Cerpen berikut ini saya tulis dalam
rangka giveaway yang diadakan oleh Leyla Hana, penulis novel “Cinderella
Syndrome”. Berdasarkan persyaratan yang ditentukan di blog Leyla Hana, saya
memilih inspirasi tokoh Annisa. Selamat membaca J
CYNDI
Oleh : Niki Rissa
“Cyndiiii!!!” aku hanya
bisa berteriak dalam hati sambil membayangkan menjewer kuping gadis cilik
berumur 6 tahun itu. Lihat saja tingkahnya sekarang! Setelah sepagian tadi
mengacaukan kelas melukis dengan mencipratkan cat air ke hampir seluruh penjuru
kelas, kini ia baru saja menarik paksa kerudung Anggita hingga terlepas, lalu
menjambak rambutnya. Tentu saja anak itu menangis. Sementara Cyndi? Seperti biasa,
ia jingkrak-jingkrak gembira seperti seorang yang baru saja memenangkan lotere.
Sambil menjulurkan lidah mungilnya ia lalu mendekat ke arahku dan berkata, ”Mom
Nisa, aku siap dibawa ke perpustakaan lagi untuk dihukum.”
Sungguh, rasanya aku ingin
pingsan saja menghadapi bocah perempuan ini. Entah berapa kali dalam sehari,
selama jam sekolah, ia akan mengacau di kelas. Ada saja tingkahnya. Membuatku
semakin merasa putus asa saja. Selama 6 tahun aku mengajar di TKIT ini, dengan
karir dan penghasilan yang begitu-begitu saja, keberadaan seorang Cyndi rasanya
membuat keinginanku untuk resign
menjadi semakin menguat. Padahal tahun ajaran baru ini belum juga genap satu
bulan berjalan.
Jemari mungil Cyndi
menggandeng tanganku. Meski kesal, aku memilih untuk membawa murid bengalku
ini, the one and only Cyndi, menyepi
sejenak ke perpustakaan. Masih ada satu jam sebelum pulang yaitu saatnya
menyantap bekal, makan bersama. Aku sudah tak sanggup membayangkan ide apalagi
yang ada di benak Cyndi untuk mengacau di kelas jika aku tak mengajaknya keluar.
Daripada menghadapi kemungkinan itu lebih baik aku membawanya ke perpustakaan.
Sudah sekitar dua pekan
aku menerapkan ‘hukuman’ ini untuk Cyndi. Selain baik baginya, terbukti jika
tinggal berdua saja denganku tiba-tiba saja Cyndi menjadi sangat manis. Juga
baik untukku, menenangkan diri. Toh tanpa Cyndi, Mom Mia, guru pendampingku
akan sanggup mengatasi kelas sendirian hingga waktu pulang tiba.
“Mom Nisa, nanti baca
cerita lagi, ya,” dengan polos, tanpa merasa bersalah sama sekali, sepasang
bola mata jernih milik Cyndi menatapku ketika kami bergandengan tangan atau
tepatnya tangan kananku yang terpaksa menerima uluran tangan mungil Cyndi menuju
perpustakaan. Aku hanya bisa mendengus tertahan.
Tas ungu besar kepunyaan
Cyndi yang bergambar seorang putri cantik, Cinderella, kuletakkan di atas meja
ketika kami tiba di perpustakaan. Aku masih tak mengeluarkan sepatah kata pun.
Aku hanya membuka tas ungu itu lalu mencari buku penghubung antara orangtua dan
guru. Lalu kuambil pulpen dari saku jubahku. Tadinya aku berniat untuk
melaporkan, --lagi--, kebadungan Cyndi kepada orangtuanya. Namun sebelum sempat
kulakukan hal itu mataku kembali mendapati nomor telepon yang pernah dituliskan
orangtua Cyndi di sana. Aku tertegun sejenak. Tertulis di sana : Bayu. Kemudian
sederet nomor GSM milik sebuah operator selular. Aku menelan ludah. Selain
anaknya yang super badung ini, soal
nomor telepon wali murid ini jugalah yang mengusikku. Biasanya yang selalu
berhubungan dengan wali kelas adalah ibu dari sang murid. Tapi tidak dengan
Cyndi. Sepertinya hanya ayahnyalah yang berperan dalam pengasuhan Cyndi. Namun
meskipun seorang lelaki, kepeduliannya akan laporan perkembangan yang selalu
kutulis dalam buku penghubung justru sangat tinggi. Ayah Cyndi menjadi
satu-satunya wali murid yang selalu merespon semua tulisanku tentang laporan
harian murid melalui buku penghubung. Secara rinci. Bahkan tak jarang ia malah
balas menceritakan perkembangan Cyndi di rumah. Menarik, harus kuakui itu.
Mungkinkah orangtua Cyndi
telah berpisah atau semacamnya? Ah, kutepis pikiran itu. Mengapa aku jadi ingin
tahu begini?
“Cyndi? Kamu sudah pilih
bukunya?” aku mendongak dan akhirnya berhenti menekuri buku penghubung Cyndi
sekaligus membuyarkan lamunanku. Tidak ada jawaban. Bocah lincah itu terdiam di
pojok. Tumben, pikirku.
“Hei, kamu kenapa, Nak?”
perasaanku berubah menjadi khawatir melihat Cyndi yang biasanya seperti bola
bekel tiba-tiba diam seperti itu. Kuhampiri gadis kecil yang mendadak senyap dan
terduduk memeluk lutut itu. Sebuah buku berjudul ‘Franklin Sayang Ibu’
tergeletak terbuka di dekatnya.
“Cyndi rindu mami,”
tiba-tiba ia berkata sambil menghambur dalam pelukanku. Aku terkejut, sama
sekali tak pernah terbayang adegan seperti ini. Kuangkat dagu murid kecilku
ini. Aku terkesiap. Darah mengucur dari hidungnya! Dan suhu badannya tinggi.
Tanpa berpikir lagi aku berteriak memanggil Mom Allin, kepala sekolah.
***
“Terima kasih, Bu Guru.
Maaf kalau Cyndi telah merepotkan Bu Guru hari ini.” Pak Bayu berbicara sembari
matanya ragu melirikku dari balik spion. Aku balas melihatnya sekilas. Bingung.
Aku benar-benar belum bisa mencerna dengan sempurna semua peristiwa yang
tiba-tiba saja terjadi dengan begitu cepat tadi. Cyndi tiba-tiba mimisan.
Sebenarnya dengan mudah aku dan para guru bisa mengatasinya. Namun rupanya
Cyndi sangat trauma dengan darah. Ia menjerit-jerit histeris begitu sadar darah
mengucur dari hidungnya. Meronta-ronta dan memelukku erat tak mau lepas. Bahkan
ketika akhirnya Pak Bayu, ayah Cyndi datang menjemput untuk membawanya ke
dokter, ia masih saja memelukku. Hingga akhirnya di sinilah aku, terjebak
bersama si bola bekel mungil ini dan ayahnya!
“Maaf, sebaiknya saya eh
kami mengantarkan Bu Guru langsung ke rumah saja. Sungguh sekali lagi maafkan
tingkah Cyndi,” kali ini Pak Bayu berkata sambil terus memandang lurus ke
depan.
Aku mengangguk pasrah
dalam diam. Yah, apa yang bisa kulakukan?
pikirku dalam hati. Sungguh, aku masih benar-benar tak mengerti dengan semua
ini. Apalagi kini Cyndi malah menyandarkan tubuhnya padaku, memeluk lengan kiriku
dan terlelap di situ. Aku menghela napas. Lalu sekilas kulirik kaca spion
tengah dan ah, sial, rupanya Pak Bayu pun tengah melakukan hal yang sama. Tak
dapat kutolak mataku pun bertemu dengan matanya. Buru-buru kami membuang
pandang satu sama lain. Aku menunduk. Kurasakan pipiku memanas.
***
Setelah kejadian tempo
hari itu, secara ajaib, Cyndi si bola bekel menjadi jauh lebih tenang di kelas.
Ia tak pernah lagi membuat kehebohan. Bahkan kini ia cenderung mengayomi
kawan-kawan sekelasnya. Dan dengan perubahan sikapnya itu aku baru menyadari
bahwa rupanya Cyndi adalah seorang anak dengan segudang bakat dan juga pesona.
Tugasku menjadi lebih ringan sekarang. Meski jujur harus kuakui aku malah
merindukan momen-momen tatkala ia membuat kelas kacau dan aku harus
menenangkannya di perpustakaan. Juga kehilangan momen menulisi buku
penghubungnya sekaligus membaca balasan dari ayahnya.
Ah,
kenapa sih aku ini? Apakah diam-diam ada sesuatu yang bersemi dalam hatiku? Ah,
tidak, tidak, tidak!
batinku menolak. Sadar, Nisa! Kau bahkan
tak mengenal Bayu, ayah Cyndi itu. Bagaimana kalau istrinya…? Aku
menggeleng-gelengkan kepalaku, heran dengan pikiranku sendiri. Tapi jika tidak
lalu mengapa rasanya aku begitu kehilangan? Apalagi sudah beberapa hari ini,
sejak kejadian mimisan itu, buku penghubung Cyndi sepertinya tak pernah lagi
dibaca di rumah. Tak ada tanda tangan apalagi respon balasan atas laporanku.
“Mom Nisa, Papi tadi titip
ini buat Mom.” Tanpa kuduga tiada kusangka tiba-tiba saja Cyndi tegak berdiri
di hadapanku menyerahkan sebuah amplop ungu.
“Ini apa, Nak?” tanyaku
tercekat.
“Surat cinta!” Cyndi
menjawab singkat lalu kembali berlari menuju kumpulan kawan-kawannya.
Tidak sempat aku
mengoreksi kata-katanya dan bertanya dari mana atau siapa yang mengajarinya
berbicara semacam itu, aku keburu diam tertegun. Mom Mia, guru pendampingku,
senyum-senyum penuh makna membuat aku tak bisa membayangkan bagaimana rupa
wajahku saat ini. Lalu buru-buru kurobek amplop sewarna tas Cinderella milik
Cyndi itu. Penasaranku membuncah tak tertahankan.
Assalamu
alaikum.
Sebelumnya
maaf jika saya lancang berkirim surat ini melalui Cyndi. Mungkin saya pengecut
namun entah, saya tak punya ide lain untuk menyampaikannya kepada Anda.
Bu
Guru Nisa, anak saya Cyndi jatuh hati kepada Anda sejak pertama kali masuk
sekolah. Baginya, Anda seperti pengganti sosok maminya yang telah tiada. Demi
untuk menarik perhatian Anda, Cyndi sengaja melakukan semua aksi seperti yang
sering Anda laporkan selama ini melalui buku penghubung. Hingga akhirnya
kejadian kemarin itu. Cyndi sangat takut melihat darah. Rupanya ia masih trauma
dengan kecelakaan yang merenggut maminya. Hari itu sepulang dari rumah sakit
Cyndi memaksa saya untuk segera membawa Anda pulang ke rumah. Saya katakan
padanya, bagaimana mungkin Mom Nisa mau ikut pulang sama kamu kalau Cyndi
selalu nakal di sekolah? Entah apakah kata-kata saya itu ada efeknya atau
tidak. Semoga saja Cyndi tak lagi berulah di sekolah dan menyusahkan Anda.
Jadi,
bagaimana menurut Bu Guru? Ya atau tidak?
Bayu
dan Cyndi.
Kulipat kembali surat
beramplop ungu itu. Dan kali ini rasanya aku benar-benar ingin pingsan…
pagi pagi udah bikin cerpen..?
BalasHapuskeren bu, aku aja baru bangun masih ucek ucek mata
mandi dulu ya, panjang banget neh
selamat pagi saja dulu..
semoga sukses
bikin cerpennya udah dari kemarin tinggal posting aja :D
BalasHapussalam sukses selalu juga..
Bagus sekali nduk. Saya terkesan dengan kisah anak manis itu.
BalasHapusBella juga kayak bola bekel he he he he, selama dia belum bobo ada saja tingkahnya yang lucu tapi kadang menjengkelkan. namanya juga anak-anak.
Jika Risa rajin menulis cerpen, Insya Allah akan menjadi penulis terkenal. Hayooo..maju
Semoga berjaya dalam GA
asyiikk .. pagi-pagi udah didoain.
Hapusaamiin, pakdhe.
salam buat bella :)
Cerita yg sangat menarik :-D.. nice post.
BalasHapussilahkan mampir ke blog saya ya Mbak.. & tinggalkan komentarnya
http://teknokultur1.blogspot.com/2012/07/hadiah-mobil.html
makasih ulie..
HapusJadi sekarang sudah pingsan beneran kah? hehe...
BalasHapusBtw, isinya bagus Mbak, unik idenya :)
Semoga berjaya di GA ini :)
sepertinya begitu, ma yunda, tokohnya pingsan :)
HapusHahaha, pernyataan cinta yang manis..semoga menang
BalasHapusaamiin! :)
Hapuscindy sebenarnya bukan anak nakal ya mbak....
BalasHapuside ceritanya unik sekali mbak...saya suka deh...:)
bukan sama sekali, mami zidane. justru dia cerdas :)
Hapuscepetbener ya bikin cerpennya, tulari aku dong :) good luck ya
BalasHapusbiasanya gitu, mba .. kalo pas kepepet tiba-tiba lancar ;p
Hapustapi soal bagus ngga nya mah, entahlah :D
bagus banget mba Risa..ceritanya simple tapi ngena..
BalasHapussemoga sukses ngontesnya ya..
salam kenal.. :)
salam kenal kembali :)
Hapusitu genre cerita'a fiksi ya mba ?
BalasHapusiya fiksi, andy :D
HapusBagus, mba cerpennya..
BalasHapusaku jd pengen ikutan ah.
yuk ikutan, tambah rame tambah seru ^^
HapusSaya suka dengan slogan bannernya Talk Less Write More. Hehehe unik dan menarik juga. Oh ya selamat ya cerpennya. Semoga menang. Kayaknya saya perlu berguru nih soal menulis cerpen
BalasHapushehe .. iya, kang asep :)
Hapustapi soal cerpen saya juga baru belajar..
good luck dengan GA nay ^^
BalasHapustengkyu..
HapusSuit suit ... ending yang manis ....
BalasHapusOya Icha .. ada paragraf yang kepanjangan, agak2 ndak enak membacanya, bisa dipenggal kali ya? Sy pernah mendapat kritikan dari mbak Tias Tatanka (istrinya mas Gola GOng) ttg paragraf yang kepanjangan .. itu salah satu alasan mengapa saya ndak lolos audisi antologinya bbrp bln yl :D
Btw .. hm ... Niki Rissa ... nama yang manis ... ^__^
iya, kayak orangnya kan? #eh ;p
HapusMenarik sekali, Mbak Risa. Cindy, Bayu dan Nisa? Mm...jadi membayangkan jika saya ada menjadi salah satu dari ketiga tokohnya. Ah, semoga cerita fiksi ini, pada bagian tertentu, bisa menjadi nyata.
BalasHapuspada bagian tertentu bisa menjadi nyata ... hmmm :). baiklah saya aminkan saja ya, abi sabila. semoga yang terbaik untukmu. dan jangan lupa when it happens, let me know :))
Hapusgood luck, ya buat giveaway'nya :))
BalasHapusmakasih indi.. thank you for visiting me back :)
Hapusnice posting...ditunggu postingan selanjutnya ya
BalasHapussip. thank u for visit :)
Hapus