15.12.11

Anak Dijual???


Pada suatu siang di sekolah, saya sedang menunggu anak-anak pulang sambil mengobrol bersama beberapa orang kawan. Setelah beberapa saat sulung saya, perempuan, akhirnya keluar dari kelas dan menghampiri saya. Ketika sudah dekat tiba-tiba salah satu kawan saya berkata, “Ini anakmu? Persis banget ya mukanya sama kamu! Matanya, hidungnya, pipinya,” serunya takjub. “Kata orang harus dijual lho!!”

Dijual. Yap, d-i-j-u-a-l! Tentunya dengan tanda petik. Saya tahu persis apa maksudnya. Sudah sejak 10 tahun lalu sejak sulung saya lahir, beberapa orang ‘menyarankan’ agar saya melakukan hal tersebut. Apalagi keluarga besar saya dari pihak suami. Ketika pertama kali melihat sulung saya, mengamati wajahnya dan akhirnya menyimpulkan bahwa anak perempuan saya itu sangat mirip dengan saya, mereka langsung menyuruh saya menjualnya.

Cerita berlanjut ketika saya mempunyai anak kedua, laki-laki. Kali ini kata orang sangat mirip dengan ayahnya. Lagi-lagi harus dijual! Pernah pada suatu kesempatan seorang tante dari kampung tiba-tiba menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan ke tangan saya. “Ini untuk apa?” spontan saya bertanya dalam kebingungan. “Anakmu saya beli. Soalnya mirip sekali abinya!”

*hela nafas*

Entah tradisi ini sebenarnya berasal dari mana. Atau sebenarnya sama sekali bukan tradisi melainkan mitos yang isinya adalah jika seorang anak perempuan secara fisik mirip ibunya atau jika seorang anak laki-laki secara fisik mirip ayahnya, maka hal tersebut akan mengantar kepada ketidakberuntungan. Astaghfirullah. Naudzubillah. Sebaliknya katanya yang membawa hoki itu adalah jika seorang anak perempuan secara fisik mirip ayahnya dan seorang anak laki-laki secara fisik mirip ibunya. Masya Allah.

Entah siapa yang memulai. Entah kesimpulannya diambil berdasarkan apa. Yang jelas saya khawatir mempercayai hal-hal seperti itu bisa menjerumuskan kita kepada syirik. Memangnya kenapa kalau anak perempuan mirip ibunya dan anak laki-laki mirip ayahnya? Bukankah itu bagus, daripada mirip tetangga?

Lagipula sungguh terlalu jika menghubung-hubungkan fisik anak-anak kita dengan keberuntungan dan ketakberuntungan hidup kita. Jangan sampai kita dipandang sombong olehNya karena berani menilai sesuatu yang di luar kekuasaan kita seenak pemikiran kita sendiri bukan berdasarkan ajaranNya.

Beranikah kita mendobrak mitos ini? Sekuat apakah kita untuk tetap istiqomah jika pada suatu titik takdir kita berlaku seolah mitos ini memang terbukti benar?

**********

6 komentar:

  1. Biasa ... tradisi ... :)
    Iya yah ... memang mirip sekali sama Icha.
    Kalo saya mirip bapak saya, orang bilang 'rezekinya bagus' ... saya sih senang2 saja.

    Nice posting Icha *Like This*

    Btw, pesat sekali blognya, cepatnya sudah 700-an page views, hebat Icha. Followernya juga sudah banyak.

    Sukses dan semangat yah ^_^

    http://mugniarm.blogspot.com

    BalasHapus
  2. harus bisa mbak :) yang harus kita percaya itu adalah akal dan ajaran Al-Quran. Untung deh, ibunya adek2 itu mbak, jadi bisa berfikir jernih. ga kebayang deh, kalau ibunya malah ikut2 berburuk sangka lalu bener2 'menjual' anaknya.

    btw, disini menjual artinya apa sih mbak?

    http://sucinabbila.blogspot.com/

    BalasHapus
  3. @k'niar : entah kalo dikurangi pageview pribadi saya pas ngedit kak. masih harus belajar banyak kak. sukses for u too ^.^
    @mbak suci nabbila : seperti cerita saya diatas ketika tiba-tiba saya disodorkan uang karena anak saya mau 'dibeli', mbak. kesannya seperti transaksi takdir, ih serem, kalau dijual badluck nya hilang #astagfirullah...

    BalasHapus
  4. wahhh...mba ternyata hampir sama dengan saya. anak saya laki2 umur 2 tahun, sebagian org blg miri sekali dgn ayahnya.
    malah ada yg bilang harus dijual supaya tidak kalah salah 1 (ayah atau anak nya). seremm...
    untung nemu tulisan mba ini.
    jadi ya qta tetap percaya dengan Allah SWT.

    BalasHapus
  5. Gue sempet baper, nanggepinnya.
    Tp abis baca blog ini...jd sadar jg semua sdh ada yg atur, yakin aja sama Allah.

    BalasHapus
  6. kalau di minangkabau, bukan di jual, tapi di gadaikan,,ini adalah tradisi, jadi ada yg melakukan ada yg tidak, biasanya kebanyakan org minang melakkan untuk mempertahankan tradisi, sdangkan memvonis syirik terlalu sadis, memang yg mengerti dgn budaya ini hnya org minang dan perlu di ingat bahwa ketika seseorang mengatakan org lain syirik maka pasti salah satunya akan syirik kalau tidak yg di tuduh maka yang menuduhlah syirik, jadi harus arif dan ihtihad" hati-hati menilai sesuatu apalagi budaya suatu kaum,soal mirip ini di minang disebut digadaikan bukan di jual...!!!!

    BalasHapus