28.3.12

Mahasiswa : Agent of Change

Berbicara mengenai i-d-e-a-l-i-s-m-e mahasiswa adalah suatu hal yang sangat menarik. Pertama, mengapa mahasiswa identik dengan idealisme? Menurut pendapat pribadi saya salah satunya adalah karena mereka berada dalam masa transisi, antara meninggalkan masa remaja menuju dewasa, antara masa ketergantungan menuju kemandirian. Antara masa tak bertuan menuju sebuah bendera tertentu, apapun judulnya entah itu bendera perusahaan maupun bendera yang berbau-bau politik. Mahasiswa = netral = ideal.

Maka tak heran, mahasiswa biasanya cenderung akan bereaksi keras ketika mereka melihat kesewenang-wenangan. Ya, karena jiwa mereka yang netral dan ideal itu sehingga masih bisa dengan jujur melihat fakta-fakta yang terjadi yang melingkupi mereka baik dalam skala kecil maupun global. Terlebih lagi zaman sekarang yang serba canggih dimana seluruh informasi dunia berada dalam genggaman, membuat para mahasiswa menjadi semakin pintar, cerdas dan tak akan bisa dengan mudah dibohongi.

Juga ketika menyikapi rencana penaikan harga bbm oleh penguasa. Mereka menggagas unjuk rasa di seantero negeri untuk memprotes rencana itu. Jiwa-jiwa ideal mereka menggeliat, gerah dengan kebijakan yang dianggapnya tak mendukung rakyat kecil. Jujur saja, saya pribadi sangat respek dengan pemikiran mereka, dengan keberanian mereka menyuarakan nurani rakyat. Karena kalau dipikir secara jujur, apa untungnya bagi mereka, para mahasiswa ini melakukan unjuk rasa? Menentang sesuatu yang secara fakta sebenarnya belum secara langsung bersinggungan dengan kehidupan mereka? Bukankah mau bbm naik ataupun turun sebagian dari adik-adik mahasiswa toh masih hidup dari orangtua mereka. Tapi mengapa mereka dengan tulus mau bersuara? Bahkan hingga sukarela mengambil segala resiko bersinggungan dengan aparat?

Seperti halnya pepatah tak ada gading yang tak retak, memang dalam pelaksanaannya banyak insiden yang terjadi yang mencoreng niat baik para mahasiswa ini. Misalnya seperti unjuk rasa salah target (saya menyaksikan di televisi beberapa mahasiswa yang menyerbu sebuah gerai makanan cepat saji lalu pasang aksi sok jago di sana) atau merusak fasilitas umum dan aksi-aksi salah sasaran lain. Tapi saya yakin, lebih banyak yang tidak seperti itu, hanya saja kurang digembar-gemborkan oleh media seperti misalnya aksi mereka yang dilakukan di pelataran salah satu kantor BUMN. Setelah selesai menuntaskan hajatnya mereka berlalu dengan damai kok! Atau yang sempat tertangkap kamera, mahasiswa malah sholat berjamaah dengan aparat. So sweet, kan? Jadi menurut saya kalau masalah-masalah seperti itu sepertinya benar-benar hanyalah soal teknis semata yang perlu semakin dibenahi agar melahirkan aksi-aksi yang benar-benar simpatik. Dan biarkanlah aparat berwenang melakukan tugasnya bila memang terjadi tindakan yang termasuk kriminal, tanpa pandang bulu!

unjuk rasa tertib di pelataran Telkom Pettarani, Makassar
Dan tentunya peer bagi para aparat adalah bagaimana cara mengawal mereka dan memahami mereka. Jangan marah jika mereka unjuk rasa dengan suara lantang dan keras, dibantu toa pula. Bukankah memang harus begitu, masak iya demo bisik-bisik? Biarkan saja mereka berteriak sampai serak…


Suasana lengang sepanjang Pettarani akibat blokir jalan.
Eh, gedung miring di seberang itu pernah saya bahas disini, lho :)
Melalui aksi-aksi semacam ini justru disitulah menjadi salah satu ajang dibuktikannya kesolidan dan kekompakan para mahasiswa, proses mereka belajar memimpin dan dipimpin, satu komando atau malah terpancing dan mengikuti emosi dan ego pribadi. Sebuah proses pembelajaran dalam kehidupan nyata kelak yang akan mereka jalani. Karena bila kelak di bahu mereka telah tersandang predikat tertentu semisal anggota dewan, akan menjadi cobaan yang sangat berat untuk membuat suara mereka tidak tenggelam diredam dinding kekuasaan. Atau jika suatu saat kelak mereka telah menjadi ibu rumah tangga seperti saya, maka waktu akan tersita untuk mengantar-jemput anak bersekolah tak sempat lagi bersuara lantang…

Lalu bagaimana dengan kemacetan dan blokir jalan yang seringkali harus mengiringi setiap aksi unjuk rasa? Bukankah itu mengganggu dan justru merugikan masyarakat yang katanya dibela? Iya benar, untuk hari itu saja! Coba bayangkan jika penguasa mau dengan jujur menerapkan prinsip demokratis yang katanya suara terbanyak yang berlaku tentunya seharusnya tuntutan mereka yang menjadi keputusan, bukan? Tapi entahlah … saya sendiri kurang memahami prinsip penguasa jadi kecil kemungkinan tuntutan mereka akan dipenuhi. Jangankan dipenuhi didengarkan saja mungkin tidak! Jadi ya masih mending merekalah, para mahasiswa itu, yang ‘menyusahkan’ rakyat hanya sehari dua hari saja dengan kemacetan dan blokir jalan, daripada .................? (isi sendiri kosongnya)

Tidak semua hal perlu diunjukrasakan namun terkadang unjuk rasa memang perlu.
Think positive, act positive.
Curahan hati seorang ibu rumah tangga, mantan mahasiswa biasa.

6 komentar:

  1. Nice post Kak. Setuju banget, yang namanya mahasiswa memang selalu diidentikkan dengan kata idealis. Aku juga belum terlalu ngerasain, apa maksudnya idealis itu. Maklum aku masih sekolah, baru tahun depan jadi mahasiswa. :D

    Silahkan mampir ke blogku ya jika ada waktu! ^_^
    http://wierennen.blogspot.com/

    BalasHapus
    Balasan
    1. ayoo sekolah yang rajin ntar kalo udah jadi mahasiswa jadilah yang hebat yah ^^

      Hapus
  2. idealis atas inistaif diri sendiri atau ikut2an ya?

    BalasHapus
  3. Saya sebenarnya males bahas ini Icha, tapi komen ndak ji :D
    Malu soalnya. Yang gatal mana, yang digaruk di mana. Mbok demonya yang cerdas gitu, ngotot bertemu wakil rakyat, bicara dengan cerdas di sana sekalian kasih solusi gitu. Ini ada yang mencoreng nama baik, dengan menjarah, merusak, menutup jalan. Dengan menutup jalan saja, mereka bikin warga jadi nda nyaman. Pasti banyak orang yang urusannya jadi keteteran gara2 kemacetan yang sebenarnya tak perlu itu ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. tapi kan cuma sehari dua hari ji nutup jalannya kak ...
      daripada kalo jadi naik mi bbm, nyekek rakyat tiap hari itu e xixixi

      Hapus