7.12.11

... nanti pak Abraham Samad Marah lho!

Hari-hari belakangan ini ayah saya sering bolak-balik kelurahan – kecamatan dengan tujuan mengurus formulir permohonan IMB. Tanda tangan pak lurah dan pak camatlah yang hendak dicari. Hari pertama ke kelurahan seorang petugas dengan sigap ‘melaksanakan’ hajat ayah saya meminta tanda tangan pak lurah.
“Gambarnya mana, Pak?”
(Ayah saya menyerahkan gambar rancangan bangunan)
“Oh iya. Bagusnya rumahnya, Pak Haji. Empat ratus ribu, Pak!”
(Pasrah. Ayah saya menurut saja karena kata orang-orang memang seperti itu cara kerjanya)
Hari berikutnya ayah saya menuju kecamatan dengan tujuan yang sama, meminta tanda tangan pak camat. Berbekal pengalaman sebelumnya di kelurahan, ayah saya sudah pasrah juga bila ternyata di sana pun akan terjadi hal yang sama.
“Lima ratus ribu, Pak!”
“Waduh, uang saya tinggal empat ratus ribu e di dompet.”
(Entah ayah saya sengaja atau memang kebetulan, mengingat kemarin di kelurahan ditodong sebesar itu)
“Ya sudah nda apa-apa, sisanya besok ya.”
(Sungguh saya terbahak-bahak mendengar cerita ayah saya di bagian ini. Ha ha ha)
Keesokan harinya ayah saya datang lagi ke kecamatan hendak mengambil formulir permohonan IMB seperti yang telah dijanjikan sang petugas kemarin.
“Ini Pak sudah ditandatangani.”
“Oh iya, terima kasih.”
(Ayah saya pura-pura lupa tuh)
“Kemarin kurang seratus, Pak.”
(Gubragsss!!! Ha ha ha…)
“Halah! Sudahlah segitu saja wong masuk kantong toh?”
“Saya sudah lapornya segitu, Pak.”
“Waaah gimana tho ini anak buah, nanti PakAbraham Samad marah lho!”
“Ah, jangan gitu, Pak! Kalau itu kan ngurusin yang gede-gede. Ini kan kecil.”
Lha kecil-kecil kalau dikumpulkan jadi gede e.
(Ayah saya sekali lagi pasrah menggelontorkan kekurangan dana yang telah disebutkan kemarin sembari merasa lebih beruntung karena pemohon yang dilayani sebelum beliau dipatok harga tujuh ratus ribu rupiah!)
“Memangnya itu uang masuk ke Negara berapa tho?”
(Sang petugas cuma senyum-senyum cengengesan tanpa member jawaban jelas dan pasti)
“Tuh kan masuk kantong thok. Akehe …”
Fiuufffhhh. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar cerita ayah saya. Lalu keluhnya saat menutup percakapan,
“Gimana pas di dinas ya? Diminta berapa nanti?”

Ahhh, satu lagi potret negeriku Indonesia. Kalau hendak mencari siapa yang bersalah atas pembiasaan kurang patut seperti ini jadinya susah juga. Seperti lingkaran setan. Kadang karena khawatir dengan proses yang panjang maka pengurusan surat/dokumen/berkas penting pun akhirnya dimafhumi dengan adanya tarif khusus bila ingin cepat. Bagaimana mau tuntas diberantas praktek seperti ini sementara saya pribadi pun yang berniat mengurus SIM inginnya juga lewat jalur kilat khusus saja. Ahhh … 

2 komentar:

  1. Waaaah, menarik sekali isi blognya mbak
    Memang yang namanya penyakit seperti ini memang tidak bisa dicari "kepalanya", yang bisa kita lakukan hanyalah bercerita dan tetap bercerita, agar dan semoga saja cerita - cerita yang ada menjadi pelajaran bagi anak cucu bangsa ini ke depannya, amin.

    BalasHapus
  2. iya mas dan semoga ke depannya segala sesuatu bisa semakin baik di negeri ini.
    salam persahabatan ^.^

    BalasHapus