Selusin gelas-belimbing kopi telah
tersaji di meja, ketika bahkan mentari pun belum sempurna bertahta di
cakrawala. Uap panasnya menguar, mengharumi udara di dalam rumah tua berlantai
tanah, berdinding gedek bambu. Rumah simbahku, di desa Gandrung Mangu.
sumber gambar notes.urbanesia.com |
Entah kopi apa yang diseduhnya, aku
tidak terlalu tahu. Atau tepatnya tidak memperhatikan. Umurku belum lagi
menginjak 12 tahun kala itu, mana aku peduli. Yang aku tahu, larutan hitam yang
mengisi gelas-gelas itu rasanya manis, sedap, sanggup mengalahkan rasa payau
air di sumur simbah dengan telak. Yang aku tahu, kalau suhu cafein cair itu
masih terlampau panas, simbah akan menuangnya sedikit demi sedikit di lepek
kecil agar aku bisa menyeruputnya perlahan. Slruuuppp... ahhh, segar! Apalagi
padanan ritual meneguk kopi di pagi hari itu adalah sepiring nasi goreng
racikannya yang dimasak di atas tungku kayu. Nikmatnya mengendap sampai ke
hati...
*Mengenang alm. simbah-simbah Gandrung Mangu-ku
lepek kecil itu semacam piring kecil untuk alas gelas ya?
BalasHapusdaerah gandrungmangu memang cenderung jelek airnya. soalnya dari mulai sidareja sampai kawunganten memang dulunya rawa rawa.
BalasHapuskapan pulang ke sana lagi..?
gandrung mangu yang dimaksud mbak risa apakah gandrungmangu di kab cilacap ?
BalasHapusterimakash informasinya semoga makin sukses. . ,
BalasHapus