Tulisan berikut ini tidak bermaksud ingin membela secara ashobiyah. Pun juga bukan karena ikut-ikutan latah ingin menghujat negeri sebelah. Sekedar opini pribadi saya saja, cerita ala Marisa, he he he.
Saya sedang berbelanja di Indomaret Telkomas pagi ini ketika penyiar di radio cuap-cuap memberitakan bahwa pak Sapta Nirwandar tak mempermasalahkan selama tidak diklaim. Itu lho soal pameran batik yang akan digelar di Malaysia besok, 9 Desember 2011. Saya sempat membaca berita tentang masalah batik Malaysia ini kemarin ketika BBO-an (baca-baca online maksudnya) di detik.com. Wah, bakalan rame lagi nih, pikir saya.
Saya masih ingat, sekitar kurang lebih 30 tahun lalu ketika saya masih kecil, simbah-simbah putri saya di kampung tidak pernah tidak memakai kain jarit sebagai pakaian mereka sehari-hari. Ke dapur, ke halaman, ke pasar, bahkan ke luar kota pun selalu memakai jarit. Itu lho sehelai kain batik Jawa yang dililit berfungsi sebagai pakaian bawahan pasangannya kebaya. Ribet? Bagi saya sih iya so pasti tapi bagi mereka ya memang tradisinya seperti itu, nyamannya seperti itu. Coba berikan pakaian selain jarit dan kebaya, saya jamin tak akan dipakai!
Jarit itu batik. Sudah menjadi tradisi entah sejak kapan. Mungkin sudah sejak buyut-buyut saya dahulu. Gara-gara hal itu pula sebelum batik sepopuler sekarang, saya termasuk yang beranggapan bahwa batik itu kuno, kampungan, pakaian simbah-simbah, he he he. Baru sejak beberapa tahun belakangan saja pandangan saya akan batik semakin membaik seiring dengan perkembangan fashion yang marak mengusung tema batik sampai taraf internasional malah.
Mungkinkah gara-gara ini batik jadi ‘diperebutkan’ begini? Padahal kalau saya cermati ada beda yang mencolok antara batik Indonesia dengan Malaysia. Mengapa negeri tetangga kita itu tidak menamai saja tradisi tekstil mereka dengan istilah lain? Jangan batik lah. Itu kan sudah dicop oleh kita, Indonesia banget! Seperti misalnya kain sari India, siapa yang tidak mengakui keindahannya? Tapi toh kita tidak membuat nama kain sari Indonesia misalnya. Gengsi dong, apa kata dunia? Saya pikir jika Malaysia sedari awal memilih istilah lain untuk ‘batik’nya, bukankah itu lebih bagus? Memperkaya pilihan tekstil. Saya juga pasti tidak akan keberatan jika suatu hari membeli kain sesuatu (gaya syahrini) Malaysia untuk dijadikan gamis saya, cantik-cantik kok coraknya J. Kan aman toh, semua akan senang kalau seperti itu.
Batik Jogja (sumber foto : http://www.facebook.com/profile.php?id=100001282725493)
'Batik' Malaysia, padahal benar-benar beda ya? (sumber foto : http://en.wikipedia.org/wiki/Malaysian_batik)
Sekali lagi, ini bukan soal ashobiyah. Tapi saya lebih menyorotinya ke urusan perebutan branding. Sedangkan dalam dunia usaha saja, ketika kita memiliki sebuah produk, kita beri merk kemudian berkembang pesat dan diminati lalu tiba-tiba tanpa etika ada kompetitor datang meniru habis-habisan produk kita, uuhh! kesalnya tiada tara. Apalagi bila judul merk kita dipakainya pula! Beugh, maksudnya apa? Meskipun secara tidak langsung itu menunjukkan bahwa brand kita keren sih sampai-sampai jadi rebutan. Hanya saja jika menggunakan nama persis ya keterlaluan juga… Sudahlah, sebagai solusi lugu ala Marisa, beri istilah berbeda saja. Supaya batik Indonesia berkembang, sesuatu Malaysia juga berkembang. Sip?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar