Pertama kalinya saya nonton film
keluaran tahun 2011 ini, durasinya sudah nyaris di pertengahan. Biasanya meski
tidak dari awal, sebuah film mudah-mudah dan asyik-asyik saja untuk diikuti.
Tapi tidak dengan ‘In Time’ ini. Saya bingung. Untungnya keesokan harinya film
tersebut diputar lagi. Dan nontonlah saya dari awal. Lalu saya terpana.
Wuaahhh! Secara orisinalitas ide, film ini patut diacungi jempol. Atau
setidaknya demikianlah menurut saya yang referensi tontonannya tidak seberapa.
Entahlah jika sebelum-sebelumnya ternyata sudah ada film yang idenya serupa
dengan ‘In Time’ ini.
Pernah denger, kan, kalimat ‘Time is
Money’? Nah, andai kisah film ini hanya boleh dipremiskan dalam tiga kata ya
kalimat itulah yang menurut saya paling tepat merepresentasikannya. Waktu
adalah uang. Dalam makna denotasi.
dapet gambar dari : http://godfilmandmen.blogspot.com/2012/03/reactions-to-watching-in-time.html |
Jadi ceritanya di masa depan, perubahan
fisik manusia akan terhenti pada usia 25 tahun. Mereka tak akan menua. Namun
mulai usia tersebut semacam jam digital yang terpasang permanen di balik kulit
setiap orang akan diaktifkan. Efeknya, jatah waktu (hidup) seseorang hanya
tinggal seperti yang tertera di lengannya itu! Hingga ketika penunjukkan
waktunya 00:00:00 ya sudah, time is up! Mati! Maka di sinilah tema besar dari
film ‘In Time’ ini. Perjuangan para manusia yang berusia 25 tahun itu demi
waktu. Tak ada yang ingin waktunya berhenti dan menunjukkan angka nol. Semua
ingin hidup selamanya.
Maka waktu pun menjadi segalanya.
Waktu menjadi prioritas utama yang dikejar oleh semua orang. Bahkan waktu pun
menjadi alat transaksi. Time is money. Mereka naik bis bayarnya pakai waktu.
Mereka membeli kopi bayarnya pakai waktu. Mereka bekerja dengan digaji waktu.
Ada manusia-manusia jahat yang kerjanya mencuri waktu. Iya, mencuri waktu dalam
arti sebenarnya. Menyedot waktu yang ada pada seseorang hingga nol agar
miliknya sendiri bertambah. Bahkan aktivitas bank pun orientasinya adalah
waktu, simpan pinjam waktu! Well, saya benar-benar melongo menikmati film ini.
Idenya gila tapi dipikir-pikir ya masuk akal juga, edan tenanan hehehe.
Lalu dimana konfliknya? Adalah seorang
pemuda bernama Will Salas yang hidup di wilayah kelas rendah, populasi miskin
waktu. Dia dikisahkan bekerja sebagai seorang buruh yang harus pontang-panting
demi kelangsungan denyut waktu di lengannya. Selain itu juga demi menyokong
waktu sang ibu. Satu hal yang juga lucu di sini adalah, meski namanya ibu dan
anak, namun dari segi fisik mereka setara, sama-sama menawan. Kan ceritanya
perubahan fisiknya berhenti pada usia 25 tahun, ingat? Jadi yang namanya ayah,
ibu, anak, kakek, nenek, fisiknya semua muda. Begitu. Nah karena ceritanya Will
dan ibunya ini bernasib miskin waktu, maka mereka benar-benar harus saling
support. Apalagi sang ibu yang waktunya hanya tinggal beberapa jam saja. Nah,
tentang Will dan ibunya ini ada adegan yang sungguh sangat mengharukan lho!
Apakah itu? Tonton sendiri aja ya…
Kembali ke soal konflik utama. Pada
satu kesempatan, Will Salas menerima rezeki nomplok dari seseorang yang berasal
dari wilayah kelas atas, populasi kaya waktu. Si waktuwan (karena hartanya
berupa waktu hihi) ini ceritanya bosan hidup dalam keabadian yang tiada
habisnya. Ironis ya, ketika dia memiliki keabadian ternyata yang dirindukannya
justru ketidakabadian itu sendiri. Jadi singkat cerita dia menghibahkan seluruh
waktunya yang berjumlah ratusan tahun kepada Will. Dia hanya menyisakan
beberapa menit terakhir saja untuk menikmati pagi sebelum akhirnya mati.
Maka yang tadinya Will Salas ini
adalah pemuda kere waktu, sekarang dia naik kelas menjadi seorang waktuwan yang
kaya raya. Dan karena muak dengan perbedaan status sosial dan pembagian wilayah
antara si kaya dan si miskin waktu, meneroboslah si Will ini ke Zona Greenwich.
Niatnya sih untuk membuat perubahan, agar nantinya orang-orang di wilayah di
mana dia berasal pun bisa menikmati waktu senyaman seperti di Zona Greenwich.
Nah, alih-alih hidup senang di wilayah
kaya waktu itu, Will malah jadi buronan Timekeeper gara-gara hibah waktu yang
pernah diterimanya itu. Selain itu Will bertemu dengan seorang gadis cantik
jelita anak pengusaha kaya. Pengusaha yang memiliki kerajaan bisnis waktu, yang
harta waktunya diincar oleh Will. Lalu Will Salas dan Sylvia Weis, nama gadis
itu, bisa ditebak, saling jatuh cinta. Konflik pun semakin meruncing. Perbedaan
status sosial, jadi buronan, diincar perampok waktu, berjuang demi keadilan waktu kehidupan bagi
seluruh manusia …
Well, mengingat ide uniknya (dan
orisinil?) tadi soal waktu, film ini layaklah ditonton. Membuat sesuatu yang
jelas-jelas nggak masuk akal menjadi terasa acceptable dan enjoyable hehe.
Eh, dan belakangan saya baru tahu
bahwa ternyata si pemeran Will Salas itu rupanya Justin Timberlake. Oalah… ini
tho rupanya yang bernama Justin Timberlake! :D
Pssst,
mudah-mudahan review ini tidak membingungkan :D
aku belum nonton nih, tapi kalau lihat dari posternya aku langsung engenali itu justin :) ceweknya mirip shanen ya?
BalasHapusAku penasaraaan sama film In Time...
BalasHapusUdah beberapa kali baca reviunya T.T
aku dah pernah nonton tapi baru kali ini baca reviewnya
BalasHapus*mumet nonton gambar doang ga ada teksnya
adegan soal keuangan ya, "time is money" hehehe
BalasHapusvertical blind jakarta
in time kece emang filmnya. Gw cinta.
BalasHapus