Sedih terasa di hati tatkala
meyaksikan siaran berita di televisi yang mengabarkan bahwa lagi-lagi seorang
siswa SMU tewas akibat tawuran. Terbayang duka yang dirasakan para orang tua,
baik itu dari pihak korban maupun pelaku. Belum lagi siswa-siswi lain yang
pastinya juga ikut shock mengetahui nasib kawan-kawannya itu. Sedangkan saya
yang ‘hanya’ sebagai seorang pemirsa pun rasanya prihatin sekali. Masya Allah, kok bisa terjadi lagi sih
yang seperti ini? Sampai-sampai tebersit sebaris tanya di dalam benak sebenarnya
bagaimana seharusnya cara mencegah dan menanggulangi tawuran
ini?
Sesaat pikiran saya pun melayang jauh
menembus ruang memori sejarak sekitar 18 tahun ke belakang jauhnya….
Saya menghabiskan sebagian besar waktu
menjalani jenjang pendidikan menengah terakhir, atau ketika itu namanya masih disebut
SMA, di sebuah kota nun jauh di Indonesia timur yaitu Ambon. Tepatnya dua tahun
saya mengenyam pendidikan di bangku SMA di sana. SMAN 1 Ambon nama sekolah saya
itu. Dari segi posisi, sekolah saya itu letaknya tepat berdampingan, hanya
terhalang pagar besi rendah saja sebagai pemisahnya, dengan sekolah menengah
atas lain. Adalah SMAN 2 Ambon, nama sekolah yang menjadi tetangga sangat dekat
dari sekolah saya itu.
Jika para murid beraktivitas di
lapangan masing-masing sekolah, kami sungguh bisa saling melihat satu sama lain.
Jika ada event di masing-masing sekolah, kami pun bisa saling mengintip dan
menonton. Bahkan jika di antara kami ada yang berteman lintas sekolah, tentu
saja melalui pagar yang rendah itu bisa sesaat saling bertemu di sela jam bebas
belajar.
Sejauh yang saya ingat, dengan kondisi
yang seterbuka itu Alhamdulillah
tidak pernah kemudian terjadi yang namanya persinggungan-persinggungan yang
tidak selayaknya. Apalagi tawuran hingga menyebabkan hilangnya nyawa.
Bercermin dari memori itu, saya jadi membatin keheranan, lantas
mengapa belakangan ini kejadian-kejadian memilukan berjudul tawuran anak
sekolahan menjadi marak? Maksud saya, membayangkan posisi SMA saya yang
berdempet bak kembar siam dengan sekolah lain itu, ketimbang sekolah-sekolah
yang dilaporkan melakukan tawuran akhir-akhir ini. Seharusnya potensi
konfliknya lebih besar, bukan? Atau mungkinkah itu berarti dalam hal ini
sesungguhnya posisi tidak ada hubungannya sama sekali dengan akan terjadi atau
tidaknya tawuran ya? Entahlah. Lalu apa sebenarnya penyebabnya?
Saya juga kemudian berusaha kembali
menyelami pikiran saya sendiri ketika berusia 16 – 17 tahun, masa-masa SMA itu.
Cukup heran karena sungguh saya tidak menemukan sedikitpun celah bagi sebuah
kata bernama tawuran terekam di sana. Terlintas pun tidak. Apakah karena saya
perempuan? Ah, tapi kan apa bedanya? Para wanita juga kadang suka tawuran,
tawuran rambut, jambak-jambakan, jarene.
Yang ada malah saya menemukan sebuah
kenangan bahwa pada satu waktu di masa SMA, saya justru pernah begitu
disibukkan dengan kegiatan penelitian tentang teripang bersama enam orang
sahabat saya. Penelitian yang cukup serius karena untuk mendapatkan data dan
nara sumber, kami sampai menyeberang pulau hingga ke Saparua. Bertujuh saja! Kalau
saya pikir-pikir lagi sekarang, saya kadang tak percaya kok saya berani
melakukannya ketika itu!
AHA! Mungkinkah itu masalahnya? Masa-masa
SMU sesungguhnya adalah soal darah muda, semangat belia, dan jiwa petualang
baru yang menggelegak menjadi satu mendesak memenuhi ubun-ubun. Dan olehnya itu
membuat para siswa di usia SMU, sadar atau tak sadar, harus melakukan sesuatu
demi melampiaskan itu semua. Nah, yang menjadi bahaya adalah ketika mereka
memilih jalur yang salah ketika hendak mengekspresikan semua letupan energi
tersebut. Kombinasi salah dan tak sadar, mungkin masih bisa dianggap wajar.
Namun, salah dan sadar, nah ini yang bahaya. Apalagi ketika konteksnya
berbentuk tawuran. Bisa-bisa nyawa taruhannya.
Maka dari itu justru di situlah
peranan kita sebagai orang yang lebih tua dari mereka untuk selalu membimbing,
mengarahkan sekaligus mengayomi. Peranan orang tua dan keluarga di rumah juga
peranan para guru di sekolah, semua harus saling bersinergi demi menjaga
mereka. Dan menjadi salah satu kunci yang cukup penting dalam upaya itu adalah rasa empati dan memahami
para siswa SMU ini, terutama soal psikisnya. Agar pada akhirnya kita bisa
menemukan langkah jitu untuk mencegah dan menanggulangi hal-hal yang tidak kita
inginkan untuk terjadi di antara mereka.
Saya tidak akan menyebut hal-hal
semacam meningkatkan keimanan dan ketakwaan dan semacamnya karena hal-hal
tersebut meski tak terucap pastinya sudah menjadi kesepakatan kita semua secara
otomatis. Namun sebagai sebuah saran praktis untuk mencegah dan menanggulangi tawuran, ijinkan saya untuk
mengungkapkan hal berikut ini :
Jadikanlah para siswa SMU ini
orang-orang yang selalu sibuk, kalau perlu berlakukan saja sistem jam sekolah
yang full day sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi siswa-siswi SMU untuk
hanyut dalam kebengongan. ‘Bebani’ mereka dengan jadwal masuk sekolah dari pagi
hingga sore ditambah lagi dengan tugas-tugas membuat paper, essay atau
laporan-laporan penelitian ilmiah, budaya, bahasa atau apa saja asalkan
berguna. Lalu beri mereka kesempatan untuk mempresentasekannya,
mempertanggungjawabkannya.
Bayangkanlah jika para siswa SMU
seluruh Indonesia disibukkan dengan kepadatan tugas sekolah seperti itu.
Bakalan tidak ada lagi kesempatan untuk memikirkan hal lain seperti tawuran. Namun
justru jangan heran jika malah nantinya akan tercipta jenius-jenius dan
inventor-inventor baru yang akan berkontribusi besar terhadap kemajuan negeri
ini.
Jadi ya begitulah ide sederhana saya
mengenai cara mencegah dan menanggulangi
tawuran ini. Mohon maaf jika ada yang tidak berkenan J
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes
Unggulan Indonesia Bersatu : Cara Mencegah dan Menanggulangi Tawuran
semangat buat kontesnya... ^_^
BalasHapusSetop kekerasan.. :)
Terima kasih atas partisipasi sahabat.
BalasHapusSalam hangat dari Surabaya
semoga tawuran antar pelajar bisa segera dihentikan ya mbak
BalasHapussukses buat ngontesnya mbak ^^
Esuer asik banget tuh penelitian teripang @.@
BalasHapusKalo SMAku dulu sebelahan sama SD, gak mungkin tawuran sama anak SD, hihihi...
Aku juga bingung kok ada yang suka tawuran ya @.@
Semoga inventor2 muda itu segera bermunculan ya...
BalasHapusKalau tawuran mulu, gak sempat berkarya deh jadinya...
bener juga dibuat sibuk tapi harus dipiloh kesibukannya yang tidak membosankan :)good luck ya
BalasHapusJadi, dengan kegiatan yang padat dalam proses belajar mengajar, maka kemungkinan untuk tawuran menjadi terjauhkan ya, Mbak Risa. Semoga ngontesnya sukses ya, Mbak.
BalasHapusmudah-mudahan budaya tawuran segera berakhir
BalasHapusSemoga nanti gak ada tawuran lagi ... begitu parah generasi negri ini
BalasHapussetuju, kesibukan dengan aktifitas positif akan mengalihkan kita dari hal2 negatif :)
BalasHapusMengenai menyibukkan anak2 SMA .. mirip dengan usulan saya di tulisan yang ikut kontes ini.
BalasHapusKita2 di Makassar cape ya kalo dengar kata :tawuran ... :|
SUkses ya Icha :)
Untuk setingkat Presiden memang diberikan satuan keamanan khusus yang bertugas melindunginya. Di Indonesia sendiri memang sudah ada UU atau payung hukum yang memberikan satuan pengamana khusus untuk mengawal atau menjaga keamanan kepala Negara.
BalasHapus