama bangku sekolah menengah pertama di SMPN 14 Bandung. Lucky me, bisa tembus di salah satu sekolah favorit di Bandung dengan modal NEM yang hampir pas dengan batas bawah yang memungkinkan diterima. Senangnya luarrr biasa.
Masuk di sekolah cukup bergengsi di kota besar bagi seorang anak lugu dan sederhana seperti saya menghasilkan kata kuper. Penyendiri, tak banyak bergaul (aha! Pantas anak saya Fatih sekarang juga begitu, faktor keturunan?). Di kelas satu, hanya beberapa orang teman yang masih saya ingat dengan baik, namanya Neni dan Pia. Berbeda kelas membuat kami jadi sulit berinteraksi paling hanya waktu istirahat saja. Itu pun kalau tidak disibukkan oleh tugas dari guru.
ini sekolahan saya sekarang ckckck!
Kuper, tidak pula aktif di organisasi apapun, lebih suka menghabiskan waktu kosong untuk melalap novel-novel karya Enid Blyton. Mmmmhhh… benar-benar favorit saya waktu itu. Apalagi di perpustakaan sekolah koleksinya cukup lengkap mulai dari Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Jack dan kawan-kawan bersama Kiki si burung kakatua, Malory Towers, sampai Trio Detektif-nya Alfred Hitchcock. Harus mengantri dan berebut untuk mendapatkannya. Jadi aktifitas saya di sekolah lebih banyak seputar itu. Tiba di sekolah biasanya langsung ke perpustakaan. Di kelas serius belajar. Istirahat cari jajanan, hunting novel lagi. Pulang. Sudah. 
Naik ke kelas dua, saya dipertemukan dengan teman-teman baru, perempuan, yang rupanya banyak diantara mereka adalah fans berat NKOTB. The phenomenal, New Kids On The Block. Dari situ tuh saya mulai kenal dunia abege yang sebenarnya. Ikut-ikutan suka lihat-lihat cowok-cowok penyanyi yang ganteng-ganteng itu. Kalau jaman sekarang seperti SMASH, Speed dan sejenisnya itu mungkin ya, ha ha. Oh iya ada satu hal yang juga saya ingat, sewaktu kelas dua itu sedang menjadi trend bagi kami mengedarkan buku biodata agar diisi oleh teman-teman. Cara pengisiannya harus keren, unik dan menarik bukan sekedar mengisi nama, alamat dan tanda tangan saja. Dihiasi, diwarnai, ditempeli aneka pernak pernik jadinya benar-benar cantik. Saya menyesal tidak bisa menyelamatkan kenangan itu gara-gara buku biodata saya itu dipinjam seorang teman lalu dia dengan tega menghilangkannya :(

http://www.flickr.com/photos/balagu/399121227/

Lepas dari kelas dua saya pindah sekolah, ikut bapak saya yang dipindahtugaskan ke Ambon. Jauh, kan! Dari barat Indonesia langsung hengkang ke timur. Tapi entah ya saya kok asyik-asyik saja. Mungkin karena sebagian jiwa saya seperti si bolang ha ha ha. Bahkan saya masih ingat waktu pertama kali masuk ke SMPN 6 Ambon. Saya sendiri naik otto (sebutan bagi angkutan umum di Ambon) menuju sekolah. Padahal waktu itu sekolah saya sedang direnovasi jadi alih-alih lokasinya di tengah kota, sekolah saya sementara nebeng di sekolah lain di luar kota. Mungkin gara-gara saya terhipnotis dengan keindahan alam yang sama sekali berbeda dengan Bandung sehingga perjalanan pertama menuju sekolah menjadi tidak terasa. Di lingkungan yang asing, menjadi satu-satunya anak baru, kelas tiga pula, ck ck ck kalau saya mengingat kenangan itu, berani sekali saya ternyata ya! Tapi ya begitulah saya, di satu sisi kuper di satu sisi suka over percaya diri juga he he he.

Terbiasa dengan iklim persaingan serba ketat  sewaktu bersekolah di Bandung, di sekolah baru ini rasanya lebih longgar. Entahlah, mungkin memang benar bahwa gap yang sering disebut-sebut tentang pendidikan (in fact, tentang apa saja) antara barat dan timur Indonesia adalah nyata adanya. Buktinya kalau di SMPN 14 Bandung saya hanya bisa menjaga posisi di deretan 10 besar saja, di kelas tiga ini saya selalu menjadi juaranya. Aduh sungguh saya tak enak hati sebenarnya, mengapa saya yang menjadi acuan dan tumpuan harapan begini? Padahal siapalah saya ini, hanya seorang anak remaja penggemar novel Enid Blyton. Saya ingat pak guru matematika dan bu guru bahasa inggris (lupa semua namanya) ‘menyuruh’ saya mencapai angka sempurna dalam ujian akhir kelulusan. Ya ampuuun!!! Tapi malah mata ujian PMP (Pendidikan Moral Pancasila) yang saya ingat betul dapat nilai 10. Masya Allah, kok bisa!! Ha ha ha, geli saya setiap kali mengingatnya.

Ya begitulah. Seperti itulah kira-kira untaian kisah saya semasa SMP dulu.
Apa?
Soal cinta monyet?
Ah, sewaktu SMP saya belum tertarik untuk punya pacar meskipun beberapa orang kasak kusuk naksir saya sih di kelas tiga ini. Ha ha ha ha ha …. Gubrakkss!

*****
Tulisan ini khusus saya persembahkan untuk kakanda Mugniar ^_^

2 komentar:

  1. Gubraks !!!
    He he he ...
    Ok deh .. makasih yaa,
    PR-nya dapat 100 ... :D

    http://mugniarm.blogspot.com

    BalasHapus
  2. wuihh 100, dari skala berapa k'???
    :D

    BalasHapus