22.2.13

A Street Cat Named Bob : A Book by James Bowen


Judul : A Street Cat Named Bob
Penulis : James Bowen
Penerbit (terjemahan) : PT Serambi Ilmu Semesta
Tahun Terbit : 2012
Jumlah Halaman : 318 halaman
ISBN  : 978-979-024-393-4

Sinopsis

A Street Cat Named Bob adalah sebuah novelisasi kisah nyata. Kisah nyata mengenai kehidupan seorang pemuda bernama James Bowen bersama kucingnya, Bob. Bob masuk dalam kehidupan James ‘tanpa disengaja’. Tanpa diundang, pada suatu sore, tiba-tiba saja Bob, si kucing jantan berbulu jingga itu, tampak bergelung santai di atas salah satu keset di pondokan tempat James tinggal di wilayah London. Tadinya James ragu apakah ia hendak memelihara Bob atau tidak, mengingat ketidakjelasan identitas Bob, apakah ia kucing peliharaan yang kabur ataukah kucing jalanan biasa saja. Namun setelah berupaya mencari pemilik Bob –yang mana hasilnya semua nihil– dan juga memberi kebebasan pada  Bob –terserah apakah ia ingin tinggal atau pergi–, akhirnya secara resmi James memelihara Bob.

(Insert : Menarik menerjemahkan kata “resmi memelihara hewan” versi negeri Inggris ini. Di sana mereka bersedia repot-repot untuk membasmi kutu yang ada di badan si kucing secara medis, mengebirinya, serta menanam microchip yang berisi identitas si kucing. Sepertinya mudah saja menemukan klinik hewan beserta para petugasnya di sana untuk segala keperluan tersebut. Ahh … betapa sangat melegakannya, ya?)

Harus kuakui, Bob ini memang memesona.
Saya membeli buku ini awalnya juga karena  kepincut covernya hehehe

20.2.13

Pengalaman Pertama Diwawancara Wartawan


Ditanya-tanya oleh wartawan, eh apa istilahnya – wawancara– ya, meski melalui telepon, meski super singkat dan cukup noisy, maksudnya penerimaan sinyal suara agak-agak mengganggu di kuping, itu adalah sebuah pengalaman yang cukup ‘wah’ buat saya. Maklumlah, ini adalah pengalaman pertama diwawancara wartawan, first time, jadi sedikit norak-norak bergembira begitu (buktinya sampai saya buatkan postingan segala di sini hehehe).

Adalah Senin sore yang lalu, tiba-tiba hape saya berdering tanpa sempat saya angkat. Saya tilik rupanya dari nomor yang tidak saya kenal. Belum lagi pikiran saya menelaah lebih jauh, sebuah pesan singkat keburu masuk yang isinya, intinya, menyatakan bahwa yang barusan menghubungi adalah wartawan dari sebuah koran di Makassar. Beliau minta saya mengangkat teleponnya. Okey.

Tentu saja tidak ada asap kalau tak ada api. Bukan ujug-ujug ada yang berminat mewawancara saya jika tak ada sebabnya, memangnya saya ini siapa :D. Saya yakin ini pasti gara-gara pagi harinya saya baru saja menerima hadiah atas kemenangan saya di lomba blog SuperSpeedy oleh Telkom Indonesia. Itu lho, cerpen fanfiction saya soal Kapten Zeen itu, sudah pada baca belum?

Nah, pagi harinya saya diundang ke gedung Telkom Makassar di Jalan Pettarani No. 2, atau seringkali orang-orang menyebutnya gedung putih, untuk menerima hadiah dari lomba tersebut. Nggak tanggung-tanggung, kawan, yang menyerahkan langsung adalah GM Telkom Sulsel, Bapak Firmansyah. What an honour for me. Kenapa an honour? Yeah, karena seperti yang dilansir oleh salah satu koran lokal yang sempat mewawancara saya itu yang katanya, ‘jangan remehkan ibu rumah tangga…’ Hmmmm …

Pas sudah di rumah, saya sempat kepikiran gini,
'eh waktu difoto kenapa saya menghadap kamera sih, ntar jadinya nggak alami dong'
Ehh, tau-taunya emang semua juga madep kamera hihihi

18.2.13

Menulis itu Ibarat Mengulur Pancing di Segara Tinta


Menulis itu, ibarat mengulur pancing di segara tinta. Sebagai penulis amatir, sungguh besar harapan saya agar karya-karya yang saya hasilkan bisa ikut meramaikan semesta raya dunia kepenulisan. Menganalogikan diri saya sebagai nelayan yang melaut di samudera, menebar pancing menjala ikan, demikian pula yang saya pikir harus saya lakukan. Atas tulisan-tulisan yang telah berhasil saya produksi, saya ibaratkan sebagai umpan, maka yang perlu saya lakukan adalah mengaitkannya di ujung kail untuk kemudian melemparkannya ke segara, segara tinta. Segara tinta yang saya maksud tentu saja adalah penerbit maupun media. 

sumber foto : fanspage Indonesian Photography

Lalu setelah itu apa? Tentunya menunggu. Menunggu apakah umpan yang saya tebar itu akan disambar oleh ikan-ikan yang saya incar. Apakah begitu saja? Ya, kurang lebih seperti itulah. Karena saya tak pernah tahu seperti apa garis nasib tulisan-tulisan yang saya buat itu. Erat kaitan dengan jalan rezeki saya? Ya, tentu saja, tak perlu diragukan lagi.

Sekali sebuah tulisan diumpankan, maka yang bisa saya lakukan hanya menunggu. Persis seperti seorang pemancing menunggui kail. Hanya bedanya, proses menunggui sebuah tulisan menemukan ikan yang tepat tidak sesingkat waktu yang dibutuhkan seorang pemancing betulan untuk mendapatkan ikan. Terkadang seminggu umpan berhasil disambar ikan, namun kadang butuh waktu berbulan-bulan atau bahkan berakhir tragis, tidak ada ikan yang bersedia memakan umpan!

Jika demikian lantas bagaimana? Ya tak apa-apa. Ada berjuta-juta ikan menghuni segara, pasti akan ada satu yang lapar dan mau menerima umpanan kita. Jika pun hal itu terjadi usah frustasi apalagi berputus asa, periksa kembali umpannya, mungkin saja salah sasaran. Berharap memancing kakap tapi kita mengumpan cacing, ya nggak nyambung kali cing!

So, just keep write and don’t give up!

#NTMS