Adalah kebiasaan saya setiap anak-anak pulang sekolah selalu menanyakan apa saja kegiatan mereka seharian di sekolah tadi. Seperti beberapa waktu lalu, salah satu cerita anak lelaki saya tentang ketika dia belajar menulis.
“Ummi, tadi saya disuruh nulis nama-nama keluargaku.”
“Oh iya? Terus Fatih tulis apa?”
“Ya saya tulis : nama saya abang (maksudnya di bagian nama ayah), nama saya hani (maksudnya di bagian nama ibu), nama saya kakak (maksudnya di bagian nama saudara). Begitu…”
Saya hanya bisa bengong mendengar penjelasan anak saya. What?! Aduh naaakk itu sih bukan NAMA tapi panggilan akrab. Saya memanggil suami “abang”. Suami memanggil saya ~honey~ (ehm!). Dan si sulung kami panggil ~kakak~. Ya ampun…. Padahal pada kesempatan lain sebelum peristiwa ini terjadi anak saya sudah pernah bertanya begini, “Ummi kenapa Ummi panggil abi ‘abang’?” Dan pada waktu itu saya sudah berusaha menjelaskan bahwa yang boleh panggil ‘abang’ hanya saya saja, anak-anak tidak boleh.
Hmmm ternyata dia masih belum paham juga rupanya.
Kawan-kawan ada yang pernah mengalami? Anak-anak kadang senang meniru cara kita memanggil pasangan kita. Mengapa ya? Padahal saya kurang suka memanggil suami dengan cara anak-anak memanggil beliau, kalau memang itu cara aman agar mereka tak mencoba-coba meniru (ah tapi rasanya tidak juga karena anak saya pernah bertanya, “kenapa eyang kakung panggil eyang putri ‘mama’?). Rasanya aneh saja menurut saya… Tapi untunglah cara saya dan suami saling memanggil cukup sopan karena pernah pada suatu kesempatan saya menyaksikan keponakan saya berteriak memanggil ibunya dengan namanya! Hihihi … ada-ada saja ulah anak-anak. Mungkin dikiranya ini di luar negeri, di Barat sana, yang kalau saya amati (melalui film-film) lazim saja memanggil orangtua dengan namanya. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar