23.8.12

Ingin Awet Cantik Sampai Tua?


Saya ingin ketika saya tua nanti saya akan tetap cantik. Kawan blog jangan tertawa dulu. Bukan berarti saya merasa cantik. Atau bukan berarti saya merasa masih abege. Bukan… Hanya saja saya ingin seperti itulah yang akan terjadi kelak. Lagipula cantik itu nisbi, bukan?

Semua kepala memiliki mafhum khas untuk mendefinisikan arti cantik. Meski tak dapat dimungkiri bila sebagian orang saat ini mendeskripsikan makna cantik itu sebagai –p u t i h– . Tak percaya? Perhatikanlah beberapa fakta di sekeliling kita, misalnya saja tatkala seorang bayi perempuan lahir, kadang orang-orang di sekitarnya biasanya akan merasa lega dan bangga jika kulit si bayi putih. Atau fenomena krim pemutih wajah yang laku keras di kalangan kaum hawa. Krim pemutih merk A dengan formula ini, krim  pemutih merk Z dengan formula itu. Dengan rentang harga puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Bahkan terkadang saking terobsesinya seorang wanita untuk disebut cantik (baca : putih) mereka tak lagi peduli dengan komposisi yang terkandung dalam krim-krim tersebut. Yang penting sekali pakai wajah langsung kinclong sehingga mampu membuat posisinya dalam kehidupan sosial masyarakat menjadi lebih dihargai, lebih dipandang.

Sesungguhnya Tuhan telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Maka sebenarnya adalah wajar jika saya sebagai makhluk ciptaanNya merasa indah, ---meski mungkin kebanyakan orang tidak sependapat dengan saya---. Tak mengapa. Adalah hal positif menyugesti diri dengan pemahaman yang baik, menerima diri sendiri dengan penuh kesyukuran, bukan? Maka tiada yang salah jikalau seseorang merasa dirinya indah, benar?

Sekali lagi cantik itu relatif. Bagi sebagian orang predikat cantik bisa juga diartikan sebagai koreksi atas segala sesuatu yang dikaruniakan padanya. Dengan cara apa? Make up. Alis yang bak semut beriring dikerik-kerik. Bulu mata yang lurus dikeriting. Yang keriting diluruskan (memangnya ada?). Kelopak mata diberi bayangan. Pipi dipaksa merona sepanjang waktu. Bibir dilukis tipis. Padahal setiap orang sejatinya sudah cantik secara alami. Tengok saja wajah seorang bayi. Pipinya yang montok berseri. Bibirnya yang lembab merekah. Matanya yang jernih berpijar. Begitu cantiknya. Lucu. Semua orang pasti sepakat, tak terbantahkan.

Namun seiring bergulirnya waktu memang tak dapat dinafikan bahwa wajah perlu sesuatu untuk tetap membuatnya semenggemaskan bayi. Namun bukan berarti kemudian kita bisa melakukannya sesuka hati untuk mencapainya. Saya pribadi, seperti yang sudah saya katakan, ingin ketika tua kelak bisa tetap cantik. Untuk bisa mewujudkan keinginan itu salah satu usaha yang saya lakukan adalah ketika saya membutuhkan kosmetik untuk merawat maupun mendekorasi wajah, saya akan mencari kosmetik yang halal. Mengapa halal? Ya karena itu adalah sebuah prinsip hidup yang penting. Bukan begitu? Halal berarti dekat dengan berkahNya, dan juga berkaitan erat dengan ketenangan hati. Sehingga saya tak perlu ragu manakala menyapukan bedak ke wajah, mengulas pipi dengan blush-on, memolesi bibir dengan lipstik, mengoleskan body lotion ke kulit. Bahkan ketika menyemprotkan wewangian (secukupnya saja agar baunya tak menguar ke udara sekitar, karena saya wanita) saya tak perlu lagi khawatir akan membuat ibadah saya menjadi tidak sah. Hmmmm, banyak juga rupanya aneka kosmetik yang saya kenakan, ya? Untung saja halal… Untung saja ada Wardah. 

Padahal sampai usia saya menginjak kepala 3, sebelumnya saya tak pernah fanatik dengan sebuah merk kosmetik apapun. Bahkan nyatanya saya termasuk orang yang ‘tak butuh’ kosmetik. Saya bisa saja, misalnya, bepergian ke pusat perbelanjaan tanpa bedak maupun lipstik. Sungguh percaya diri yang agak salah kaprah. Namun itu adalah masa lalu. Meskipun berbicara mengenai masa lalu saya jadi teringat bahwa sesekali terkadang timbul perasaan semacam penyesalan dalam hati mengapa ketika saya menikah dulu saya belum kenal dengan kosmetik yang memiliki jaminan halal ini. Karena tata rias pengantin sejatinya justru sangat penting untuk diperhatikan kehalalannya, ya kan? Jangan gara-gara hasrat ingin tampil secantik mungkin di hari bahagia malah kita mengabaikan syariat dan menerima apa saja yang dilakukan oleh penata rias demi tampil cantik maksimal sebagai ratu sehari. Ah, setidaknya waktu itu saya berhasil menolak pinta sang penata rias untuk mengotak-atik alis saya…

Namun apapun ceritanya masa itu sudah lewat. Sejak setahun yang lalu, akhirnya, dengan mantap saya memilih Wardah sebagai amunisi saya untuk merias wajah. Sebuah merk yang merepresentasikan produk kosmetik berkualitas milik anak bangsa dan yang terpenting dijamin halal! Semoga menjadi berkah untuk kita semua. J

18.8.12

Aku cinta Indonesia! Kamu?


Seperti yang pernah saya nyatakan dalam pembukaan tulisan saya tentang batik, saya katakan bahwa saya merasa beruntung terlahir di lingkup negeri indah penuh berkah melimpah bernama Indonesia. Bukan berarti saya antipati dengan negeri-negeri di belahan dunia yang lain, hanya saja … ah, entahlah, aku cinta saja dengan negeri ini… dengan segala ke-BHINEKA-annya tentu saja. Dari mulai keragaman suku bangsa, bahasa, kebudayaan dan lain sebagainya.

Manakala sebuah negeri pernah dijajah oleh negeri lain, biasanya ia akan memiliki hari merdeka. Pun demikian halnya dengan Indonesia ini. Adalah 17 Agustus, sebuah hari yang tampaknya akan selalu dikenang sepanjang negeri ini berdiri. Meski hingga detik ini sebagian orang akan mempertanyakan, “yakin sudah ‘merdeka’?”

Okey, cukup! Bukan itu yang ingin saya bahas. Saya membuat tulisan ini karena tiba-tiba saja saya terpikir, mengapa perayaan hari kemerdekaan Indonesia itu identik dengan perlombaan semacam lari karung, makan kerupuk, balap kelereng, sepakbola lelaki memakai rok, dan aneka permainan ‘aneh’ semacam itu? Aneh saya bilang karena terkadang orang dewasa pun bersedia melibatkan diri di dalamnya.

Saya bukan hendak mengkritik tradisi (hey, tradisikah ini?) karena sewaktu saya kecil saya sungguh menikmati perayaan seperti ini. Ramai-ramai di lapangan. Bersenang-senang. Karnaval. Hmmm … Namun semakin dewasa (untuk tidak menyebut tua) perasaan itu rupanya semakin sirna. Lagipula tradisi itu (sekali lagi saya mempertanyakan, tradisikah itu?) kian hari kian pudar. Apalagi ketika 17 Agustus bertepatan dengan bulan Ramadhan, seperti ketika pertama kali diproklamirkan. Sepertinya orang-orang lebih memilih memikirkan takjil ketimbang makan kelereng eh balap kerupuk eh? :D

Okey, cukup (lagi)! Saya bukan bermaksud mengkritik tradisi (lagi). Eh, tradisikah ini? Hanya saja, saya merasa ada sesuatu yang kurang pas. Kalau memang harus ada perayaan baiknya bagaimana sih? Apakah yang selama ini sering kita lakukan hingga menjadi sangat identik dengannya ini, sudah tepat? Bagaimana kalau begini : adakanlah lomba desain dan rancang teknologi pesawat terbang, jangan muluk-muluk dengan kriteria yang setara jumbo jet, setara CN-235 dan N-250 dululah. Dengan batas umur peserta antara 17 – 25 tahun, tidak lebih dari itu. Bukan apa, selain tujuannya ingin menguji dan mengasah para pemuda harapan bangsa, jangan sampai jika tak dibatasi usia nanti Pak Habibie turut serta! 

sumber gambar : blog unique
                                      
Atau mungkin adakanlah lomba rancang tata kota yang aman, nyaman, sejahtera, bebas macet, bebas banjir. Atau lomba tata negara yang bebas korupsi, adil dan makmur. Atau lomba strategi jitu pembebasan harta kekayaan alam Indonesia. Pasti akan sangat menarik, bukan? Apalagi jika hadiahnya fantastis, katakanlah memperebutkan uang sejumlah 7 miliyar (kenapa 7 M? Karena menurut nara sumber sebuah perbincangan di televisi swasta, perayaan kemerdekaan di istana alokasi dananya sekian, katanya lho ya, hehehe)! Wuuiihh kalau generasi muda ditantang seperti itu kira-kira akan membawa dampak positif tidak, ya, untuk kemajuan negeri ini?

Baiklah, sebelum saya menuai ucapan –huuuu-- dari kawan semua ijinkanlah saya ngaciiirrr sambil menjinjing bakiak. Satu, dua, satu, dua, kiri, kanan, kiri ……

Ah, aku cinta Indonesia! Kamu?

9.8.12

Idul Fitri dan Ke-baru-an


Sudah menjadi sebuah hal yang jamak diperbincangkan manakala hari raya telah kian mendekat ; tentang hakikat fitri. Bahwa kita semua akan kembali menuju fitrah, bersih kembali seperti selembar kertas putih. Kurang lebih seperti itulah ingatan yang melekat kuat dalam memori saya dari segala ceramah mengenai hari raya, akan hakikat fitri.

Lantas seperti apakah seharusnya kita memaknai hari raya? Kembali menjadi seumpama seorang manusia baru? Baru. B A R U.

Menarik bagi saya untuk menelusuri kembali bilah-bilah memori yang tersimpan dalam bilik otak, tentang makna –baru– terkait hari raya, pada masa kecil saya. Bagi saya ketika itu, baru, benar-benar bermakna harfiah sebagai sesuatu yang fresh from the store. Baju, sepatu, aksesoris, pokoknya dari ujung kepala hingga ujung kaki, semuanya baru. Yah, apa mau dikata, tradisi yang melingkupi saya ketika kecil memang adanya seperti itu. Dan saya kecil pun tentunya senang-senang saja turut terlibat di dalamnya.

Lalu bagaimana dengan kondisi sekarang ketika saya telah berada sekitar dua dekade dari masa kecil? Masihkah seperti itu? Jujur saja, saya tidak bisa mengatakan tidak. Pun tidak bisa seratus persen bilang iya. Namun hasrat memaknai –baru– bagi saya pribadi dan yang saya tularkan kepada kedua belahan jiwa saya, tidak sebesar dengan apa yang saya rasakan ketika saya kecil. Bukan lagi –baru– yang sekadar semacam itu lagi. Lebih kepada perayaan kemenangan. Yang berarti hal-hal –baru– semacam baju, alas kaki, aksesoris dan semacamnya sudah tidak menjadi hal yang mutlak untuk diada-adakan. Bukan karena tak sanggup, tapi kalau memang tak perlu ya tak usah.

Namun dengan adanya paradigma seperti itu bukan berarti saya tidak senang mengamati keramaian yang terjadi di sekitar saya. Saya masih tetap saja hang-out ke pusat perbelanjaan favorit meski saya tahu bahwa di sana penuh pengunjung. Saya suka merasakan euforianya. Menyaksikan orang-orang berbondong-bondong memenuhi pusat perbelanjaan, berburu apa saja yang mereka inginkan. Membuat antrian kasir mengular. Membuat musholla mall semakin penuh sesak. Membuat saya bergumam dalam hati, “Ini orang-orang pada ngapain sih di mall, rame amat!” padahal terlepas dari apapun tujuannya, saya sendiri ikut meramaikan di dalamnya. Haha..

Ada satu hal yang juga menarik tentang makna –baru– di hari raya ini. selain perlengkapan head to toe, saya mendengar selentingan bahwa sebagian orang menginginkan kata –baru– itu juga melingkupi perabot rumahnya. Awalnya saya kurang percaya namun ketika saya menyaksikan sendiri bahwa toko-toko meubel, toko perlengkapan rumah tangga juga penuh pengunjung dan barang-barangnya ludes secara signifikan diborong pembeli, wah saya baru yakin bahwa kabar tersebut rupanya memang benar adanya.

Hmmm, sungguh sangat afdhol rupanya –baru–nya J

Nah, kawan, bagaimana dengan hari rayamu? Bagaimanapun itu, saya harap semua orang berbahagia di hari raya dan yang terpenting semoga semua ibadah kita bernilai pahala di hadapanNya.