Cita-cita adalah satu hal yang selalu
menarik untuk dibincang. Tanyakanlah kepada anak-anak tentangnya, kita akan
memperoleh beragam jawaban dari mereka. Mulai dari jawaban klasik : ingin jadi
presiden, dokter, pilot, polisi, atau tentara. Hingga jawaban tak terduga
seperti ingin memiliki butik, jadi pengusaha truk, dan semacamnya. Mengertikah
anak-anak itu ketika ditanyakan apa cita-citanya? Jika yang ditanya adalah anak
seumuran taman kanak-kanak, besar kemungkinan mereka hanya 'asal sebut' saja.
Tapi kenapa mereka bisa ‘asal sebut’ seperti itu?
Anak adalah ibarat sebuah layar
kosong, apapun yang hendak kita ketikkan di sana maka itulah yang akan terekam,
sebagai memori pertama. Seorang anak kecil yang ketika ditanya cita-cita
spontan menjawab 'ingin jadi dokter' misalnya, sedikit banyak pasti telah
tercekoki dengan informasi menakjubkan seputar profesi dokter terutama dari
orang-orang terdekat di sekelilingnya. Sejak ia mampu mencerna informasi, cita-cita
inilah yang terpatri ke dalam alam bawah sadarnya sehingga ketika tergali, hal
tersebutlah yang akan muncul ke permukaan lalu tercetus.
Tak dapat dipungkiri, ada
kecenderungan dari seorang anak untuk mengikuti pola yang ditetapkan oleh orang
dewasa di sekitarnya. Pola yang tanpa disadari akan menelusup secara halus dan
mengendap hingga menjadi jalur permanen yang akan diikuti sampai menuju tahap
kedewasaan. Seorang anak yang besar di lingkungan ‘kamu keren jika besar nanti mengenakan seragam dan digaji’, sedikit
banyak akan memakai pola pikir tersebut dalam mengejar jati dirinya kelak.
Demikian pula seorang anak yang besar dalam paradigma ‘menggaji itu jauh lebih baik daripada digaji’, tentu akan memilih
jalan yang berbeda dalam rangka meraih cita-cita.
Memang, kedua paradigma tersebut tidak
otomatis berarti yang satu lebih baik daripada yang lainnya. Namun merujuk
fakta bahwa betapa masih lebih rendahnya jumlah wirausahawan di Indonesia
ketimbang negara-negara lain, sebut saja Amerika Serikat yang mencapai 12%
sementara di negara kita bahkan 2% pun tak sampai, maka tentu ada sesuatu yang
mestinya segera dibenahi. Apalagi mengingat negara-negara yang prosentase
wirausahawannya tinggi itu justru berstatus sebagai negara-negara maju. Juga menengarai
kecenderungan merosotnya nilai ekspor Indonesia ketimbang impornya. Demikian
pula dengan kenyataan meningkatnya jumlah pencari kerja berijazah tinggi, seharusnya
semakin meyakinkan kita semua bahwa ada yang salah dengan pola pikir kita
selama ini. Pola pikir yang mendiskreditkan profesi wirausaha sehingga tanpa
terasa mengerdilkan tumbuhnya jiwa wirausaha itu sendiri terutama di kalangan
anak muda.
Jadi, apa yang perlu dilakukan untuk
menumbuhkan jiwa-jiwa wirausaha sedari dini?
1.
Revolusi
paradigma
Sudah
saatnya memilih cita-cita, yang sudah menjadi rahasia umum bahwa muara
sesungguhnya adalah soal pendapatan, uang, rezeki, diubah paradigmanya menjadi
kemandirian. Alih-alih mengarahkan anak muda kita untuk sekadar menjadi bidak jika
ingin hidup enak, alangkah baiknya jika kita memastikan mereka memiliki mental penggerak
yang siap untuk menggaji, berwirausaha. Bukan berarti seseorang tak perlu lagi
bergelar dokter atau professor atau mekanik atau lainnya, tidak. Namun di atas
segala predikat, apapun itu, semangat wirausaha harus terus dipupuk sehingga
kelak dalam karya nyatanya mereka dapat mandiri, mengelola usaha sendiri.
Seorang
professor yang berwirausaha, seorang saintis yang berbisnis, tentu akan sangat
mengagumkan. Seperti halnya sang penemu bola lampu, Thomas Alfa Edison. Jarang
dikemukakan mengenai kenyataan bahwa selain seorang penemu, beliau pun
sesungguhnya adalah seorang wirausahawan sejati!
2.
Filosofi
Wirausaha
Gagal
itu biasa, sukses itu risiko. Dunia wirausaha yang sejati sesungguhnya bukanlah
sesuatu yang instan. Ibarat tumbuhan, ada tahapan yang harus dilalui sebelum
sekeping biji tumbuh menjadi sebatang pohon raksasa yang akarnya menancap kokoh
menghunjam bumi dan sanggup menahan terpaan angin badai sekalipun. Hal inilah
yang harus dicamkan kepada anak-anak muda sedari dini agar tunas itu kelak bisa
sempurna bersemi.
Pengenalan
akan bagaimana sesungguhnya dunia wirausaha dapat dilakukan secara sederhana
bahkan sejak anak berusia TK. Membawa mereka mengunjungi pasar tradisional
untuk menunjukkan proses transaksi, penjual, pembeli, pangsa pasar, untung,
rugi, dan hal-hal mendasar lainnya bisa menjadi pilihan untuk dilakukan. Ketika
telah meningkat jenjangnya, usia SD/SMP, pengenalan lanjutan mengenai wirausaha
seperti mentradisikan Hari Pasar di sekolah bisa dilakukan. Sementara ketika
generasi muda telah mencapai bangku pendidikan dasar tertinggi, alangkah
baiknya jika mereka mulai diasah untuk terjung langsung memulai wirausaha
sederhana. Dengan mendidik anak secara berkesinambungan seperti ini, yang
tentunya akan sangat membutuhkan kerjasama dari semua pihak; orang tua,
sekolah, dan pemerintah, akan menstimulasi jiwa wirausaha yang ada di dalam
diri generasi muda bangsa.
3.
Etika
Wirausaha
Salah
satu permasalahan yang seringkali merusak suatu tatanan kehidupan adalah
hilangnya kepatuhan akan etika. Pun demikian dengan kehidupan wirausaha. Ketika
kita mengajarkan generasi muda mengenai dunia wirausaha, etika, harus
dipastikan termasuk dalam paketnya. Adalah satu hal yang sangat krusial untuk
memastikan bahwa mereka memahami rambu-rambu etika wirausaha. Meski kegiatan
wirausaha bertujuan untuk meraup keuntungan, namun etika harus tetap dijunjung
tinggi. Menghalalkan segala cara, menyogok, meyuap, menipu, berlaku curang, sikut
sana sikut sini seenaknya, mengorbankan ekosistem lingkungan demi kepentingan
bisnis, adalah beberapa contoh etika yang wajib diajarkan kepada generasi muda
agar tidak dilakukan.
4.
Be
A Best Supporter Not A Dream Killer
Seringkali
terjadi ketika seorang anak muda mendapat pencerahan di luar settingan
paradigma masa kecilnya dan memutuskan untuk menempuh jalur usaha sebagai jalan
rezekinya, kita sebagai orang-orang terdekat yang berada di sekelilingnya
justru dicekam kekhawatiran. Bahkan saking akutnya kekhawatiran yang tak
berdasar itu, tanpa sadar kita justru pada akhirnya menjadi seorang ‘pembunuh
impian’ mereka. Bagaimana nanti kalau begini, bagaimana nanti kalau begitu,
adalah contoh kalimat-kalimat sakti pembunuh mimpi. Seolah kita lupa bahwa
hakikatnya segala sesuatu di dunia butuh proses. Sesuatu yang instan justru
adalah rentan. Sehingga alih-alih memperoleh dukungan yang sesungguhnya sangat
diperlukan untuk maju dan berkembang, anak muda malah kehilangan semangat
berwirausaha dan memilih kembali pada paradigma klasik, yang belum tentu juga
akan membuat hidupnya lebih baik.
Jadi, siapkah kita menyongsong era
baru generasi muda dengan semangat wirausaha? Semoga dengan semakin
tercerahkannya jiwa-jiwa muda itu mengenai urgensi wirausaha, akan berbanding
lurus dengan kemajuan negeri tercinta Indonesia ini.
(Tulisan ini pernah diikutkan dalam
lomba menulis wirausaha oleh Indonesia Menulis)
semoga aku bisa mendidik anak-anakku berjiwa wirsausaha,aamiin
BalasHapusnice note :-)
aamiin ... aku juga, semoga kuat mendidik mereka :)
Hapussy keluarga wirausaha.. tp ya ga mengharuskan anak2 sama dgn kami, lihat dulu bakat dan minat mereka kemana.. sebisanya dukung dan mengantarnya.. amiiin :)
BalasHapusnice sharing mba risa, anak-anak diajarkan untuk berwirausaha jadi ingat tayangan di kick andy ada beberapa anak yg umurnya masih 10 tahun sudah bisa berwirausaha, salut
BalasHapusiya, mba .. seneng ya kalau lihat kisah2 seperti itu :)
HapusDikenalkan usaha dari sejak dini ya semoga besar kelak menjadi pengusaha
BalasHapusaamiin :)
HapusKeluarga saya wirausaha, sayangnya Ayah saya tidak menurunkannya ke anak perempuan hanya anak lelaki yang diberi skill pengrajin emas. Akhirnya, justru anak lelaki malah milih jadi pegawai negeri dan akhirnya bisnis tidak ada yang meneruskan.
BalasHapusTapi kalo ditanya cita-cita saya sebetulnya apa, jawabannya...cita-citaku ingin jadi turis hehehehheheheh
saya juga mau jadi turis, mbaaa :D
Hapusjadi dokter...
BalasHapusjawaban yang universal kayaknya untuk anak indonesia
belum pernah sih denger anak jawab pengen dagang...
mangkanya, mas hehe
HapusSaya karyawan perusahaan, sudah sering pindah beberapa kali perusahaan dan yang paling menenangkan adalah WIRAUSAHA. Ini blog ku http://clariasfarm.blogspot.com follow ya. thx
BalasHapusAnak2 saya klo ditanya cita2 enggak mau jadi dokter...soalnya ,sekolahnya lamaaaa banget katanya...terus sering pergi2 aja..tiba2 ditelepon harus ke rumah sakit..karena ibunya dokter jadi tau jadi dokter seperti apa
BalasHapus