Kisik Sanubari
Kartini
Oleh : Niki
Rissa
Saffa tercenung di depan
layar laptop yang bergeming menampilkan screensaver
berupa foto seorang bocah kecil yang sedang tersenyum manis memamerkan deretan
gigi-depan-hitam-nya yang tongos, keropos terkikis aneka permen dan coklat. Sepasang
kuncir berpita biru terusi menghiasi sisi kiri dan kanan kepalanya, menjulang
bak air mancur di taman. Pipinya tembam bersemu kemerahan, tersenyum lebar
hingga matanya nyaris menyipit.
“Ahhh,” terdengar suara
helaan napas yang panjang dari perempuan yang berumur sekitar awal 30-an itu. Saffa.
Seorang manajer bergaji bulanan dua digit di sebuah perusahaan telekomunikasi
bonafid. Baru tiga bulan ia menduduki jabatan itu setelah hampir sekitar 10
tahun bekerja di perusahaan tersebut. Pencapaian karir tertinggi baginya hingga
saat ini.
Saffa masih tetap
tercenung di depan layar. Adalah Aini, nama bocah kecil menggemaskan itu, putri
semata wayangnya, yang kali ini aneka pose dan ekspresinya sedang ditampilkan
secara dinamis oleh aplikasi screensaver,
berganti-ganti.
Kembali Saffa menghela
napas. Berat. Sedetik kemudian dering pesan dari smartphone-nya berbunyi.
SEGERA
dimulai, Bu!
Singkat, padat, sedikit
mengintimidasi. Sebuah pesan singkat dari salah satu senior manajernya yang
mengingatkan bahwa rapat akan segera dimulai. Tanpa menunggu lama Saffa
bergegas menutup layar laptop ---membuat gambar gadis kecil itu lenyap--- lalu
memasukkannya ke dalam tas jinjing. Ia pun berlalu meninggalkan ruangannya.
***
“Bik! Aini sudah tidur?” Saffa
setengah berteriak memanggil Bik Karsih, asisten rumah tangga merangkap
pengasuh Aini. Ketika itu waktu telah menunjukkan pukul 10 malam dan Saffa baru
saja tiba di rumah. Sepi. Seolah dengan tegas menjawab pertanyaannya barusan.
Bik Karsih datang dengan tergopoh-gopoh dari kamar Aini.
“Nona sudah tidur, Bu.
Setengah jam yang lalu. Tadinya dia ngeyel mau tunggu Ibu pulang dulu. Tapi
akhirnya ketiduran tak kuat menahan kantuk. Mungkin juga gara-gara pengaruh
obat, Bu. Soalnya badannya masih hangat tadi.” Bik Karsih menerangkan pada
Saffa dengan raut wajah yang terlihat prihatin. Entah mengasihani siapa, Saffa,
Aini atau keduanya?
Dengan langkah gontai Saffa
berjalan menuju kamar Aini. Ia menghampiri tubuh mungil yang telah larut dalam buaian
mimpi itu. Tampak tangan mungilnya memeluk boneka kelinci besar magenta kesayangannya.
Wajahnya begitu manis, polos dan damai. Tanpa terasa butiran hangat merayap
perlahan turun dari kedua pelupuk mata Saffa.
“Maafkan mama, Aini.”
Saffa mengecup kening Aini. Hangat. Benar kata Bik Karsih, suhu badannya belum
normal sebagai manifestasi imunitas tubuhnya melawan flu yang menyerangnya tiga
hari ini. Aini bergerak mengubah posisi tidurnya, jari-jari mungilnya
menggapai-gapai seperti mencari pegangan. Saffa menyodorkan telapak tangannya
yang langsung digenggam erat oleh bocah cilik berumur lima tahun itu, dalam
tidurnya.
Saffa tak tega melepaskan
genggaman tangan mungil Aini. Seolah untuk menebus rasa bersalahnya Saffa
kemudian beringsut dan duduk berlutut di tepi tempat tidur Aini agar jalinan
jemari ibu dan anak itu tak perlu terberai.
Saffa sudah nyaris
terlelap dalam posisi itu ketika ia dikagetkan oleh dering smartphone-nya. Perlahan ia melepaskan jalinan jemari Aini lalu
berjingkat menuju tas jinjingnya. Rupanya panggilan dari Rayhan, suaminya.
“Halo,” Rayhan berkata dari ujung sinyal
telepon. “Mama belum tidur?”
“Belum, Pa.” Suara Saffa
terdegar sangat sendu.
“Kenapa,
Ma? Aini baik-baik saja, kan?”
“Iya, panasnya sudah mulai
normal, Pa.”
“Lalu
kenapa suara Mama sepertinya sedih begitu?”
Saffa menghela napas.
“Mama bingung, Pa. Kalau melihat Aini seperti ini rasanya…” Saffa menghentikan
kalimatnya, kembali menghela napas, “Entahlah, Pa. Tiap hari hampir seumur
hidupnya Mama sudah harus meninggalkannya pagi-pagi sekali agar tehindar
kemacetan. Sementara ketika Mama pulang dia pasti sudah terlelap. Sulit untuk
pulang cepat seperti sebelumnya mengingat tanggung jawab Mama sekarang ini.”
“Papa
kan sudah menyarankan dari kemarin-kemarin. Resign saja, Ma. Demi Aini.
Tidakkah Mama ingat perjuangan kita selama empat tahun untuk mendapatkannya?
Mengapa justru setelah dia ada kita malah menyia-nyiakan kehadirannya?” Rayhan berhenti sejenak. Saffa tak
mengeluarkan sepatah kata bantahan apapun. Batinnya mulai bergolak.
“Papa
masih sanggup menopang nafkah keluarga kita, Ma. Bisnis Papa semakin berkembang,
tak bisa lagi seperti dulu ditangani dari rumah saja sehingga bisa sering
sambil menemani Aini, menggantikan kehadiranmu. Ini saja Papa tak bisa tinggalkan
pekerjaan di luar kota untuk bisa segera bersama kalian di sana. Bila Mama
resign sekalipun tak perlu khawatir akan kehilangan kesibukan. Kita akan
bersama mengelola bisnis ini dengan bonus waktu yang lebih banyak bagi Aini.” Saffa masih bergeming. Raihan kembali
terdiam sejenak untuk kemudian menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Papa sangat mengerti perasaanmu. Tapi
cobalah taklukan egomu, Ma. Demi Aini!”
Percakapan itu pun
berakhir. Saffa tenggelam dalam bimbang. Ego. Ia terngiang kata-kata suaminya
barusan. Membuatnya mempertanyakan kembali apa sesungguhnya motivasi dirinya
bekerja keras seperti saat ini? Sekadar demi memuaskan egonya saja kah? Bahwa
seorang lulusan magister tanpa karir, hanya menjadi ibu rumah tangga, apa kata
kawan-kawannya nanti? Mana semangat emansipasi yang selama masa kuliah selalu
digembar-gemborkannya? Bahwa wanita pun memiliki hak yang sama dengan kaum
lelaki dalam segala hal, bahkan menurutnya bisa lebih! Bahwa seorang Saffa
bertekad akan membuktikannya. Dan hal itu telah tercapai kini karena kenyataannya
diantara seluruh kawan seangkatannya ketika kuliah, Saffa adalah sebuah contoh
kesuksesan, jenjang karir yang melesat yang berhasil ia buktikan seperti
ikrarnya untuk bisa melebihi kaum lelaki. Entah sejak kapan tepatnya paradigma
ini merasuki pikiran Saffa. Karena bahkan ketika ia menikahi Rayhan, salah satu
syarat yang diajukan Saffa adalah jangan melarangnya untuk berkarir.
Namun segalanya menjadi
berbeda ketika Aini hadir dalam kehidupannya. Keberadaannya membuat Saffa
gamang dengan prinsip emansipasinya selama ini. Aini kecil sangat menggoncang
naluri fitrahnya sebagai seorang wanita, seorang ibu.
Saffa mengerjap-ngerjapkan
mata. Penerangan cahaya dalam ruangan ini tiba-tiba lindap. Ia memicing untuk
memastikan bahwa matanya tak salah melihat. Lampu kristal yang menempel di
dinding berubah menjadi sebuah teplok yang memendarkan cahaya meliuk-liuk
mengikuti siulan angin. Lalu seorang wanita berkebaya tampak sedang duduk di
belakang meja. Wajahnya sedikit menunduk menghadap selembar kertas yang ada di
atas meja, sementara tangan kanannya asyik menggoreskan sebuah pena bulu angsa.
“Kkkau … siapa?” Saffa
tergagap mengajukan tanya.
Wanita berkebaya itu
menghentikan aktifitasnya lalu menoleh ke arah Saffa. Demi melihat wajahnya
Saffa terperanjat bukan kepalang! Wanita ayu berwajah bundar itu, dengan
sanggul menghiasi kepalanya, kebaya dan jarik membalut tubuhnya, wajahnya
persis seperti seraut wajah pada lukisan yang sering menghiasi dinding-dinding
sekolah. Pahlawan emansipasi! Kartini? Saffa menggelengkan kepalanya kuat-kuat,
tak memercayai penglihatannya.
“Tidakkah kau mengenaliku,
Saffa?” senyum yang selalu tampak menghiasi wajah ayunya tiba-tiba lenyap
berganti raut kesedihan. Ia kemudian beranjak menuju ke arah Saffa. “Kau dan
begitu banyak orang benar-benar salah mengartikan perjuanganku selama ini.
kalian menjadikanku panutan, emansipasi, namun kebablasan. Persis seperti
dirimu. Padahal bukan seperti itu yang kumaksudkan,” wanita ayu itu tampak
menarik napas dalam-dalam. “Padahal aku hanya ingin diperbolehkan mengecap
pendidikan seperti halnya kaum lelaki ketika itu. itu saja inti perjuanganku,”
ia berkata lirih.
“Mama … mama … bangun,
Ma!” sebuah suara mengagetkanku, menarikku keluar dari pusaran mimpi. Mimpi!
Aku tersadar masih dalam posisiku duduk berlutut di samping tempat tidur Aini.
Kulirik jam di dinding, pukul 05.30. Lalu kulihat seraut wajah sumringah di
hadapanku, tersenyum lebar hingga matanya tampak nyaris menghilang. Aini-ku!
“Mama tidak siap-siap ke
kantor?” kedua bola matanya menatapku lekat ketika Aini melontarkan pertanyaan
itu.
Saffa bangkit lalu
mengibas-ngibaskan kakinya yang agak keram. “Entahlah, Sayang. Mungkin Mama
akan cuti saja mulai hari ini supaya bisa sering bersama Aini. Bagaimana
menurutmu?”
Binar tampak menyala terang
di kedua mata jernih Aini. “Asyiikkk … kalau begitu nanti Mama yang antar aku
ke sekolah ya!” Aini menghambur ke dalam pelukan Saffa. “Sekarang ayo kita
solat subuh dulu!”
Saffa terlonjak kaget
menyadari dirinya belum menunaikan kewajiban Subuh. Lalu ia beranjak mengikuti
langkah-langkah mungil Aini menuju kamar mandi. Senandung bahagia terdengar
dari bibir mungil Aini mengiringi sebuah keputusan besar yang telah diambil
Saffa pagi itu.
***Cerpen ini adalah cerpen kontributor dalam antologi "Kami (Tak Butuh) Kartini Indonesia". Diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jingga - 2012.
Salam kenal...
BalasHapusCerpennya bagus,mba...
Banyak sekali org, wanita terutama yg salah mengartikan ttg emansipasi, dan cerpen ini salah satu nya yg bisa membuka mata kita ttg emansipasi.
salam kenal kembali ... mba santi :)
Hapusharus jelas ya emansipasi itu seperti apa
BalasHapushehehe ..
Hapuseh cerpennya pas dibuat buku karena sudah sampai sebaris tuhh
Hapussebaris?
HapusCerpen2 bagus seperti ini sebaiknya dikirim ke majalah/koran nduk. Lumayan kan dapat uang pulsa.
BalasHapusSalam hangat dari Surabaya
Setuju ama komandan, siap tau malah bisa dibukukan, hehehe :D
Hapusini udah dibukukan, tapi rame2, antologi hehehe
Hapusskakmat buat para feminis yang bersenbunyi di balik emansipasi salh kaprah wanita masa kini. good job mba risa :)
BalasHapus